M Y F I C T I O N B O Y
Ketsiamanda
○●○Srekk!
Tisu paling akhir sudah ditarik sembarang dari kotak tisu. Benda berbentuk love yang kosong tersebut pun disingkirkan. Tergeletak di sisi kasur. Gina bergerak sedikit, debum kelontang pun pasti memecah sunyi.
Membangunkan Alipe, sang kucing tersayang yang sedang mimpi naik pesawat di komplek sebelah. Kita belum perkenalan sama Alipe, ya? Alipe itu kucing Gina yang hobinya makan mie instan dan ceker ayam.
Bicara soal Alipe, ia sedang molor di sudut kamar. Jenuh mendengar isakan-isakan galau majikannya; Gina. Perempuan berponi full jidat itu kini galau setengah mati. Tisu terakhir tadi adalah bukti pembuangan ingus kesedihannya.
"Kenapa Dilan harus pisah sama Milea? Kenapa?"
Seolah terganggu, Alipe mengganti posisi. Berbalik badan, menunjukkan punggung berbulu oranye. Ya, Alipe adalah kucing oren yang selama ini populer di kalangan netizen, hiks. Tetapi, Alipe kucing yang manut, kok.
Gina menggaruk betisnya yang digigit nyamuk. Tumit diletakkan di dinding, badan berselimut dari leher sampai perut saja. Suhu AC sengaja disetel rendah, dua puluh empat derajat. Ah, posisi rebahan paling nikmat bagi Gina.
Apalagi sekarang, pagi harinya ditemani tulisan cetak dalam novel yang seolah hidup. Memerankan acting tiap tokoh—begitu nyata—tergambar di dinding penopang kaki Gina. Sudahlah, novel Dilan karya Pidi Baiq yang dibacanya ini cukup mewakili perasaan galaunya.
"Cukup! Galau gue sudah tersalurkan," kata Gina seraya menutup sampul novel tersebut.
Ia meraih sisa-sisa tisu bekas yang berserakan di atas spring bed. Memungutnya, lalu dibuang ke tempat sampah. Ralat, dilemparnya.
Isakan masih terdengar. Gadis itu beranjak turun, mencari-cari sandal panda berbulu yang harusnya tersusun rapi di samping ranjang. Nihil. Sandal bulunya hilang.
Telapak kakinya meraba-raba. Namun, bukan sandal yang didapat, melainkan benda pipih yang terlapis silikon. Gina menunduk, diam sebentar sampai sadar bahwa ponselnya yang terjatuh di sana.
"Dasar ponsel kurang kerjaan. Senang banget jatuh ke lantai," gerutu Gina.
Lantas, Gina mengambilnya, lalu melihat sebentar. Barangkali layarnya retak lagi. Untung tidak. Di layar kuarsa itu tercermin wajahnya. Rambut awut-awutan, juga muka bantal yang kentara. Wajar, Gina belum mandi.
Entah hubungan dari mana, tatkala melihat pelupuk sembap dan hidungnya yang memerah, ia teringat Karel kemarin. Pun teringat Nasya. Ah, ia bahkan lupa, hari ini adalah momen pelancaran misi rahasia.
Senyum iblis tiba-tiba memancar. "Beli cilok tanpa kuah dulu, baru ke temui Nasya di rumah sakit, hehehe."○●○
"Punggung belakang gue sakit, Gin. Harus ada pemeriksaan lanjut siang ini."
"Dih, kenapa tiba-tiba sakit? Bukannya tangan lo aja yang luka kemarin, ya?" bantah Gina tidak senang.
Glukk!
Ditelannya cilok terakhir, menyisakan kuah kacang di dalam plastik bening yang lecek ternodai. Setelah beberapa kunyahan, ia berjinjit heboh. Meraih tengkuk cowok di depannya yang lumayan tinggi.
Plakk!
Satu tepukan ringan mendarat di bagian belakang leher Evan.
"Duh! Asal gaplok aja. Ini leher lagi cedera. Tanggung jawab, ya, kalau nanti bengkak!" peringat Evan sambil mengelus tengkuknya.
Bukan apa-apa. Gina hanya memastikan. Pasalnya, bisa saja itu alibi karena enggan menemani Gina ke ruang rawat Nasya.
Gina membuang bungkus ciloknya ke kotak sampah di sudut ruang. Beralih ke wadah buah-buahan, lantas mengupas kulit jeruk yang dipilihnya sebagai pencuci mulut. Ambil satu, ditelan bulat-bulat.
Ia tersedak. "Uhuk! Uhuk!" Tidak digubris Evan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fiction Boy
Teen FictionGina tidak mau lagi menjadi siswi berprestasi sejak orang tuanya bercerai. Bahkan di hari setelah kematian Oma, Gina memilih menghabiskan puluhan novel, menyendiri di kamar, dan tidak peduli pada ujian nasional SMP-nya. Vera, sahabatnya ketika SMA...