Bagian 1

11.8K 533 11
                                    

Namaku Dira. Cukup panggil Dira. Karena dari semenjak SD, tidak ada yang pernah memanggil lengkap namaku. Jadi, aku pikir percuma saja jika aku perkenalkan. Toh, semuanya akan memanggil nama terpendekku : Dir. Seperti kalau orang lain memanggil memanggilku “Eh, Dir!” atau “Mau kemana, Dir?” dan sebagainya.

Siang hari naik bus kota bukanlah hal yang menyenangkan. Panas, berdesakan dan bau keringat. Itulah yang mungkin akan aku rasakan ketika nanti menaiki bus kota yang melewati kampusku. Aku bilang mungkin. Karena jika aku mendapat bus kota ber-AC, aku tidak akan merasakan penderitaan dipanggang selama perjalanan di dalam kotak angkutan itu.

Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Karena aku tidak suka dengan kondisi yang tadi ku sebutkan, aku berlari secepat mungkin menuju halte di mana bus yang melewati kampusku biasa berhenti untuk mencari penumpang.

“Huft!” Aku menarik napas dalam-dalam ketika sampai di halte. Tampak banyak calon penumpang yang ikut menunggu.

“Bang, bus kota yang AC udah lewat?” tanyaku kepada penjual teh botol yang berjualan tak jauh dari bangku tunggu halte.

“Udah tadi. Lima menitan lah lewat,” kata penjual teh botol tersebut sambil memasukkan teh botol ke dalam kotak yang berisi es batu. Sungguh menggoda.

Aku pun mengambil teh botol dan menenggaknya. Setelah berlari dan kepanasan, inilah hal ternikmat yang bisa dilakukan. Kusodorkan uang tiga ribu kepada abang penjual teh botol tersebut setelah seluruh isi botol telah membasahi tenggorokanku.

Sial! Kalau tadi nggak ketiduran di kosan, mungkin masih bisa ngejar bus kota yang ada AC nya! pikirku.

Kalau orang lain mendengar apa yang aku pikirkan, mungkin semua bilang aku manja. Tapi, kalau liat suasana halte bus kota, semua pasti maklum kalau aku berpikiran seperti itu.

Tampak hampir semua calon penumpang berkipas-kipas ria. Ada yang menggunakan kipas, koran, ataupun hanya dengan kibasan tangan. Ada juga yang tidak henti-hentinya mengelap keringat pakai tissue ataupun meminum habis air mineral sambil menunggu bus kota lewat.

Lima menit telah berlalu dari penantianku. Beberapa kali aku melihat jam untuk menghitung kalau aku tidak akan terlambat bertemu dengan dosen pembimbingku. Tidak berapa lama, tampak dari kejauhan bus kota perlahan mendekati halte.

Good. Dateng!”

Mukaku cepat berubah dari senang karena bus telah datang, tapi seketika itu juga menjadi kecewa karena bus kota yang ditunggu adalah bus kota biasa yang tidak ber-AC, yang artinya bakal jadi pindang ikan tongkol yang ditumpuk-tumpuk kemudian di-oven dengan panas terik matahari sepanjang jalan.

Tidak sedikit calon penumpang yang menghela napas ketika melihat kedatangan bus tersebut.

Terima nasib. Aku dengan sedikit kecewa tetap berebut masuk dengan penumpang lain, setidaknya bisa tidur dengan tenang di kursi selama perjalanan walaupun panas-panasan.

Kiri ... kanan ... kiri ... kanan

Aku mengecek satu-satu kursi penumpang. Aku paling senang duduk dempet dengan dinding dekat jendelam. Alasannya simpel, kalau ngantuk tinggal bersandar ke kaca tanpa harus mengganggu penumpang yang di sebelah.

Dapat! Kursi pas ditengah-tengah bus di bagian sebelah kanan. Posisi yang enak untukku.

Akhirnya aku duduk di sana, ambil headset dari dalam tas, pasang ke handphone dan menyalakan musik sambil memejamkan mata bersiap-siap untuk tidur.

Kebiasaanku. Selama perjalanan tidak mau diganggu orang lain dengan obrolan ataupun dengkuran penumpang sebelah.
Lagu Adelle, someone like you mengalun terdengar di kupingku. Tanpa kusadari, akupun ikut bersenandung pelan.

Antara Aku, Dirimu dan Dirinya : Cinta Di Sastra JepangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang