“Brengsek!”
Aku menatap Lacross. Tidak bisa menahan diri untuk tidak menyeringai dan berdecak, “Emosi, emosi, emosi.”
Rahangnya mengeras. “Trik apa yang kau gunakan sampai bisa memojokkanku?”
“Trik yang tidak akan pernah melewati otakmu.”
“Cela ne s'est pas fait,” geramnya kesal.
Ini tidak mungkin terjadi. Aku memutar bola mataku, pura-pura bosan. Sambil menjalin jemariku, aku menopangkan dagu ke tangan dan menatap papan catur di bawahku. Dari setiap kemungkinan yang kulihat, tidak ada yang bisa dilakukan Lacross untuk menyelamatkan ratunya. Seringaianku melebar. Sejujurnya aku hanya memakai strategi perangkap sederhana, namun sayang Lacross terlalu arogan untuk menyadarinya. “Suatu saat kau akan terbunuh karena meremehkan lawanmu, vampir,” ujarku tenang.
Lacross menatapku. Mata birunya menggelap. “Tutup mulutmu dan jangan sok memberi nasehat sementara kau tidak tahu apapun tentang kematian.”
Aku mengangkat bahu tidak peduli. “Yah. Siapa yang bilang mau mencari tahu?” gumamku bosan. Putaran kata seperti ini rasanya sudah terjadi ribuan kali selama berjam-jam.
“Kalian berdua masih belum selesai?” Kudengar Harley berteriak dari ruang tamu.
“Sial,” umpat Lacross pelan. Ia menatap papan catur selama beberapa saat. Ketika aku mengira ia akan mengingkari janjinya dan berbuat curang, ia berkata, “Perlama permainan ini, femme.”
Nada memerintahnya membuatku menyipitkan mata. Persetan, apa dia pikir aku akan menurut dan mundur? Kembali menatap papan catur, aku tersenyum. Tidak akan, vampir. “Harley!” aku berteriak. Terdengar suara geraman rendah, namun aku tetap melanjutkan, “Pacarmu sudah kalah—total. Kali ini dia sudah siap menemanimu nonton!”
BRAK!
Aku tersentak. Tiba-tiba meja papan catur di hadapanku terjatuh dengan suara keras. Bidak-bidaknya beterbangan di depan mataku sebelum ikut terjatuh ke lantai keramik dengan suara bergemeletakan. Aku menyipitkan mataku pada Lacross. Kesal. “Kontrol emosimu, vampir.”
Lacross tidak menyahut. Ia berdiri dan menegakkan tubuhnya yang sebesar ambang pintu ruangan sambil terus menggerutu, “Terkutuklah yang mempunyai ide vampir bergliter.”
Aku mengangkat kedua alisku. “Kalau kau tanya pendapatku, menurutku Robert Pattinson adalah pria terseksi di dunia.”
Lacross mendengus, menyindir. “Anggapanmu sebelum kau bertemu dengan Cezar?”
Aku mengerjap. Merasakan wajahku yang merona. Syukurlah Lacross sudah pergi sebelum sempat melihat reaksiku. Kucubit pergelangan tangan kananku. Keras. Sial, ada apa denganku sebenarnya? Sampai sekarangpun aku masih tidak bisa mengerti kenapa Cezar bisa memengaruhiku sedemikian rupa.
Berdiri, aku menunduk untuk menegakkan papan catur dan memungut bidak catur yang berceceran dimana-dimana. Saat aku mulai memungut, tiba-tiba aku teringat akan percakapanku dengan Lacross beberapa saat yang lalu.
“Kenapa kau tidak membantu Cezar?” tanyaku ketika giliranku bergerak. Aku menggerakkan prajuritku ke depan. Menaikkan alisku saat melihat betapa sempurnanya pengaturan strategi Lacross. Tanpa celah, pikirku tenang. Sejak awal aku sudah tahu kalau Lacross pasti bukan lawan yang mudah—mengingat berapa banyak kehidupan yang sudah ia jalani—namun saat melihat wajahnya yang menyeringai tanda kemenangan yang pasti, aku tersenyum dalam hati. Sayangnya aku telah menyadari kalau tidak ada sesuatu yang sempurna dan tanpa celah di dunia ini.
Lacross tidak menatapku. Dengan mudah ia menggerakkan ratunya maju beberapa langkah. “Ini mengenai harga diri dan janji. Betapa tololnya Cezar, yang dilakukannya sekarang adalah pertarungannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Beauty (ON HOLD)
WampiryFarren Faustine tidak akan pernah menyangka hidupnya yang sempurna akan berubah total sejak malam di pesta ulang tahunnya yang ke delapan belas. Tanpa alasan yang ia ketahui, tiba-tiba saja seorang pria masuk ke dalam kehidupannya, untuk kemudiaan m...