6. A Threats

37 9 6
                                    

"Baiklah ayah, aku akan pergi sekarang, semoga restu mu membuat perjalanan ini menjadi lancar." Kerinci menunduk hormat di hadapan Sang Kepala Suku. Meminta sebuah restu demi keselamatan dalam perjalanannya yang panjang.

"Jaga dirimu putraku dan berhati-hatilah," jawab Sang Kepala Suku singkat tanpa ekspresi.

Bagi seorang ayah, melepaskan seorang putra untuk pergi berperang merupakan salah satu hal yang berat untuk di lakukan, bukan karena tidak percaya dengan kemampuan sang pewaris tahta, namun khawatir, jika saja ia tak lagi dapat kembali. Tak akan lagi ada hanya untuk mencium tangannya, ataupun tak akan lagi ada untuk sekedar menjaga desanya. Serta Rakyatnya yang tercinta.

Tapi ada sesuatu yang menjanggal di pikiran Kerinci pagi itu.

"Dimana Mayla?"

Tidak biasanya adik kecilnya, Mayla, tak berada di sisi Sang ayah di saat yang bisa disebut penting seperti sekarang ini. Biasanya, Mayla selalu datang disetiap acara ataupun kegiatan di dalam maupun luar desa. Namun sekarang? Batang hidungnya tak terlihat dimanapun.

Setelah berpamitan dengan Sang ayah, Kerinci dengan sigap langsung naik ke pundak herbivora tangguh yang telah di persiapkan oleh prajurit desa, dan sejenak melupakan kemana pergi adik kecilnya saat proses berpamitan tadi.

Berbekal makanan secukupnya serta sebilah pedang dan panah sebagai alat untuk mempertahankan diri, ia memacu cepat kudanya langsung ke arah gerbang desa, yang berada sedikit jauh dari posisinya sekarang ini.

Deru sepatu kuda coklat itu seperti senada dengan degup cepat jantung Kerinci. Semakin lama semakin berdebar, semakin lama semakin kencang.

Di sepanjang perjalanan, tiap pasang mata memandang heran kearah Kerinci yang tengah bergegas.

"Mengapa Sang putra Kepala Suku pergi dengan tergesa-gesa?"

"Apakah ada sesuatu terjadi?"

Bisik-bisik dari para penduduk desapun mengiringi langkah cepat kuda Kerinci menuju gerbang yang kini sudah di depan mata.

Setelah beberapa langkah melewati pintu gerbang desa, Kerinci memberhentikan kudanya. Keraguan kembali menyelimuti titik gelap di hatinya. Keraguan yang tadi malam mengguncang kenyamanan tidurnya. Yang masih menyisahkan cemas dibalik wibawanya.

Ia kembali menatap ke belakang, menatap desanya, desa yang mungkin tak akan ia jumpai lagi. Sebuah desa kecil dengan beribu kenangan yang seperti berputar kembali di ingatannya. Tentang kasih sayang Sang ibu, tentang kepelatihannya sebagai Prajurit, dan tentang sang adik tercinta, Mayla.

Namun, dengan cepat ia langsung kembali memacu kudanya pergi. Mencoba mengusir setiap keraguan yang tadi merasuki dirinya.

Menembus kabut pagi dataran Sumatra demi menuju Kerajaan Singkarak. Yang kemudian di lanjutkan ke Kerajaan Kalma.

***

"Di mana talang?" heran Garda pagi buta itu.

Sejak fajar menjelang tadi, Talang tak terlihat di sepanjang padang rumput yang sedang mereka singgahi. Bahkan, mungkin tak seorang pun sadar bahwa Talang menghilang selain Garda. Sahabat Talang.

"Bocah itu mungkin sedang menyendiri," jawab Musi santai, sambil menyantap daging bakar yang terhidang di hadapan para Ranta.

"Yah mungkin," gumam Garda. Matanya menatap tajam ke pegunungan yang berada tak jauh dari hutan Darru.

Sekarang ini, para Suku Ranta sedang menyantap makan pagi mereka, yaitu sebuah daging kijang bakar yang telah di olah dengan lezat oleh para perempuan suku ranta.

NUSANTARA : PRAJURIT LEMBAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang