Bab 9

391 16 0
                                    

Aku duduk di depan meja belajarku sambil menatap meja putih yang sangat berantakan. Yang dipenuhi dengan tumpukan buku tebal, polpen dan pensil, juga kertas coret-coretan tersebar dimana-mana.

Aku hanya bisa menyelesaikan PR'ku setengah dari soal. Itu karna aku tak bisa berpikir jernih sekarang. Aku terlalu asyik mengagumi cat putih polos yang menghiasi dinding kamarku dengan pikiran yang melayang dimana dari perkataan Eren tadi di sekolah.

Itu bukan urusanmu. ketiga kata itu terus menghantuiku terus berputar-putar di kepalaku. Aku bahkan bisa mengingat dia mengatakan itu dengan raut wajah marah penuh kejengkelan dan kedengkian.

Selama tiga tahun kita bersama, aku tidak pernah lihat Eren begitu sebelumnya. Dia itu selalu tenang. bahkan aku tidak bisa percaya dia mengucapkan hal itu kepadaku. kita adalah sahabat dan aku hanya khawatir tentangnya. Takut apa yang yang dilakukan Zimon terhadapnya. Aku hanya berusaha untuk melindunginya seperti yang dilakukannya padaku.

Jadi mengapa dia membentakku seperti itu?

Aku menghela napas berat dan memutuskan kembali fokus dalam pekerjaan rumahku. Kurasa itu adalah pilihan yang terbaik ketimbang harus merenungkan kembali apa terjadi diklinik kemarin.

Dengan mengetuk-ngetukkan polpen di kepalaku sambil berpikir dengan membaca ulang pertanyaan yang ada di depanku.

Aku mendengar Jeny menggerutu.

"Shitttt " grutunya. Itu menghentakanku dari tugasku.

Aku mengalihkan pandanganku dari soal yang ada didepanku dan beralih padanya yang duduk diatas tempat tidurku. dia terlihat lagi sibuk mengecat jari-jari kukunya. tissu yang kusut bertebaran di mana-mana dan juga bantal yang berpencar kemana-mana. Yah itu adalah pribadi Jeny yang tidak peduli dengan kebersihan.

Aku bahkan hampir lupa Jeny ada di sini. karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Apa yang salah?" tegurku.

"Cat kukuku tidak merata" jawabnya sedih dan memberiku ekspresi suram. Kemudian kembali lagi mengecat kukunya dengan cotex berwarna merah.

Aku tersenyum kecil terkejut melihatnya. karna hanya cat kukunya yang tidak merata dia mengutuk begitu.ck.ck.

"Hentikan mengecat kukumu Jeny"

Dia mendongak dari kukunya yang sudah dicat dan memberiku ekspresi bertanya.

"Mari kita lakukan itu pada hari sabtu". usulku. "Bersama-sama" tambahku cepat-cepat dengan senyum.

Mata Jeny bersinar seperti anak berusia lima tahun yang diberi hadiah. dia juga punya senyum nakal yang terpampang di wajahnya.

Jeny begitu mudah untuk di tipulasi. kadang-kadang.

"Benarkah?" tanyanya sambil mengangkat alisnya.

Aku menganggukan kepalaku dan kembali pokus untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku dengan pertanyaan yang tersisa. Aku mengambil pensil yang tergeletak di mejaku dan mulai menulis.

Tiba-tiba sesuatu menimpuk kepalaku dari belakang. "Aduuuuh!" Seruku keras. kurasa hanya ada satu orang yang bisa melakukan ini. Tentu saja tak lain itu Jeny.

Aku berdiri dari kursiku dan berbalik menatapnya. kulihat dia memiliki ekspresi kesal dan lucu di wajahnya saat dia memegang bantal hijau yang siap dilemparkannya padaku.

"Apa itu?" tanyaku dan membalas dengan melemparkan pensil padanya.

lemparanku yang buruk atau dia yang cepat respon untuk menghindar?

"Berhentilah mengerjakan PR'mu" pintahnya dengan serius.

"Kenapa?" tanyaku jengkel.

"Karna kurasa kita harus serius membicarakan masalah Eren "

The love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang