Bagian 4

3.8K 385 5
                                    

Masih dengan Dira. Sekarang aku sedang berkeliling area fakultas sastra di kampusku. Kantin, kelas, lab. bahasa, ruang dosen. Aku mencari Regi tapi tidak ketemu. Aku tanya sana sini tapi tidak banyak mahasiswa yang tahu di mana Regi.

Masih mencari, aku berbelok ke perpustakaan. Kutaruh tas di penitipan barang dan tak lupa mengisi daftar hadir yang teronggok di pintu masuk. Lantai satu tidak ada. Kucoba lantai dua.

Di lantai dua kuperhatikan lorong rak demi rak. Kulihat beberapa bilik baca yang berisi mahasiswa yang sedang membaca di sana. Aku menghampiri bilik baca yang paling pojok. Punggung itu. Aku mengenal punggung itu. Kupeluk orang ini dari belakang.

Aishiteru!” kataku berbisik pada orang ini.

“Hahaha ... kangen ya, Dir?” kata Dimas sambil menoleh.

Dimas adalah salah satu teman dekatku. Dia memang paling senang membaca. Tak heran aku bertemu dengannya di sini. Ya, aku. Bukan, bukan aku saja, tapi yang lainnya juga kangen sama temen yang satu ini.

Kabar kepulangan dia dari Jepang kemarin sore ternyata benar. Saking sudah lama tidak bertemu dengannya, aku jadi lupa tujuanku ke perpustakaan dan keasyikan mengobrol tentang pengalamannya ke Jepang kali ini.

“Mas, kamu kok nggak bilang kalau udah pulang?” tanyaku padanya.

“Maaf. Handphone-ku mati dan aku lupa kalau belum kasih tau kamu,” katanya.

“Gimana, gimana? Seneng-seneng di sana?” tanyaku penasaran.

“Haha … ya gitu deh. Masih sama kayak dulu. Kunjungan-kunjungan ke kampus di sana dan ke beberapa tempat cagar budaya gitu,” ceritanya.

“Wah, seru ya. Aku pengen banget ke sana, Mas. Pertukaran pelajar pun, yang kemarin gagal seleksinya. Sayang banget. Kalau ikut 'kan, aku bisa pergi bareng kamu, Mas,” kataku.

“Hahaha … Iya. Aku juga pengen banget pergi ke sana bareng kamu, Dir. Suatu hari, pasti kita ke sana bareng ya,” katanya sambil menjabat tanganku. Aku mengangguk tanda menyetujui.

“Oh iya, Mas. Kamu kenal Regi nggak?” tanyaku pada Dimas ketika teringat kembali apa tujuanku ke perpustakaan.

“Regi … yang suka menyendiri bukan?” Aku mengagguk atas pertanyaan Dimas.

“Iya. Kok tau?” tanyaku.

Aku tidak menyangka kalau Dimas yang sering pergi-pergian ini tahu tentang Regi. Padahal banyak teman sejurusan di sini yang tidak kenal Regi.

“Nggak. Tau aja. Ada apa emang nyari dia?” Dimas balik bertanya.

“Ada urusan. Kamu tahu di mana dia?” aku bertanya lagi.

“Tuh, tadi aku lihat dia di ruang skripsi,” katanya sambil menunjuk ruangan yang dimaksud.

“Ya udah, aku ketemu Regi dulu ya!” aku bangkit dari kursi. Tapi tanganku ditarik Dimas. Aku berbalik dan kami saling berhadapan sangat dekat. Aku terdiam dan menahan rasa malu.

“Nanti malem ke tempatku, ya. Ajak yang lain. Ada oleh-oleh buat kalian,” kata Dimas sambil berbisik. Tangannya masuk ke dalam saku celanaku.

“Jiss!! Kirain apaan. Kaget nih! Biasa aja kali ngomongnya!” semburku sambil menarik mukaku dari hadapannya. Mukaku memerah.

“Hahaha ... sorry. Tapi serius nih, nanti malem dateng ya!” kata Dimas.

“Iya iya!“ jawabku sambil berlalu menuju ruang skripsi.

“Aku bawa ini, ya?” kata Dimas. Sebungkus rokok yang ada di sakuku ternyata diambil oleh Dimas.

Dimas memang paling kesal kalau ada di antara kami yang merokok. Dia paling tidak tahan dengan asap rokok, sehingga peraturan pertama kalau bergaul dengannya adalah no smoking. Tapi anehnya, Dimas masih lunak-lunak saja kepada aku dan Tommy yang kadang suka mencuri-curi kesempatan untuk merokok.

Antara Aku, Dirimu dan Dirinya : Cinta Di Sastra JepangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang