Teriknya matahari pagi membuat peluh bercucuran, ditambah amanat pembina yang panjang membuat murid mendesah kesal.
Hari mengerikan bagi pelajar adalah hari senin. Sugesti itu sudah mendarah daging dikalangan para pelajar. Kadang mereka berpikir, kenapa senin ke minggu begitu lama sedangkan minggu ke senin sangat cepat. Menyebalkan.
"Lama amat sih anjir!" Gerutu Risa sambil sesekali mengelap peluhnya.
"Pegel, Ris?" Tanya Arsyad yang berbaris tepat disampingnya memandangi wajah Risa yang memerah karna terlalu lama terkena sinar matahari.
Risa mendengus, "pake nanya." Arsyad terkekeh sendiri mendengar nada bicara Risa.
"Aduh pengen pingsan nih gue woy!" Celetuk Salwa dramatis dengan tangan memegangi kepalanya. Mereka yang mendengar terkekeh dan juga ada yang mendengus malas karena tingkah Salwa. "Pegangin gue dong. Woy pmr gue mau pingsan nih!"
Untungnya Salwa berada dibarisan paling belakang, jadi tidak menimbulkan keributan yang nantinya akan terdengar oleh pembina upacara dan guru-guru.
"Omaigat Salwa, anak kita ngga apa-apa kan?" Ujar Agam asal mengundang tatapan dari kelas lain dan kakak kelas.
"Amit-amit tujuh turunan, iyuh banget Gam!" Salwa langsung terdiam, mendelik jijik kearah Agam kemudian melirik kearah Haikal, "Orang gue maunya sama Haikal, ye nggak Kal?"
Haikal mendelik kesal, "najis!" Sontak hal itu mengundang tawa teman-temannya.
"Eh.. eh! Ko bau tai?" Celetuk Damar mengendus-endus udara kemudian membungkuk untuk mengendus pantat Asgar yang baris didepannya. "Dari sini baunya!"
"Bangsat!" Asgar menggeplak kepala Damar kesal mengundang kembali tawa teman-temannya.
"Sebelas Ips 2! Bisa diam? Atau mau menggantikan saya berbicara disini?" Sontak mereka semua terdiam kelu mendapati pembina upacara memandang mereka dengan tajam.
Mereka tertangkap basah juga.
🏫🏫🏫
"Aduh gila makin item dah gue." Ujar Ira memegangi kedua pipinya yang tirus.
"Bawel lo ah, sonoan jangan deket-deket gue!" Devi mendorong Ira agar menjauh darinya. Damar yang baru sampai kelas langsung mendatangi Devi dan merangkulnya.
Devi menepis tangan Damar kasar. "Sono lo ah bau! Gerah gue, geser, geser."
"Ih abang tambah item," Suara cempreng Ira menguar keluar. Damar hanya menunjukan cengirannya.
"Bodoamat tetep kece." Risa yang sedari tadi hanya diam langsung memutar bola matanya malas.
Tak lama kemudian bel pelajaran berbunyi, sebagian penghuni Pasusa yang tersebar dibeberapa sudut sekolah segera berlari menuju kelas mereka kecuali Raka dan teman-teman seperkongkolannya.
"Allifa! Sejarah peminatan nggak ada pr kan?" Teriak Maura, padahal yang diteriaki tepat duduk disampingnya.
Allifa mendengus, "Ra, gue disini. Nggak usah teriak-teriak."
"Tau sih, berisik bat." Sambar Arla dengan tangan yang membetulkan letak kacamatanya. Maura yang ditegur malah mesem-mesem sendiri.
"Selamat pagi anak-anak!" Sapa Pak Saripudin atau lebih akrab dipanggil Pak Udin.
Pak Udin mengabsen penghuni kelas satu-persatu.
"Arfan Rahman?"
Hening.
"Mana Arfan?" Pak Udin menatap sekeliling kelas tapi tidak menemukan orang yang sedang ia cari. "Hafid, Raka?"
Hening juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
PASUSA
Fiksi RemajaClass without rules *** Mereka bukan kumpulan manusia berbakat. Biasa. Tak lebih. Mereka bukan kumpulan manusia yang selalu menghangatkan suasana. Kadang dingin dan menyebalkan. Mereka hanya kumpulan manusia yang bersedia dengan sukarela untuk salin...