Bagian 6

3.3K 361 5
                                    

Aku terduduk lemas di depan wastafel. Sayup-sayup terdengah langkah kaki mendekat. Langkah tersebut berhenti di depan toilet tempatku berada.

Ketukan terdengar dari balik pintu, namun aku tak sanggup untuk bangkit dan berbicara. Terlalu lemas untuk merespon. Rasanya akan muntah kalau aku berbicara.

“Dir! Kamu nggak apa-apa?” Dimas menerobos masuk ke toilet ketika menyadari aku terlalu lama di dalam. Bunyi kran wastafel yang tidak berhenti dimatikan dan tidak ada respon dariku. Disentuhnya badanku.

“Ya ampun! Badan kamu panas, Dir!” Dimas membantuku berjalan ke luar toilet.

“Kenapa? Kenapa?” Regi menyusul ke toilet.

“Dira demam, Gi!” kata Dimas sambil memberi isyarat pada Regi untuk membantunya menuntunku.

Dimas mengarahkan Regi untuk membawaku ke kamarnya. Mereka membaringkan badanku di kasur Dimas. Regi memijit kakiku.

“Fer! Tolong bilangin ke Bi Asih ambil air dingin atau es batu di baskom sama handuk kecil yang bersih ke sini” kata Dimas dari samping badanku.

Terdengar bunyi ribut dari luar. Ferdi memanggil-manggil Bi Asih untuk mengambil apa yang disuruh. Ray memberondong masuk ke dalam kamar.

“Napa cuy?” tanya Ray masih kebingungan.

Tidak berapa lama, Ferdi masuk membawa baskom kecil berisi es batu dan handuk kecil ke dalam kamar. Disodorkannya baskom tersebut ke Dimas. Dan Dimas mulai mengkompres keningku dengan es yang dibungkus dengan handuk kecil.

“Aku nggak apa-apa, Mas,” kataku berusaha bangkit dari tidur.

“Apanya yang nggak apa-apa! Badan kamu panas begini!” tampak kekhawatiran dari Dimas. Begitupun dengan yang lainnya.

Sorry, ya. Aku ngerusak suasana malam ini," Aku merasa menyesal karena membuat semua kegembiraan berubah menjadi kekhawatiran di acara menyambut kedatangan Dimas ini.

“Nyantai, bro. Yang penting lu dulu sekarang,” kata Ferdi.

“Kamu nginep di sini aja malem ini ya, Dir?” kata Dimas menyarankan.

Aku hanya mengangguk, karena aku tahu kalau badanku sedang tidak kuat. Jangankan pergi ke kosan, bangun saja susah.

Sekarang pukul sembilan malam. Ray dan Ferdi berpamitan pulang duluan. Mereka memberikan kesempatan padaku untuk beristirahat tenang malam ini. Dimas mengantarkan mereka ke depan rumah, dan Regi masih menemaniku.

Regi berpindah duduk ke dekat kepalaku. Diangkatnya lap basah di keningku kemudian dia mengelus keningku yang basah.

Sorry ya, Dir. Kayaknya lu sakit gara-gara hujan-hujanan sama gua tadi pas balik dari kampus,” kata Regi dengan nada bersalah.

“Nggak apa-apa kok, Gi. Justru gua makasih banget sama lu karena udah minjemin baju sama handuk. Udah gitu segelas coklat panas 'kan?” kataku, “lu nggak usah khawatir, ya. Gua nggak bakal kenapa-napa, kok. Balik gih. Udah malem!” Aku menyuruhnya pulang karena khawatir kalau Regi pulang terlalu malam di cuaca yang tidak menentu seperti ini.

“Kalau gitu, gua balik ya?” kata Regi dengan nada enggan. Dia mengompresku untuk terkahir kalinya dan mengusap pipiku.

“Tidur yang nyenyak,” katanya sambil lalu.

“Sip!”

Aku mendengar Regi dan Dimas mengobrol sebentar di depan kamar dan tidak berapa lama bunyi gerbang depan ditutup.

“Regi baru aja pulang,” kata Dimas ketika masuk kamar. Dia berganti baju dengan kaos dan celana pendek.

“Kamu juga ganti baju, ya?” Dimas mengeluarkan kaos dan celana training panjang dari dalam lemari.

“Sini, aku bantu.”

Diturunkannya selimut yang membungkusku, kemudian pelan-pelan badanku didudukkan. Dia membantuku membuka kaosku dan menggantinya dengan kaosnya sebelum kemudian dia membantuku melepaskan celana jeans-ku.

“Biar aku aja, Mas,” kataku merasa tidak enak pada Dimas. Tapi, Dimas menepis tanganku dan melepaskan celana jeans-ku

“Kamu lagi sakit. Nggak apa-apa, kok. Santai aja,” kata Dimas sambil memakaikanku celana training.

Kemudian aku berbaring kembali ke posisi semula. Dimas kembali mengopres keningku.

“Aku bakal tidur di sini juga. Aku khawatir kamu kenapa-napa,” katanya setelah memastikan jendela tertutup rapat dan menyalakan obat nyamuk elektrik.

“Nggak apa-apa, Mas. Nanti kamu malah ketularan sakit,” kataku.

“Udah jangan ribut! Orang sakit nggak boleh protes!” katanya sambil berbaring di sebelahku, “nah 'kan? Cukup luas buat berdua,” tambahnya.

Aku tidak berkata apa-apa lagi, membiarkannya bersandar di sebelahku.

“Mas, sorry, ya. Aku ngerepotin kamu. Bikin kalian khawatir kayak gini.” Aku menerawang ke arah langit-langit kamar.

“Ya, kamu memang merepotkan di waktu yang nggak tepat!” kata Dimas dingin, “kamu juga selalu buat kami khawatir. Bahkan saat aku pergi ke Jepang pun ... aku khawatir sama kamu!” tambahnya. Nada kesal dan khawatir terdengar dari perkataannya.

“Maaf. Kalau memang selama ini aku buat kalian khawatir. Maaf, kalau buat kamu marah,” kataku.

Aku tidak menyangka kalau Dimas akan marah seperti ini. Memang salahku sakit di saat yang tidak tepat. Saat di mana seharusnya kami semua bersenang-senang menyambut kedatangannya. Aku pun memalingkan badanku ke arah lain. Aku malu menghadapkan wajahku padanya saat ini.

Kurasakan sentuhan di bagian kiri bahuku. Sebuah tangan melingkar di dadaku. Dimas memelukku dari belakang.

“Aku nggak marah sama kamu, Dir,” suara Dimas tidak sekeras tadi.

Kemudian dia membalikkan badanku. Aku terlentang. Kepalanya berada di atasku. Cukup dekat untuk merasakan embusan napasnya.

“Aku cuma khawatir sama kamu. Khawatir kamu kenapa-napa,” Dimas terdiam sejenak, “apalagi kamu tiba-tiba sakit begini,” katanya lagi.

Napasku tertahan tanpa alasan tertentu. Sepertinya aku berusaha agar napasku sepelan mungkin, namun dadaku berdegup kencang tak bisa kukontrol.

“Kamu nggak perlu khawatir seperti .…,”

Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.
Bibir Dimas telah mendarat lembut di bibirku. Pelan, namun pasti. Lembut dan hangat. Kurasakan detak jantung di dada kiriku lebih cepat dari sebelumnya.

Lama. Cukup lama kami dalam posisi ini sampai dia menarik wajahnya. Bagaikan sebuah telepati, aku merasakan kekhawatirannya padaku. Kuterima ciumannya dan kubalas dengan lembut. Aku sudah lupa dengan apa yang sedang terjadi. Ingin rasanya ini bertahan lama.

“Udah. Kamu tidur, ya?” katanya saat melepas ciumannya.

Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Aku biarkan tangannya tetap memelukku. Dia berbaring menyamping menghadapku dengan mata terpejam. Aku hanya telentang.

Otakku berputar mencerna apa yang telah terjadi. Kucoba pejamkan mataku. Walaupun situasi saat ini aneh, namun yang muncul adalah perasaan senang yang begitu meluap-luap.

Sudah lama aku tidak merasakan hal seperti ini. Hal yang sudah lama aku pendam dan aku kubur semenjak terakhir kali aku melakukannya dengan mantan kekasihku beberapa tahun lalu.

Lupakan soal ciumanku dengan Ferdi tadi sore. Sejak aku berpisah dengan mantan kekasihku dulu, aku memang tidak memaksakan rasaku untuk mencari pengganti dia dan mendapatkan yang sama dengan yang pernah diberikan mantan kekasihku padaku.

Malam ini, aku serasa diingatkan kembali kalau aku pernah merasakan dan menjalin hubungan dengan mantan kekasihku yang memutuskan untuk kuliah di luar negeri.

“Mas, kamu udah tidur?” tanyaku.

Tidak ada jawaban dari Dimas. Entah dia sudah tidur atau berpura-pura tidur. Akhirnya, aku pun memaksakan untuk tertidur. Aku berharap besok pagi badanku baikan.

-oOo-

Antara Aku, Dirimu dan Dirinya : Cinta Di Sastra JepangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang