Sepatu hitam Karel berdecit lincah di lantai rumah sakit ini. Ia berlari pontang-panting sambil sesekali memperhatikan nama ruangan. Melewati pasien berkursi roda, serta perawat yang melihatnya bingung.
Alih-alih ingin cepat, seorang pria renta menghalangi. Ingin mengumpat, tapi takut dosa. Karel pun menjeda larinya. Ia meraup oksigen yang terasa menipis seraya meremas otot perut.
Bapak tua yang memegang alat penopang tubuh itu terpaksa menepi saat merasa ada Karel di belakangnya. Gemetar tapi tampak kuat. Ia pun memberi jalan untuk Karel.
Dasar anak muda, batinnya.
Bukan apa-apa, Karel khawatir. Mendengar kabar tak mengenakkan sangat membuatnya gusar. Semoga tidak terjadi hal buruk pada gadisnya.
Satu ruangan bertuliskan Mawar 12 berhasil menghentikan Karel. Napasnya tersengal. Ia memegangi perut ratanya yang terasa kram akibat lari mendadak.
Ini dia tempatnya. Nyali dikumpulkan supaya benteng keberaniannya kokoh. Harga diri lagi-lagi ia korbankan di sini. Tak lama, Karel pun menyentuh kenop pintu dengan gemetar. Gugup, cemas, takut, bercampur dalam pikirannya.
Pintu terbuka, bau obat langsung menyeruak dalam indra pembau Karel. Ah, sudah biasa, dan ia benci aroma ini. Karel mengintip diam-diam tanpa berani masuk. Seolah menyisir medan perang yang akan ia datangi. Perang dingin lebih tepatnya.
Netra Karel otomatis terkunci pada sosok gadis berwajah pucat yang terbaring di ranjang. Tubuhnya dihiasi oleh selang-selang kecil dan alat bantu pernapasan. Dapat Karel lihat, seulas senyum tipis menyambutnya sekejap, lalu memudar.
"Hei," sapa Karel ragu.
Ia memberanikan diri untuk masuk. Nuansa di sini berbeda. Kontras dengan lorong rumah sakit yang ia lalui tadi. Meski aroma obat-obatan begitu pekat, namun Karel merasa ada kesejukan di sini.
Penyebabnya adalah gadis itu. Ya, atau mungkin karena suhu pendingin ruang yang disetel rendah? Bisa jadi juga.
"Siapa yang suruh kamu ke sini?" tanya gadis itu.
Miris. Jakun Karel bergerak, meneguk saliva kering. Di ruangan ini tidak ada siapa pun yang menemani gadis itu. Rasa canggung tak ayal makin kental saja.
"Aku cuma ingin tahu kondisi kamu," jawab Karel pelan.
Bicara Karel tergugup sebelum lelaki itu semakin maju. Ragu, ia berjalan hingga duduk di sisi ranjang. Meski sering bertemu, reaksi gadis itu tetap memancing groginya.
"Jangan khawatir. Bisa kamu lihat, aku kayak biasanya, kan?"
Karel mengamati kantung cairan infus yang tergantung. Berisi agak banyak. Ia mengikuti aliran panjang yang berakhir di pergelangan gadis itu. Selang bersarang di sana.
Lalu netranya beralih ke perban cokelat yang meliliti kaki. Gadisnya terluka? Ia melotot dan refleks menyentuh pelan kaki tersebut.
"Ini apa? Jadi, benar kamu kecelakaan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fiction Boy
JugendliteraturGina tidak mau lagi menjadi siswi berprestasi sejak orang tuanya bercerai. Bahkan di hari setelah kematian Oma, Gina memilih menghabiskan puluhan novel, menyendiri di kamar, dan tidak peduli pada ujian nasional SMP-nya. Vera, sahabatnya ketika SMA...