Bagian 11

2.9K 286 6
                                    

Aku Dira. Selama tiga hari aku hanya diam di kamarku memulihkan kondisi badanku yang sakit. Setiap hari anak-anak bergiliran menengokku dan menanyakan kesehatanku. Namun kebanyakan dari mereka hanya membuat kamarku ini gaduh dan malah membuatku sulit beristirahat.

Hari ini, aku merasa sangat sehat sekali. Aku mulai mandi dengan air dingin setelah sebelumnya hanya mandi dengan air hangat saja. Kuambil kaos polo merah dan celana jeans untuk dipakai hari ini.

Kuketuk kamar Ferdi untuk mengajaknya pergi bersama ke kampus, namun tidak ada jawaban. Sepertinya Ferdi sudah berangkat. Aku pun memutuskan untuk pergi sendirian.

Sepanjang perjalanan ku sapa beberapa tetangga yang sudah beraktivitas. Pak Kadir yang sedang memandikan burung parkitnya yang tiap hari selalu terdengar di luar jendela kamarku.

Bu Inah yang sedang menyuapi anak ketiganya yang masih bayi. "Itu Om. Om ... selamat pagi, Om,” kata Bu Inah.

Juga Yoyok dan adiknya yang bolos sekolah. Pemandangan ini sudah tiga hari tidak kulihat. Aku melangkah ringan menuju Halte bus.

Suasana halte hari ini lebih sepi dari terakhir aku ke sini. Hanya beberapa orang saja yang menunggu datangnya bus. Ku ambil sebuah buku berbahasa Jepang dari dalam tas untuk sekadar mengingat-ingat apa yang pernah aku pelajari. Sambil membaca, otakku berputar mencari arti dari kata-kata tersebut di dalam kepala.

“Rajin ya?” kata suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku, “tumben nggak dengerin musik?”

“Oh, nggak. Iseng aja kok, Gi,” kataku pada Regi yang duduk di sebelahku. Aku tidak menyadari kedatangannya sebelumnya. Kumasukkan kembali buku ke dalam tas.

“Lu ngampus, Gi?” tanyaku.

“Iya. Bimbingan sih. Abis itu nggak ada kegiatan lagi. Lu sendiri?” Regi balik bertanya.

“Sama. Bimbingan juga. Abis itu nggak ada kegiatan lagi. Paling balik,” jawabku.

Bus sudah tiba. Kami semua pun naik. Penumpang kali ini lebih sedikit dari biasanya. Tapi kami memilih kursi di deret belakang untuk menghindari bisingnya pengamen yang bernyanyi di tengah badan bus.

Tidak berapa lama, bus pun mulai jalan perlahan dan pengamen itu masih bernyanyi. Saking tidak betah dengan suara pengamen itu, aku pun mengambil headset dan memakainya. Lebih baik mendengarkan lagu yang biasa aku dengar dan hafal dari handphone daripada mendengarkan lagu yang kurang aku mengerti.

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku mengikuti irama musik dari telingaku. Tabuhan jimbe pengamen sayup-sayup terdengar namun tidak mengurangi kenikmatanku mendengar musik.

Aku menoleh ke kiri. Ku kira ada yang menepuk pundakku, tapi ternyata kepala Regi yang menyandar padaku. Ku lepas headset sebelah kiri.

“Gi, ngapain sih? Nggak enak diliat orang!” kataku agak risih kalau nantinya menjadi pusat perhatian karena tingkahnya ini.

“Abisnya lu cuma dengerin musik sendiri aja. Terus, gua dikacangin!” katanya.

“Manja lu, Gi. Udah ah, sana kepala lu!” Aku berusaha mendorong kepalanya. Namun dia meraih tanganku dan memegangnya.

“Udah sih. Lu pura-pura tidur juga. Gua udah pewe nih posisinya!” katanya sambil memejamkan mata.

Dengan terpaksa aku pun menurutinya. Kupasangkan sebelah headset pada kupingnya.

“Biar sama-sama denger!” kataku. Regi masih memegang sebelah tanganku.

Meskipun penumpang saat ini tidak terlalu padat, tapi jalanan sangat macet sehingga bus baru sampai di depan kampus satu setengah jam kemudian.

Antara Aku, Dirimu dan Dirinya : Cinta Di Sastra JepangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang