Terik panas matahari yang semakin siang semakin menyengat membuat pelipisnya dipenuhi aliran keringat. Risa nampak gelisah karena keriutan jejeran kendaraan yang saling mengklason tak sabaran, dan kini arlojinya sudah menunjukkan pukul 6.50 yang berarti sepuluh menit lagi pak Heri dengan tatapan lasernya akan berdiri didepan gerbang lengkap dengan penggaris kayu panjang ditangannya.
"Mati gue! Udah jam segini lagi. Bang kiri bang!" Teriaknya lantang.
Risa mempercepat langkahnya, tak peduli apa yang kakinya terjal, ia tetap melangkah cepat tak berniat sedikitpun memperlambat langkahnya.
Brak, seorang lelaki dengan jaket bomber tanpa helm terjatuh didepannya, tepat diatas tumpukan tanah basah dipinggir jalan."Woy, gak pa-pa lo?" Ucap Risa terkejut.
"Tas gue, tas gue." Ucap lelaki itu panik sambil menunjuk-nunjuk tasnya yang tergeletak di atas tumpukan tanah merah basah.
Risa mengernyit heran lalu mengangkat tas lelaki itu tinggi-tinggi memastikan bahwa tasnya yang sudah bercampur aduk dengan tanah masih aman.
"Cuma kotor doang..."
Belum saja kalimat itu terselesaikan, lelaki itu sudah menarik tasnya dari tangan Risa.
"Porselinnya." ucap lelaki itu panik.
Wajah kekecewaan tercurah dari mata pias Rifan, ia tak menyangka porselin indah yang ia jaga mati-matian kini hanya menyisakan serpihan-serpihan kaca.
Risa menatap lelaki itu lirih, penting amat apa ya? Sampe nyawa bisa jadi taruhannya?.
⚓⚓⚓
Khas dengan pakaian ketatnya Kinan menuruni anak tangga sekolah. Puluhan pasang mata yang selalu mengikuti lekuk tubuhnya pergi seakan penuh dengan hasrat pemuas diri. Namun, begitulah Kinan penuh dengan segala kegairahan dimata para lelaki.
"Kinan!" Panggil sebuah suara menyerukan namanya.
Aqella, tak jauh berbeda dengan Kinan, pakaian ketat, bibir merah pekat oleh pewarna bibir, ditambah lagi tubuhnya yang ia liuk-liukan. Aqella itu sebelas dua belas dengan Kinan, hanya saja darah arab kental mengukir relif wajahnya, hidung mancung, mata hazel ditambah lagi dengan alis hitamnya.
"Baru dateng lo?" Ucap Kinan santai.
"Nggak, udah dari tadi."
"Terus?" Tanya Kinan bingung melihat Aqella yang masih setia membopong tas punggungnya.
"Ketika alam memanggil, maka datanglah beban yang sulit. Terus memaksa keluar, hingga tak sanggup menahan, dan pada akhirnya kita hanya dapat menyerah." jelasnya panjang dan puitis.
"Aelah, yang jelas aja kek." ucap Kinan kesal dengan segala ucapan puitis Aqella.
"BERAK! Be e er a ka, BERAK!" Teriak Aqella memenuhi seisi sekolah, memusatkan perhatian lirih para siswa pada mereka.
"Nan, Arsyad tuh." ucap Aqella tiba-tiba, menjuruskan pandangan Kinan pada satu titik.
Arsyad menuruni anak tangga dengan tas punggung yang melekat dipunggungnya. Tak ada yang spesial dari Arsyad, ia tak setampan Raka apalagi Arvan, namun ada satu hal yang membuat banyak wanita tak berkutik, sikapnya yang begitu manis di mata para wanita.
"Eh La pergi sono, cepetan pergi gih." ucap Kinan sambil mendorong tubuh Aqella menjauh.
"Iya iya! Ah, kalo Arsya aja lupa temen lo." gerutu Aqella.
"Arsyad!" Teriak Kinan dari jauh sambil melambaikan tangan, disambut hangat oleh senyuman Arsyad yang membuyarkan hati.
"Hay, Nan." ucap Arsyad.
"Eumm... eh, sabtu ini lo sibuk nggak?" Tanya Kinan dengan mata penuh binar.
"Enggak, emang kenapa?" Tanya Arsyad.
"Bagus kalo gitu, bisa temenin gue beli buku paket sejarah?" Tanya Kinan.
"Boleh." ucap Arsyad khas dengan senyumnya, membuat lesung pipinya terukir sempurna.
⚓⚓⚓
Suasana kelas yang lumayan luas nampak berantakan ditambah lagi dengan banyaknya sampah yang berserakan disudut-sudut ruangannya.
"Gar diem Gar." ucap Agam tampak serius menatap wajah Asgar, wajahnya semakin mendekat membuat Asgar tampak risih dan ingin sekali memberontak.
"Eh apaansih Gam, homo lu yak!" ucap Asgar sambil menoyor wajah Agam agar menjauh darinya.
"Eh diem napa, itu tuh..." ucap Agam lagi.
"Apaansih?!" Ucap Asgar kesal.
"Kurma itu di idung lu, mayan buat buka puasa." ucap Agam lalu terkekeh geli karena guyonannya sendiri.
"Bangsat lu! Simbol keramat nih." ucap Asgar sambil menunjuk-nunjuk tompel di hidungnya.
"Eh Gam lama amat lu, jadi nggak? Lu ikut nggak Gar?" Ucap Raka sambil memperlihatkan sedikit bagian kotak rokok di kantong bajunya.
"Fid, ikut nggak lu?" Ucap Agam sambil berjalan pelan menghampiri Raka dengan Asgar.
"Gua..." Hafid melirik Aqella yang duduk terdiam seolah terpaku pada deretan angka di bukunya.
"Gua nggak ikut dulu deh." ucap Hafid ragu menolak penawaran yang sudah menjadi rutinitasnya di sekolah. Agam hanya mengangkat kedua bahunya, bukan hal biasa seorang Hafid Kurnia menolak tawaran seperti ini, biasanya ialah yang paling bersemangat.
Aqella bangkit dari duduknya, pusat pikirannya sudah buyar. Lebih baik ia menjauh daripada harus mengulang masa lalunya.
"Apa lo tau La—gue ngelakuin ini semua untuk siapa? Untuk orang yang nggak pernah sedikitpun menghargai usaha yang pernah gue korbankan." ucap Hafid pada Aqella, namun berbeda dengan Hafid, Aqella tak sedikitpun melirikkan bola matanya apalagi merespon kata-kata Hafid, ia hanya terdiam lalu pergi tanpa sepatah katapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
PASUSA
أدب المراهقينClass without rules *** Mereka bukan kumpulan manusia berbakat. Biasa. Tak lebih. Mereka bukan kumpulan manusia yang selalu menghangatkan suasana. Kadang dingin dan menyebalkan. Mereka hanya kumpulan manusia yang bersedia dengan sukarela untuk salin...