M Y F I C T I O N B O Y
Ketsiamanda○●○
Lupakan soal Karel yang mencoba berbohong. Jika ditanya respons, Gina sudah memberitahu, bahwa ia akan mengikuti permainan dari orang yang menipunya. Maka itu, Gina hanya pura-pura tersenyum dan pergi saat Karel mengungkapkan alasan bohong tersebut.
Sepatu sneakers putihnya berjalan asal, menyusuri lorong rumah sakit dengan tapakan tidak terarah. Nanar, Gina mencari nama ruang di mana Evan dirawat. Banyak yang harus ia tanyakan pada cowok itu.
"Gina? Hei?"
Mendengar sapaan dari arah punggungnya, Gina segera berbalik. Evan, bersama tiang penyangga botol infus sudah berdiri di belakangnya. Bibir pucat itu tersenyum cerah.
Gina ikut tersenyum. Ah, ini dia sosok yang ia cari.
"Hai, Evan. Gue dari tadi mencari ruangan lo. Untung lo di luar, hehe."
"Ciee ... mau jenguk gue, ya? Baik banget. Eh, lo bolos, ya? Kan, hari ini sekolah," tutur Evan.
Seutas senyum terpaksa Gina pasang.
"Enggak. Tadi gue berobat sama abang gue. Sekalian jenguk lo."
"Serius? Lo sakit ap-- hei! Gina, lo kenapa, Gin?"
Bagaimana tidak panik? Sekarang Gina yang memucat. Pusing tak bisa dihindari. Netranya memburam tanpa aba-aba, membuat dunia seolah berputar tak terkendali.
Dirasa tidak kuat lagi, Gina pun memegang lengan Evan yang sudah lebih dulu menopang badannya agar tetap berdiri. Evan benar-benar lupa pada selang infus yang terpasang di pergelangannya. Hampir terlepas dan melukai kulitnya.
"Gina! Hei? Ayo, duduk dulu," ajak Evan.
Tubuh Gina yang mungil diseretnya pelan ke arah kursi tunggu yang kebetulan ada di dekat mereka. Gadis itu langsung bersandar lesu. Diikuti Evan di sebelahnya.
"Lo tunggu, ya. Gue mau panggil dokter," ucap Evan yang segera ditolak Gina.
"Jangan, Van. Di sini aja. Lo ... di sini aja," lirih Gina pelan.
Evan mengangguk paham. Diurutnya pelipis Gina lambat-lambat. Pun telapak tangan Gina yang digosok-gosokkan dengan telapak tangannya sendiri. Jangan sampai Gina kehilangan sadar.
"Makasih, Van," kata Gina tanpa membuka mata.
"Udah enakan belum?"
"Iya. Pusingnya udah hilang, kok."
Gina mengurut sendiri dahinya yang tertutup poni. Lalu, menggenggam tangan kiri Evan yang juga bantu memijat. Dilepaskan perlahan dari kening, ia genggam erat-erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fiction Boy
Teen FictionGina tidak mau lagi menjadi siswi berprestasi sejak orang tuanya bercerai. Bahkan di hari setelah kematian Oma, Gina memilih menghabiskan puluhan novel, menyendiri di kamar, dan tidak peduli pada ujian nasional SMP-nya. Vera, sahabatnya ketika SMA...