four.

5.1K 904 79
                                    


Pemuda manis itu lagi-lagi mengikuti Kim Mingyu.

Berjalan dengan jarak tak terlalu dekat dengannya. Memandang punggung tegap itu dengan tatapan lembut. Memperhatikan segala hal yang dilakukan pemuda itu.

Bercanda dengan temannya—Lee Seokmin sebelum bel masuk.

Bermesraan dengan gadis manisnya, menggoda gadis itu hingga pipinya memerah.

Ia benar-benar hanya melihat dari kejauhan—dan dengan sebuah senyum yang terulas di wajah manisnya. Seolah ia turut berbahagia atas kebahagiaan Mingyu.

Tapi, memang seperti itu adanya. Entah kenapa pemuda manis itu juga ikut bahagia jika Mingyu bahagia. Sesederhana itu.

Pemuda itu terus mengamati Mingyu, bahkan hingga bel pulang.

Saat semua penghuni kelas Mingyu pulang, Mingyu justru duduk diam dibangkunya. Matanya menatap kosong kearah papan tulis.

Pemuda manis itu mengernyit heran. Ada apa dengan Mingyu? Apa terjadi sesuatu?

Ia memutuskan untuk masuk, duduk didepan Mingyu—dengan jarak dua kursi. Pemuda manis itu menatap sendu kearah Mingyu.

"Ada apa denganmu? Apa kau ada masalah? Apakah masalah itu berat?"

Hening.

Pemuda manis itu mengalihkan pandangannya, menatap langit senja yang begitu indah.

"Hei, Mingyu. Jika kau bersedih, cobalah lihat ke langit. Dia akan selalu tersenyum untukmu, menenangkan hatimu yang kalut sehingga kau bisa menyelesaikan masalahmu dengan hati yang tenang."

.-.-.

Pagi itu, belum terlalu banyak siswa yang datang, tentu saja, bahkan masih ada sisa waktu satu jam sebelum bel masuk.

Tapi disinilah Mingyu, yang tengah berdiri didepan lokernya sendiri. Hanya berdiri layaknya orang bodoh dengan mata yang tak lepas dari sebuah kertas memo berwarna serenity.

Sebuah kertas memo yang sama seperti tempo hari. Kali ini, isinya adalah—

"Saat kau bersedih, cobalah lihat ke langit, dia tersenyum untukmu."

Mingyu mendengus. Kertas itu diremasnya hingga tak berbentuk dan dilemparkan ke dalam lokernya, bergabung dengan kertas memo usang sebelumnya.

Sosok pemuda manis yang berdiri tak jauh dari Mingyu hanya bisa tersenyum hambar. Ia mendekat kearah loker Mingyu ketika pemiliknya itu pergi menjauh.

Jemari lentiknya itu menyentuh loker dingin itu, "Apa tulisanku terlalu jelek lagi hingga kau membuangnya begitu saja?"

.-.-.

Bisa dibilang mood Mingyu pagi ini cukup berantakan.

Semua ini bermula ketika sarapan tadi, dimana kedua orang tuanya mendadak menjadi pendiam setelah malam dimana ayahnya mengatakan bahwa perjodohan itu dibatalkan.

Mingyu tak mengerti, kenapa kedua orang tuanya begitu sedih hanya karena—demi Tuhan, perjodohan bodoh itu dibatalkan? Bahkan sepasang mata indah milik ibunya bengkak.

Apa beliau menangis sepanjang malam?

Astaga. Apakah perjodohan itu lebih penting dari kebahagaiannya sendiri dalam urusan asmara? Mingyu tak mengerti. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada kedua orang tuanya—yang jelas, Mingyu muak.

Hanya karena perjodohan bodoh itu, suasana hangat keluarganya berubah menjadi kelabu.

Persetan. Mingyu sangat membenci keluarga Jeon.

Terlebih putra sulungnya—orang yang dijodohkan dengannya.

"Kau kenapa? Bertengkar lagi dengan Seungcheol hyung?" heran Eunbi ketika mendapati Mingyu melamun. Gadis itu meletakkan sumpitnya—ngomong-ngomong saat ini keduanya ada di kantin sekolah untuk makan siang.

Mingyu menggeleng, ia mendorong pelan nampan makan siangnya yang masih bersisa cukup banyak. Dia tidak berselera.

Eunbi mengernyit heran. Ia meletakkan tangannya di dahi Mingyu—yang reflek langsung ditepis oleh Mingyu, membuat gadis itu menatapnya kaget.

"Kau kenapa?"

"Mingyu? Katakan padaku, apa ada masalah? Kau bisa cerita padaku."

Mingyu menggeram, ia menatap tajam kearah Eunbi—membuat gadis itu terkejut setengah mati, karena ini pertama kalinya Mingyu menatapnya begitu tajam.

"Bisakah kau diam dan tidak ikut campur dalam setiap urusanku? Kau harus menyadari batasannya, Jung Eunbi!" murka Mingyu.

Eunbi terdiam. Ia menatap Mingyu dengan mata yang sudah basah. Ini pertama kalinya—dalam kurun waktu dua tahun menjalin hubungan dengan Mingyu, pemuda itu membentaknya. Eunbi tak mengerti? Memang apa yang salah dengan khawatir pada kekasihnya sendiri?!

Eunbi tidak paham.

Gadis itu beranjak setelah menggebrak meja kantin. Ia langsung berlari menjauh dari Mingyu yang kini berteriak memanggil namanya.

Mingyu mengerang putus asa. Ia mengusap kasar parasnya.

Sialan. Ia jadi lepas kendali.

Seharusnya Mingyu tak terlalu memikirkan perkara perjodohan yang dibatalkan itu.

Harusnya ia tidak peduli.

.-.-.

"Apa yang kau lakukan disini? Seorang diri?"

Pemuda manis itu tersentak. Ia menolehkan kepalanya, menatap sekitarnya, memastikan bahwa pemuda sipit itu tengah berbicara padanya.

"Aku berbicara padamu, Tuan. Jadi berhentilah bertingkah seperti orang linglung."

"U-uh?" bingung pemuda manis itu.

Si pemuda sipit menghela napas, ia mulai menyantap makannya, sesekali ia mencuri pandang kearah pemuda manis yang masih menatapnya bingung.

"Aku Kwon Soonyoung, kalau kau begitu penasarannya padaku sampai kau memperhatikanku yang sedang makan," ucapnya.

Pemuda manis itu tersentak, "Ma-maaf."

Soonyoung menghela napas, "Lupakan. Jadi siapa namamu? Kenapa kau ada disini?"

"Jeon Wonwoo dan—um, tidak ada?"

Pemuda manis itu—mari kita sebut dia Wonwoo, mengusap tengkuknya canggung ketika mendapati Soonyoung menatapnya tajam.

"Kulihat, sedari tadi kau terus memandang meja Mingyu, kau mengenalnya?" tanya Soonyoung dengan tatapan menyelidik.

Wonwoo menggeleng cepat—dan Soonyoung tertawa kecil karena menurutnya tingkah Wonwoo begitu menggemaskan.

"Tidak. Aku tidak mengenalnya."

Soonyoung mengangguk. Ia kembali menyantap makanannya, namun matanya tak lepas dari sosok Wonwoo yang tengah memakai sweater oversize berwarna putih. Sepasang manik rubah itu terus menatap kearah Mingyu.

"Kau masih hidup?"

Hening.

Wonwoo yang mendengar pertanyaan Soonyoung mengalihkan pandangannya dan menemukan pemuda sipit itu tengah menatapnya dengan tatapan penasaran sekaligus menyelidik.

"Menurutmu?"

Pemuda sipit itu menghela napas, ia menunjuk kearah lorong yang menghubungkan dengan pintu dapur kantin, "Apa kau melihat seseorang disana?"

Wonwoo menggeleng—karena ia tidak dapat melihat apapun, kecuali asap berwarna abu-abu yang entah mengapa dimatanya seperti berkilauan.

"Kau indigo ya?" tanya Wonwoo penasaran.

Soonyoung hanya mengangguk. Ia menghabiskan makanannya, lalu kembali menatap Wonwoo.

"Jawab pertanyaanku, kau masih hidup?"

.

.

.

.

Tbc.

Terima kasih sudah voment<3

Memo [Meanie] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang