Vote dan comment dulu jangan lupa ya! Terima kasih. ❤
---------------------------------------
-Selamat membaca!-
-------------------------------------
Poni andalan Gina melambai-lambai ditampar angin. Beberapa kali Gina merapikan posisi poninya, tapi sedetik kemudian kacau lagi. Percuma. Ah, kalau bukan karena Bang Gerald yang kesiangan akibat begadang sama skripsinya, Gina mana mau bawa motor sendiri begini.
"Oke, macet. Gina yang cantik ini sabar kok," gumam Gina di sela-sela padatnya jalan.
Gina sebenarnya benci menunggu, mungkin kalian juga, kan? Tapi, ada sesuatu di ujung lampu merah yang membuat mata Gina terbuka seratus persen. Siapa lagi kalau bukan manusia yang bernama Karel?
Lampu warna hijau menyala. Satu tancapan gas bak Marc Marquez; pembalap idola Gina, sudah Gina kerahkan semaksimal mungkin demi mengejar Karel. Ia tidak boleh ketinggalan jejak makhluk tampan bermotor jambrong biru itu.
"Dilan!"
Suara cempreng Gina membelah seluruh jalan raya yang dilewatinya. Telinga pengendara di sisinya sepertinya berdengung karenanya. Tapi, Gina tidak peduli itu, asal ia bisa mengejar Karel dengan kecepatan bak Marc Marquez andalannya.
"Budeg apa gimana, ya, si Dilan? Lain kali harus gue suruh cek ke Dokter THT nih," celoteh Gina lagi.
Ia memutar pedal gas dan menambah kecepatan motornya. Mungkin Marc Marquez pun kalah oleh Gina Queensha. Tidak, tidak. Gina pun ternyata kalah oleh motor jambrong seorang Karel Ardilan. Sial!
"Dilan! Pelankan motor lo, dong!"
Lagi, Gina tidak digubris.
"Woy, cowok rambut merah! Ini cewek paling cantik di SMA Lentera Nusa!" kesal Gina.
Memalukan! Gina seperti orang gila yang sibuk berteriak-teriak di jalanan. Sedangkan yang dipanggil akhirnya menyempatkan waktu untuk melirik kaca spion. Tampak gadis dengan poni amburadul dan helm Doraemon biru sedang mengejarnya kalap.
Terpaksa, mau tidak mau, ia akhirnya memperlambat laju motornya sebelum orang-orang mengiranya pencuri atau jambret.
"Woy, cowok rambut merah! Lo tuh gak boleh pakai celana sempit kayak gitu ke sekolah!" protes Gina mendadak.
Refleks mata Karel menyorot kaki jenjangnya yang terbungkus oleh celana berujung runcing, alias celana pensil miliknya. Ia mengedikkan bahu seolah tidak salah apa-apa.
"Terus, lo juga gak boleh ngecat rambut warna merah!"
Karel langsung meraba rambutnya. Ralat, meraba helm maksudnya. Ia lupa jika helm full face bernuansa hitam abu membungkus rambut kemerahannya.
"Lo juga gak boleh pakai sepatu ala-ala boots di atas mata kaki!"
Malas, Karel akhirnya tancap gas lebih cepat untuk menghindari suara cempreng Gina dan kritik-kritik yang membuat Karel jengah. Tak peduli jeritan Gina yang sudah tertinggal jauh.
Beberapa ratus meter terlewati, akhirnya Karel menggapai garis finish lebih dulu daripada Gina. Ia melirik ke belakang sebelum motornya memasuki gerbang. Aman! Gina tertinggal jauh. Dengan lega, Karel memilih lokasi strategis untuk memarkirkan motornya di parkiran yang masih kosong melompong.
Terpilih satu tempat, Karel segera menghentikan motornya dan melepas helm kesayangannya sebelum turun dari motor. Pagi ini udara sangat sejuk, Karel tidak berniat membuka jaketnya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fiction Boy
Teen FictionGina tidak mau lagi menjadi siswi berprestasi sejak orang tuanya bercerai. Bahkan di hari setelah kematian Oma, Gina memilih menghabiskan puluhan novel, menyendiri di kamar, dan tidak peduli pada ujian nasional SMP-nya. Vera, sahabatnya ketika SMA...