Jari-jari kekar yang bertumpu di pagar besi balkon mulai disambangi hujan. Kulitnya ditampar udara bersuhu rendah--merinding digelayuti sepi. Sekalipun basah kuyup, tidak masalah. Evan tak bergeming. Masih berdiri bersama secangkir kopi yang dingin.
Rumah bertingkat di seberang adalah objek netra lelaki itu. Nanar tatapannya. Kosong.
Heran. Kantuknya hilang di tengah jam sepuluh malam. Aroma petrikor semakin menenggelamkan pikirannya. Jauh, ingatan lama menguar jenuh.
Dilihatnya sekilas. Lampu-lampu jalan tampak bersinggungan kontras dengan gelap malam. Menurutnya, itulah bukti bahwa temaram tidak selalu menenangkan. Pikiran bahkan bisa kacau oleh logikanya sendiri.
Ada gejolak yang membuat Evan risau. Trauma dua tahun lalu muncul lagi. Seperti orang tawuran, memori itu berkeliaran, mengeroyok kepala tanpa ampun.
Pisau, gantungan kunci, juga tangisan perempuan malang yang tak diketahui namanya terbayang-bayang semakin pekat di otaknya. Siapa dia? Siapa yang membunuhnya?
Berlakon sebagai saksi mata adalah hal terburuk bagi Evan. Peristiwa macam apa yang diingatnya? Kenapa praduga itu selaras dengan bukti yang merujuk pada Karel?
'Drrt!'
'Drrt!'
Suara getar ponsel mengalihkan atensi Evan. Ia buru-buru menghampiri meja nakas tempat ponsel diletakkan. Layar kuarsa itu menampilkan sesuatu yang mengubah suasana hatinya.
Nama Gina terpampang beriringan dengan simbol telepon warna hijau yang bergerak minta diangkat. Ah, ini yang Evan tunggu. Gina adalah obat risaunya.
"Halo, Gin?"
"Evan!"
Terdengar lengking suara khas gadis berponi itu.
Refleks, Evan menjauhkan ponsel dari telinganya yang kini berdengung. Ck, wajar saja. Ia sedang bicara dengan gadis tercempreng di SMA Lentera Nusa. Suara Gina bahkan lebih riuh dari kaleng rengginang yang dipukul dengan sendok.
"Ada apa? Coba suara lo diganti jadi laki dikit," sindir Evan.
Tawa geli di ujung panggilan bernada amat renyah--membuat Evan malah ikut tertawa.
"Jadi begini," ucap Gina. Suaranya berubah rendah, meniru suara bas lelaki.
"Haha, jelek. Ganti ke awal," tutur Evan setengah memerintah.
"Oke. Jadi gini, lo teman sekelas Dilan, kan?"
Evan mendengkus sebal. Rasa cemburu dan trauma sebagai penyebabnya, kian menusuk dada laki-laki itu. Nama Dilan ataupun Karel agak mengganggu telinga Evan. Mood-nya turun drastis.
"Iya. Lo mau minta nomornya?" tanya Evan to the point.
"Betul! Lo peramal, ya? Kok bisa baca pikiran gue?"
"Nanti gue kasih. Gue tutup teleponnya."
"Tunggu! Gue juga mau minta alamatnya, boleh?"
Alis Evan terangkat. Apa mungkin gadis ini akan mendatangi rumah laki-laki dingin itu? Ya, kalau dipikir-pikir bisa saja. Gina terlalu nekat dalam hal apa pun.
"Untuk apa?"
"Untuk mengirim santet," jawab Gina asal.
"Nice. Kalau ini gue setuju. Gue kirim sekarang."
"Bercanda, Van. Buruan kirim! Makasih, Evan. Bye," tutup Gina.
Sialan. Gina berhasil membuat mood Evan seperti roller coaster. Jempol itu kini bergerak malas--menggulir menu kontak demi mencari nomor si kutukupret; Karel.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fiction Boy
Teen FictionGina tidak mau lagi menjadi siswi berprestasi sejak orang tuanya bercerai. Bahkan di hari setelah kematian Oma, Gina memilih menghabiskan puluhan novel, menyendiri di kamar, dan tidak peduli pada ujian nasional SMP-nya. Vera, sahabatnya ketika SMA...