Bab 12

104 6 6
                                    

Setelah memberi pelajaran pada Zimon, aku segera berlari ke toilet. Yah, kurasa ini adalah tempat satu-satunya yang aman di saat kau ingin sendiri. Perasanku saat ini tengah campur aduk. Kegelisahan, ketakutan dan kecemasan bercampur jadi satu. Aku menghela napas panjang berusaha menenangkan diri dan mengontrol emosiku yang sekarang ini seakan ingin meledak.

Tak lama terdengar pintu kamar mandi terbuka dan tak lain itu adalah Jeny yg menyusulku kemari. Suatu Kelegaan menghampiriku, ku pikir itu orang lain.

"Liza!" ucap Jeny dengan lembut, tatapannya penuh kekhawatiran.

Aku hanya terdiam. Tak yakin apa yang harus ku katakan padanya saat ini.

Dia mendekat memelukku dan memberikan tepukan halus untuk membuatku lebih tenang.

"Aku baik-baik saja". Ucapku dengan suara kecil sedikit serak.

Detak jantungku sudah mulai stabil. Tanganku tak gemetaran lagi, dan itu menandakan perasaanku sekarang ini sudah rada membaik.

Jeny melepas pelukannya dan menatapku dengan seksama seolah memeriksa apakah aku berbohong.

"Apa kau yakin tidak apa-apa?"

"Surat cintaku baru saja tersebar dan semua orang mengetahuinya. Dan aku tak tahu, apakah sekarang aku baik-baik saja soal itu". Jawabku jujur. "Aku benar-benar malu." Situasi tak menyenangkan tiba-tiba terbesit dikepalaku. ini soal Jake dan lebih buruknya lagi para mantannya. Pasti mereka akan hebo membicaran hal ini. Aku benar-benar kacau. Sangat kacau.

"Aku tahu perasaanmu Liza, tapi lihatlah sisi baiknya, setidaknya Jake mengetahui perasaan tulusmu padanya setelah sekian lama".

"Ow Tuhan ini terdengar buruk, Jake mungkin menganggap aku adalah seorang gadis yang tak tau malu yang berusaha mendapatkan perhatiannya dan juga terlalu terobsesi kepadanya. Karena kemarin dia baru saja sudah menolakku tapi sekarang, surat cinta bodohku itu malah tersebar" ucapku prustasi dalam kekalahan dan meletakkan tanganku diwajahku.

Jeny menatapku dengan simpati "Tidak. Dia tidak mungkin berpikir seperti itu". Aku tahu Jeny hanya mencoba untuk menghiburku dengan mengatakan kata-kata yang ingin ku dengar saat ini dan aku menghargai usahanya.

"Ya semoga, kuharap juga begitu," jawabku lemah dan berharap Jake tak berpikir buruk seperti itu.

"Mereka semua pasti akan melupakan kejadian ini dalam waktu beberapa hari Liza." Dia menepuk pundakku menandankan semuanya akan membaik seiring waktu.

"Tapi semua anak perempuan yang ada di sekolah ini mungkin akan membicarakan hal ini tanpa henti," aku mengingatkannya akan kekejaman sekelompok anak gadis jika sudah berkumpul menggosipkan sesuatu.

"Benar juga sih, tapi jangan pedulikan mereka! Mereka tak punya sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan, dan jika ada yang berani memberimu kesulitan bahkan mengganggumu, katakan saja padaku, aku akan menghajarnya..."

"Aku tahu." Aku tersenyum padanya. "Terima kasih Jeny"

"Hei itulah gunanya seorang sahabat," ucapnya dengan nada menghibur.

"Aku hanya ingin semua orang segera melupakan kejadian ini!"

"Yah, kecuali bagian dimana kau meninju wajah Zimon Willsom. itu sangat luar biasa dan menakutkan!" Jawab Jeny dengan semangat.

Aku tak bisa menahan senyum karena itu mengingatkanku apa yang telah kulakukan beberapa saat yang lalu. Meninju Zimon membuatku euforia, rasanya sangat menyenangkan dan melegakkan. Seringai sombong kecil perlahan terbentuk di bibirku. "Yah, kurasa dia pantas mendapatkannya"

"Tentu saja!" dia setuju denganku dengan antusias. "Padahal ku berharap bisa mengambil videonya saat kau memukulnya, itu pasti sangat luar biasa saat melihat reka ulangnya". Aku hanya tertawa kecil.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang