Soonyoung menolak untuk percaya. Otaknya menolak mentah-mentah perkataan Mingyu yang mengatakan bahwa ia bisa menyentuh Wonwoo—disaat bahkan ia yang memiliki kelebihan bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata saja tak bisa menyentuh pemuda manis itu.
Namun, kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu menampar keras dirinya. Dimana Mingyu menahan lengan Wonwoo ketika pemuda manis itu berusaha kabur dari keduanya. Hal yang tak bisa ia lakukan.
Soonyoung mau tak mau percaya, jadilah ia memandang datar kearah Mingyu—yang masih saja mengenggam tangan Wonwoo dengan dalih agar pemuda manis itu tak kabur, "Apa yang ingin kau bicarakan?"
Ngomong-ngomong, mereka bertiga kini berada di atap sekolah karena Mingyu mengatakan ingin mengobrol serius dengan pemuda sipit itu.
"Apakah orang ini masih hidup?" tanya Mingyu sembari mengangkat tangan Wonwoo yang berada digenggamannya, mengabaikan Wonwoo yang melayangkan protes kearahnya.
Soonyoung menghela napas, "Mengapa kau menanyakan hal itu padaku disaat kau bahkan bisa bertanya langsung padanya?"
"Dia bilang sedang menunggu kematiannya, dan aku bukan hal orang yang percaya dengan hal mistis seperti ini. Kurasa lebih tepatnya kurang familiar," jelas Mingyu.
Soonyoung menghela napas, ia melirik kearah Wonwoo yang tengah memberinya kode untuk tidak menjawab pertanyaan Mingyu, namun apadaya, Soonyoung sudah memiliki pilihannya sendiri.
"Dan kau memiliki kesimpulan bahwa aku pasti familiar dengan hal ini dan mungkin bisa memberikan penjelasan yang masuk akal untukmu. Itu 'kan tujuanmu?"
Mingyu mengangguk, "Ya. Kurang lebih seperti itu."
"Dengar, Kim Mingyu yang terhomat, aku tidak tau mengapa kau memilihku—dari sekian orang yang juga memiliki kemampuan yang sama. Tapi, aku akan menjawab pertanyaanmu; aku memang familiar dengan semua hal yang berhubungan dengan roh, termasuk roh bocah itu yang terlepas dari tubuhnya—tidak sepenuhnya, tentu saja, tubuhnya masih terbaring lemah seperti orang bodoh di ranjang rumah sakit," Soonyoung memberi jeda.
Ia berjalan mendekati Mingyu, menepuk pelan pundak adik kelasnya seraya melempar senyum tipis, mengabaikan sosok Jeon Wonwoo yang masih menatap menyelidik kearahnya.
"Hanya itu yang bisa aku katakan padamu, jika kau menuntut jawaban yang masuk akal, maaf, aku tidak bisa memberikannya—karena apa yang terjadi padamu bukanlah hal yang bisa dicerna oleh otakmu," lanjutnya.
Pemuda sipit itu tertawa kecil ketika mendapati raut wajah Mingyu yang tegang, ia kembali menepuk santai pundak pemuda yang lebih tinggi, "Santai saja, jangan terlalu dipikirkan biarkan semua mengalir seperti air."
"Ah—ya," gumamnya.
Suara tawa Soonyoung kembali menggema, kali ini diiringi dengan jarinya yang menunjuk Wonwoo, "Kau harus belajar darinya. Bahkan ketika kematian hampir menjemputnya dia masih bisa sesantai ini."
Mingyu tersenyum kaku menanggapi perkataan Soonyoung, berkebalikan dengan Wonwoo yang mendadak terdiam dan melempar tatapan sendu kearah Soonyoung. Pemuda kurus itu tau, barusan Soonyoung menyindirnya.
Maka, ketika atensi pemuda sipit itu benar-benar kepadanya, Wonwoo menggerakkan bibirnya pelan, membisikkan kata maaf tanpa suara kepada sang sahabat.
Yang hanya bisa dibalas dengan senyum lemah oleh Kwon Soonyoung.
.-.-.
"Kalian dekat?" tanya Mingyu pada sosok Wonwoo yang tengah bersandar pada pagar kawat yang membatasi atap gedung.
"Uh—ya. Seperti itulah," jawabnya singkat.
Keduanya masih berada di atap gedung sekolah, berdiri berdampingan, bersandar pada pagar kawat yang sudah mulai menguning, menikmati hembusan angin yang membelai tubuh mereka.
Soonyoung sudah pulang beberapa menit yang lalu—kelas tarinya akan segera dimulai, begitu katanya. Menyisakan Mingyu dan Wonwoo yang masih bertahan di atap, setia dengan sunyi. Keduanya sama-sama keras kepala, hingga akhirnya Mingyu menyerah.
"Kupikir kau tidak bersekolah disini," ucap Mingyu lagi.
Wonwoo terkekeh, "Memang tidak. Harusnya kau menyadarinya, kupikir siswa disini tidak terlalu banyak?"
"Aku tidak punya waktu untuk memperhatikan orang lain."
"Aku tidak terlalu kaget kalimat seperti itu keluar dari mulutmu," canda Wonwoo.
Mingyu mencuri pandang kearah pemuda manis disampingnya, pemuda yang sibuk memandang lurus kedepan, kearah langit berawan yang terhampar dihadapannya. Bahkan Mignyu berani bertaruh, ia melihat senyum kecil terlukis apik di paras manis itu.
"Lalu bagaimana kalian bisa sampai dekat begini?" Mingyu masih penasaran, ia pun bingung mengapa ia ingin tau mengenai informasi tersebut, padahal menurutnya itu sama sekali tidak penting—hei, memang sejak kapan segala informasi mengenai Jeon Wonwoo itu penting untuk seorang Kim Mingyu?
Kali ini Wonwoo menoleh, ia tertawa kecil ketika mendapati Mingyu berjengit kaget, "Kami dipertemukan oleh takdir."
Mingyu melempar tatapan mengejek, "Itu jawaban yang terdengar sangat konyol."
"Terima kasih pujiannya, aku sangat tersentuh."
Setelah itu, baik Mingyu maupun Wonwoo kembali bungkam. Kembali sibuk dengan kegiatan mereka sebelumnya, mengamati langit cerah berawan—meski tanpa ada lagi obrolan ringan yang berusaha diangkat oleh Mingyu—karena demi apapun, Wonwoo sangat payah dalam hal basa-basi.
Mereka diam, namun tak sepenuhnya diam. Ada Mingyu, yang meski dalam lamunannya ia akan mencuri pandang kearah Wonwoo. Tanpa sadar ia mengomentari setiap hal yang ada pada diri Wonwoo—lebih tepatnya mengagumi, hingga pada akhirnya ia tersadar bahwa itu bukanlah hal yang bagus.
Ia pernah menolak mentah-mentah perjodohannya dengan pemuda manis itu. Rasanya konyol jika sekarang ia justru tertarik dengan orang yang sudah ia hina sebagai gay.
Tapi, Mingyu tak mengerti. Mengapa setelah ia mengamati Wonwoo sejauh ini, ia merasa tertarik dengannya. Baik oleh parasnya maupun perangai misteriusnya. Bohong jika Mingyu bilang Wonwoo jelek, pemuda itu tampan, dan juga manis. Mingyu menyukai sepasang mata itu—entahlah, Mingyu sendiri tak tau mengapa ia begitu suka melihat sepasang manik serupa mata rubah itu, itu konyol menurutnya.
Pemuda tampan itu memutuskan untuk berhenti mencuri pandang kearah Wonwoo, selain itu tidak baik untuk kewarasannya, ia tidak mau pemuda manis itu menangkap basah dirinya diam-diam terpesona kepadanya. Tidak, itu melukai harga diri Mingyu.
Jadilah Mingyu mengikuti jejak Wonwoo, kembali menatap awan yang berarak pelan. Indah, sekaligus menenangkan hatinya.
Sekali lagi, Mingyu tak mengerti, mengapa hanya dengan berdiam diri, berdiri berdampingan tanpa ada pembicaraan dengan Wonwoo membuatnya nyaman—benar-benar definisi nyaman; sesuatu yang bahkan tak ia rasakan pada kekasihnya.
Ngomong-ngomong Mingyu melupakan Eunbi, ia bahkan belum menghubungi gadisnya sejak bel pulang sekolah berbunyi.
"Mingyu?" heran Wonwoo, ketika Mingyu tiba-tiba memegang tangannya, menarik tubuh kurusnya mendekat dan menghujani matanya dengan tatapan penuh damba—sesuatu yang bahkan tak disadari oleh Mingyu sendiri namun mampu membuat Wonwoo melambung tinggi hanya dengan tatapan itu.
"Besok, sepulang sekolah—Ayo berkencan."
Dan Wonwoo tak bisa lebih kaget lagi, ketika kalimat ajakan kencan itu keluar dari bibir Kim Mingyu—orang yang pernah menolak dan bersikap kasar padanya, lengkap dengan senyum tipisnya, yang membuat parasnya seribu kali lipat lebih tampan di mata Wonwoo.
Kencan? Apa kepala Mingyu baru terbentur sesuatu?
.
.
.
.Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memo [Meanie] ✔️
FanfictionMemo itu selalu berada disana, didalam loker siswa bernama Kim Mingyu. Sebuah kertas berwarna serenity yang memiliki harum manis vanilla dengan tulisan tangan yang tak terlalu rapi. Tak banyak kata, namun mampu membuat hati Kim Mingyu menghangat h...