Hari itu, Ibu menangis. Dengan kuatnya ia menahan rasa sakit. Dengan kerasnya ia berteriak. Saat itu kau melihatnya dengan rasa iba. Apakah kau berpikir; begini rasanya menjadi perempuan? Begitu besarnya perjuangan.
Lalu, aku keluar dari perut Ibu. Aku menangis kencang. Ah, begitu imut, bukan? Badanku masih dipenuhi darah nifas. Badanku merah. Aku lahir ke dunia. Dunia yang akan menjadi tempat hidupku. Tapi bukan kampungku sebenarnya. Aku akan kembali kepada Sang Pencipta. Hei, bahkan aku dulu tak mengerti itu.
Ibu, Ayah, kalian tersenyum saat pertama kali aku di hadapan kalian, 'kan? Aku harap begitu. Dan, kapan kalian akan menamaiku? Hei, apakah kalian sudah memikirkan itu sebelum aku lahir? Semenjak saat itu, aku menjadi anak kalian. Yang akan dibesarkan menjadi anak yang pandai.
Ibu, Ayah, bukankah kalian selalu mengharapkan untukku bahwa aku harus menjadi yang lebih baik dari kalian? Aku akan menjadi anak perempuan yang selalu menjadi permata Ibu. Aku akan menjadi teman kecil untuk Ayah.
Ayah, jagalah Ibu. Aku menyayangi kalian.
18/01/18
_______
Baca juga ceritaku yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Rindu untuk Ayah
PoetryAyah, aku rindu. Tak bisa kujelaskan bagaimana rindu itu, Yah. Pastilah sangat berat. Ayah, apakah engkau rindu padaku juga? Ayah, janganlah pergi dulu. Ini sajak untukmu. Tanpamu, sajak ini takkan pernah ada. Tak apa jika ayah tidak membacanya. T...