Bagian 7

3.5K 337 23
                                    

Aku sedang tergolek lemas di kamar Dimas saat handphone-ku berbunyi. Kuraih handphone-ku di meja di sebelah tempat tidur. Sebelum mengecek siapa yang menelponku pagi-pagi seperti ini, aku sadari kalau Dimas sudah tidak ada di sampingku. Kulihat nama pada layar handphone. Tertulis nama Regi di sana. Ku angkat panggilannya.

“Halo?”

“Dira? Halo, Dir?” kata Regi.

“Iya, ini gua. Ada apa?” tanyaku.

“Gimana panasnya? Udah turun? Lu udah nggak apa-apa?” kata Regi. Terdengar khawatir.

“Iya. Gua udah baikan. Jangan khawatir kayak gitu ah. Kayak gua mau mati aja,” kataku sambil tertawa.

Hush! Umur siapa yang tahu!” kata Regi protes, “ngomong-ngomong, lu tidur enak 'kan semalem? Dimas nemenin lu 'kan?”

Deg! Cenayangnya muncul lagi!

“I ... iya. Dia nemenin gua dan gantiin kompresannya juga,” kataku.

“Seneng ya. Lu punya temen kayak Dimas dan yang lainnya. Gua iri sama lu, Dir,” katanya.

“Lho? Iri kenapa? Kan lu punya temen. Gua.”

“Bener ya?”

“Iya bener. Nyantai aja, bro. Percaya deh sama gua,” kataku meyakinkannya.

“Ya udah. Tutup dulu ya, teleponnya. Jangan lupa sarapan. Dimas bawain tuh!” kata Regi dengan nada riang.

“Halah. Sok tahu lu. Ya udah gua tutup ya.”

Sambungan telepon ku putus. Aku pun menarik napas dalam-dalam. Kurasakan hawa segar masuk ke dalam hidungku. Sedikit mampet, namun tidak sampai meler.

“Telepon dari siapa, Dir?” kata Dimas dengan membawa nampan berisi makanan.

“Ah, enggak. Apa itu?” tanyaku sedikit tidak percaya dengan apa yang dibawa Dimas.

Tampaknya Regi benar lagi. Semangkuk bubur, segelas air putih dan segelas susu berada di atas nampan itu.

“Sarapan buat kamu. Tadi aku nyuruh Bi Asih buat bikinin bubur. Habisin ya?”

Dimas menaruh nampan berisi makanan itu di depanku yang sedang terduduk.
Tanpa disuruh lagi, aku makan bubur itu sesuap demi sesuap sampai habis. Dimas memberiku segelas air. Dia hanya tersenyum melihatku makan dengan lahapnya. Setelah habis, kuberikan mangkuk kosong padanya. Dimas kemudian menaruhnya di meja belajar.

“Kalau nafsu makanmu kayak gini, kamu harusnya bisa cepat sembuh.” Ditempelkan tangan kanannya ke keningku.

Lagi, wajah kami terlalu dekat. Namun, yang semalam tidak terjadi kali ini. Dimas menarik wajahnya menjauh dari wajahku.

“Kayaknya panasmu udah mendingan,” katanya.

“Anu … semalam …,”

Lagi lagi aku tidak bisa melanjutkan perkataanku. Ini terlalu mendadak. Kejadian semalam terulang lagi sekarang. Dengan kesadaran yang penuh, kurasakan bibirnya begitu lebih hangat menyentuh bibirku, kembali dadaku berdegup kencang. Disentuhnya dada kiriku.

“Kamu gugup, Dir?” tanya Dimas merasakan degup jantungku yang semakin cepat. Aku hanya mengangguk.

“Kenapa kamu lakuin ini?” tanyaku.

Daisukidakara,” kata Dimas. Kembali dia menciumku, "... karena aku udah lama suka sama kamu, Dir. Sejak kamu sering kumpul dengan kita. Sejak kamu khawatir saat aku berangkat ke Jepang untuk yang pertama kali.” Dimas melanjutkan perkataannya kalimat per kalimat sambil diselingi dengan ciuman.

Antara Aku, Dirimu dan Dirinya : Cinta Di Sastra JepangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang