Part 13: Inferno

11.8K 358 29
                                    

Terdengar suara pintu terbuka.

“Farren.”

Aku tidak bergeming saat suara berat yang familier itu memanggil namaku. Biasanya dulu, aku pasti akan segera menghambur ke dalam pelukan sang pemilik suara dengan girang. Tapi rupanya perubahan mulai terjadi dalam diriku karena saat aku mengintip ke dalam perasaanku saat ini, aku tidak bisa menemukan percik kegirangan. Yang kutemukan malah kehampaan yang berusaha mendorongku untuk terjun ke dasar jurang.

“Farren.”

Suara itu memanggil namaku lagi. Seharusnya aku tetap tidak terpengaruh, seharusnya aku tetap diam. Keras kepala—begitulah Dad menyebutku berulang kali karena terus menutup mulutku selama berhari-hari. Tapi sayangnya kerentananku akan suara itu telah mencairkan seluruh kekerasan yang kumiliki. Menuntut penghiburan yang tak kumengerti.

Dengan gerakan pelan, aku menoleh ke arah sumber suara. Tenggorokanku tercekat saat melihatnya sedang berdiri menjulang di depan pintu yang sudah tertutup. Ia tersenyum menatapku dengan kelembutan yang membuat jiwaku terpana.

Aku mengedip karena mataku terasa pedas. Mendapati air mataku sudah menggenang. Padahal sebelumnya aku tidak menangis, bahkan saat aku mendengar kabar kematian Mama.

Tapi pria itu, pria yang membuatku tergila-gila sejak kali pertama aku menatap mata birunya, dalam sekejap langsung menggoncangkan pertahananku dengan keras. Membuat air mata panas yang jarang jatuh menetes turun dengan rasa asin di bibir. Membuat hatiku teremas dengan kerinduan yang intens.

Pria itu berjalan mendekatiku yang sedang berdiri di depan jendela besar. Berhenti saat aku sudah bisa melihatnya dari jarak panjang cukup dekat. Tubuhnya meninggi sejak terakhir kali aku melihatnya setahun yang lalu. Usiaku saat ini sepuluh tahun, dan dia sudah memasuki angka dua puluh. Meski tubuhku juga meninggi, jarak di antara kami berdua tetap saja masih sangat jauh. Bahkan tinggiku masih juga belum mencapai dadanya.

“Farren…,” Tangannya terulur. Ia membungkuk untuk membelai rambutku yang terurai panjang. Kilat prihatin tampak di matanya. “Malaikat kecilku yang malang…”

Aku menggigit bibirku dan menggeleng. “Aku…aku bukan malaikat. Mama selalu memanggilku dengan sebutan iblis kecil pembuat onar,” bantahku. Dan saat aku kembali teringat akan Mama, aku langsung menyembunyikan kesedihanku dengan amarah, “Aku bukan malaikat!” jeritku dan diikuti dengan isak tangis yang merobek dadaku setajam pisau.

Saat aku terbatuk-batuk dan tersedak karena suaraku sendiri, pria itu merengkuh tubuhku. Dengan lembut ia menggumamkan kata-kata menenangkan sambil terus membelai rambutku. “Kalau begitu kau akan jadi malaikat kegelapanku,” bisiknya.

Memejamkan mata, aku mengeratkan tubuhnya di tubuhku. Tubuhnya terasa keras, hasil dari latihan basket dan kerja keras yang ia lakukan setiap hari. Aromanya yang segar seperti permen mint pedas membuatku terus menghirup udara dengan rakus.

Malaikat gelap. Ya, aku bisa menjadi seperti yang ia inginkan.

Dibutuhkan waktu selama beberapa menit untukku berhasil menenangkan diri. Dan saat aku berhasil membuka mulutku, aku mendapati suaraku meluncur keluar dari tenggorokan dengan parau. “Apa kau akan mengajarkanku melempar bola?” tanyaku tanpa melepas kontak tubuh kami berdua.

Tubuhnya bergetar karena tawa. “Baiklah, karena aku tahu kau sangat payah melakukannya.”

“Aku tidak payah,” protesku sambil tersenyum kecil. “Apa kau akan mengijinkanku melihatmu berlatih setiap kau berada di kota ini?”

Dangerous Beauty (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang