🍭Saat itu [Jeremy]

78 13 1
                                    

Persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang tidak akan pernah ada yang murni.

Selalu saja salah satunya akan ada yang melibatkan hati.

Dan perkara hati itu tidak mudah.

Sulit. Complicated.

Entah itu salah satu memendam rasa, salah satu terjebak masa lalu, ataupun dua-duanya sama-sama mempunyai rasa namun tak diungkapkan.

Alasannya?

Takut merusak persahabatan.

Klise. Selalu saja seperti itu.

Lalu bagaimana dengan Jeremy Johan Adiputra?

Iya, dia korban friendzone juga.

Entah sejak kapan persisnya pemuda itu menyimpan rasa pada sahabat sehidup sematinya itu, Rasti. Jika boleh jujur, Jeremy adalah satu dari sekian banyaknya pemuda kuat.

Kenapa kuat?

Karena dia masih ingin menunggu Rasti.

Menunggu gadis itu membukakan hati untuknya,

Menunggu gadis itu melupakan masa lalunya,

Menunggu gadis itu peka terhadapnya.

Ah tidak, Rasti sebenarnya sudah peka bahkan sangat peka. Namun ia masih takut. Tak tau pastinya ketakutan terhadap apa.

Ingin melangkah maju tapi ragu, ingin mundur tapi takut kecewa.

And she choose to stuck.

Pilihan teraman untuknya saat ini.

Jika dihitung sedetail-detailnya dua puluh lima bulan empat belas hari sejak Jeremy memilih untuk mengungkapkan perasaannya. Dan sejak itu pula ia tidak mengungkit-ungkit lagi perkara hatinya.

Karena jelas-jelas pemuda itu ditolak. Walau tidak secara langsung.

"Ras,"

"Hm?"

"Gue mau ngomong deh sama lo," Jeremy berkata dengan gaya santai nya.

Gadis di depannya mengernyit bingung. Ya pasalnya Jeremy tuh ga pernah izin dulu kalo mau ngomong sesuatu. Langsung nyablak gitu aja. Dan sekarang pemuda itu meminta izin padanya. Raut wajah Jeremy juga menyatakan jika pemuda itu ingin menyatakan hal yang serius.

"Ya sokkk ngomong dah sini gua dengerin."

"Jadi tuh ya—eh tapi jangan nyablak dulu lo tunggu gua selesai ngomong,"

"Iyaa bos, siap."

"Ehm, jadi tuh ya ada cowok nih. Dia tuh ganteng pake banget ya kaya gue gitulah gantengnya,"

Mendengar penuturan pemuda itu barusan Rasti sontak mengumpat. Tapi Jeremy acuh dan tetap meneruskan perkataanya.

"Cowo itu tuh gapernah ngerasain yang namanya jatuh cinta. Pernah, dulu, pas smp yaa cinta-cinta monyet gitu. Nah suatu hari ia dipertemukan oleh seorang cewek yang ngeselinnya minta ampun," Jeremy berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

"Tapi gatau nya si cewek tuh jadi temennya si cowok. Ga kekira banget lah. Tau-taunya mereka udah sahabatan gitu aja. Bahkan udah sampe tiga tahunan mereka sahabatan,"

"Yaa oke oke, terus gimana tuh,"

"Nah si cowoknya itu emang beberapa kali sempet baper sama si cewek ini. Tapi dia buru-buru ngehapus rasa bapernya,"

"Kenapa tuh pake dihapus segala," tanya Rasti.

"Ya mungkin si cowok ngiranya cuma perasaan sesaat?"

"Oh gitu,"

"Iya. Trus nih ya lama kelamaan ia tuh makin susah ngehapus rasa bapernya. Yaudah dibiarin aja sampe sekarang. Tau-taunya rasa baper tadi berubah jadi rasa sayang."

"Wihhh gela,"

"Ssstt dibilangin jangan nyampah dulu." Jeremy menginterupsi. "Rasa sayang cowok itu makin makin deh pokoknya. Gabisa ditahan lagi, kaya ada yang mau meledak-ledak gitu."

Rasti terdiam mendengar perkataan Jeremy. Ia mengangguk-angguk merespon Jeremy tapi aslinya ia sedang mati-matian berpikir keras apa maksud perkataan Jeremy mulai awal tadi.

Lama ia berpikir. Dan seperti baru saja mendengar berita penting, ia melebarkan mata, tertegun. Menyadari satu hal.

Ia telah menyimpulkan satu hal.

"Nah menurut lo kalo si cowok nih terus terang gimana?"

Rasti terlihat gugup. Tanpa sadar ia mengepalkan tangan erat.

Ia memilih tak menjawab.

Jeremy menipiskan bibir, kembali melanjutkan perkataanya.

"Tapi sayangnya si cowok ini masih ragu. Bukan. Bukan karena ragu sama perasaanya tapi ragu sama si cewek,"

Diam-diam Rasti menggigit bibir dalamnya, gugup.

"Cowok itu masih takut. Takut kalo si cewek masih kebayang-bayang masa lalu. Takut kalo si cewek masih belum berdamai dengan masa lalu. Dan parahnya takut kalo si cewek ga punya perasaan yang sama dengan si cowok." Jeremy merasa tenggorokannya kering seketika.

"Yang pengen gue tau, si cewek nih udah ngelupain masa lalunya atau belum?" Jeremy bertanya sembari matanya menatap Rasti serius. Tatapan yang tak pernah ia berikan sebelumnya.

Rasti perlahan mendongak menatap balik Jeremy. Perkataan Rasti selanjutnya benar-benar membuat Jeremy patah.

"NGAHAHAHA YHA NGAPAIN LO NANYA GUA LURRR mana gua ngerti sih," Rasti tergelak. Namun jika mendengar tawanya, bukan tawa yang biasa Rasti berikan.

"Iya ya ngapain gua nanya lo," Jeremy berkata sambil terkekeh.

"Hahaha tau nih gila kali lo,"

"Yaudah yaudah lupain aja dah gapenting emang wkwkwk," jawab Jeremy.

"Dah gua mau ngambil minum dulu haus nih," Pemuda itu berdiri meninggalkan halaman rumahnya hendak mengambil segelas air.

Dan meninggalkan beribu-ribu kepingan hatinya.










"Tapi Jer, kemungkinannya besar kalo si cewek masih belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Sangat besar," Jeremy yang hendak membuka pintu utama seketika berdiri mematung mendengar tutur Rasti.




Pupus sudah harapan pemuda itu.

Sunshiné [Day6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang