"Lebih tepatnya sedang menunggu kematian itu sendiri."
Sudah beberapa hari—seminggu, jika Mingyu tak salah hitung—berlalu, dan dirinya masih tidak bisa mengenyahkan ucapan Wonwoo. Seolah mereka enggan untuk pergi dari pikirannya, hanya berputar tanpa tujuan, dan berakhir mengendap di salah ruang ingatan miliknya.
Ini menjengkelkan, Mingyu mengakui itu. Ada hal yang jauh lebih penting daripada memikirkan ucapan Wonwoo; yang sampai saat ini masih ia anggap omong kosong. Apa katanya waktu itu?
Ah, keadaan Wonwoo saat ini yang bertahan dalam bentuk roh—tanpa raga. Itu konyol, sebelum Wonwoo membuktikannya sekali lagi, berdiri di tengah kerumunan manusia dengan mereka yang menembusnya begitu mudah, namun dirinya masih berkilah, bahwa apa yang dilakukan pemuda manis itu hanya trik sampah untuk membuatnya yakin.
Mingyu menghela napas, dipandangnya secangkir kopi hitam—iya, dia memesan kopi hitam, mengabaikan tatapan heran dari dua sahabatnya, ia hanya sedang ingin? atau mungkin linglung lebih tepatnya. Jemarinya menyentuh bibir cangkir, mengusapnya dengan alis bertaut. Ekspresinya mengeras, seolah tengah berpikir keras.
Dan itu sungguh menganggu mata Seokmin, karena pemuda humoris itu belum pernah melihat ekspresi menggelikan semacam itu singgah diparas tampan sahabatnya.
"Ada apa denganmu?" tanya Seokmin yang sudah tak bisa lagi membendung rasa penasarannya. Sementara Seungcheol hanya terdiam sembari mencuri pandang kearah Mingyu, sementara fokusnya kini tengah pada ponselnya yang menampilkan chatroomnya dengan sang kekasih.
Gelengan dari Mingyu menjawab pertanyaan Seokmin. Pemuda tan itu memilih untuk bungkam. Ia memilih untuk sibuk dengan pikirannya sendiri, bergelut dengan berbagai kemungkinan masuk akal—sebab ia tak mempercayai hal-hal seperti; maaf, roh yang lepas dari tubuhnya bagai jiwa tersesat—atau mari sebut saja Jeon Wonwoo malang yang tersesat?
Itu konyol.
Seokmin bergidik ngeri melihat Mingyu yang menghela napas lemah, ia menyenggol Seungcheol menggunakan sikunya, "Kau yakin Mingyu baik-baik saja?"
Yang tertua diantara lingkar pertemanan mereka mengerutkan dahi. Mengamati dalam diam berbagai tingkah aneh Mingyu—menatap kosong kearah cairan hitam pekat tersebut, menghela napas lemah, dan jangan lupakan kerutan di dahi itu. Apa ini? Mingyu berpikir keras?
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Kurasa otak kosongmu itu tidak akan bisa membantumu menemukan jawaban," ucap Seungcheol—yang sukses mendapatkan tatapan tajam dari Mingyu.
Pemuda tan itu menghela napas, ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, maniknya menerawang, memandang pemandangan di luar kedai yang tengah ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Ia tidak menyadari, dalam sudut hatinya yang terdalam, ia berharap akan menemukan sosok Wonwoo.
"Mingyu?" panggil Seungcheol sekali lagi.
"Menurutmu, apakah mungkin ada roh yang berjalan-jalan—maksudku—sialan, bagaimana menjelaskannya?" tanya Mingyu setelah melewati hening yang cukup lama.
Seungcheol tertawa kecil, ia meraih cangkir Americanonya, menyesapnya sebelum melemparkan tatapan jahil pada Mingyu yang tengah menggerutu, "Pelan-pelan menceritakannya."
"Maksudku adalah, memangnya mungkin roh kita terlepas dari raga kita dan berkelana?" tanya Mingyu pada akhirnya.
Seungcheol dan Seokmin saling berpandangan, bingung, sampai akhirnya Seokmin memutus kontak dengan si hyung dan menatap bingung kearah Mingyu, "Roh terlepas dari raga? Mati? Arwah penasaran maksudmu?"
Mingyu menggeleng, "Bukan. Dia bilang belum mati, hanya sedang menunggu waktu kematiannya? Apakah itu mungkin? Maksudku—ayolah, ini bukan drama dimana pemeran utamanya sedang sekarat dan ia harus mencari tiga tetes air mata yang tulus untuknya?"
"Kupikir itu mungkin saja? Memang apa yang tidak bisa terjadi di dunia ini? Kau saja yang sudah memiliki kekasih ternyata dijodohkan juga oleh orangtuamu," sela Seungcheol.
Ketiganya kini terdiam, saling memikirkan kemungkinan masuk akal. Hingga akhirnya Seokmin mengerang penuh kefrustasian. Ini membuat kepalanya serasa ingin meledak, dan hei, jangan salahkan Seokmin, ia hanya tidak biasa dipaksa untuk berpikir keras, itu melelahkan, memakan banyak tenaga, dan Seokmin tidak menyukainya.
"Kenapa kau tidak tanya anak-anak indigo? Maksudku, mereka sudah biasa melihat makhluk halus, kupikir mereka familiar dengan hal seperti roh yang terlepas dari tubuhnya padahal dia belum mati?" usul Seokmin, yang disetujui oleh Seungcheol.
"Masalahnya, aku tidak mempunyai teman yang seperti itu," ucap Mingyu—putus asa.
"Kupikir aku memiliki kenalan yang bisa melihat apa yang tak terlihat?" ujar Seungcheol ragu-ragu.
Mingyu melemparkan pandangan tanya, yang ditanggapi dengan Seungcheol kode berupa untuk memberinya waktu mengingat-ingat.
Beberapa menit kemudian, pemuda bermata bulat itu menjentikkan jarinya, "Ah, aku ingat, adik kelasku saat di klub seni dulu. Jika aku tak salah ingat, ia ini indigo."
"Siapa?" tanya Mingyu penasaran.
Entahlah, Mingyu juga tak mengetahui mengapa ia harus sesemangat ini hanya untuk menanyakan apakah yang dikatakan Wonwoo itu benar. Yanga ia tau hanyalah, hati kecilnya terus menyerukan kata bohong, hatinya menyuruhnya untuk jangan percaya—karena selalu berujung dengan rasa sesak didada ketika Mingyu berpikir untuk percaya.
Seungcheol mengumbar senyum.
"Kwon Soonyoung."
.-.-.
Sesuai dengan informasi yang diperolehnya dari Seungcheol, saat jam pelajaran berakhir, pemuda tan itu langsung menuju ke lantai 3 gedung sekolahnya—lantai dimana seluruh kelas tahun akhir berada.
Ia beranjak menuju pintu dengan plang 3-B, tapi ia tak mendekat, yang ia lakukan adalah berdiri dengan jarak cukup jauh, matanya menatap lekat setiap siswa yang keluar, mencari orang dengan penampilan seperti yang diceritakan oleh Seungcheol.
Pemuda dengan pipi seperti mochi dan juga sipit—atau jika kata Seungcheol, carilah pemuda yang memiliki wajah seperti hamster sedang makan biji bunga matahari.
Hampir 15 menit Mingyu berdiri disana, mengabaikan tatapan kagum dari para siswi yang merupakan seniornya serta suara sayup-sayup dari para senior yang mempertanyakan keberadaannya di lantai 3.
Hingga akhirnya pemuda yang sedari tadi ditunggu oleh Mingyu keluar dari kelasnya. Pemuda itu terlihat tersenyum dan berbisik ke arah belakang tubuhnya. Mingyu masih bertahan pada posisinya, menunggu lawan bicara pemuda bernama Kwon Soonyoung itu keluar dari kelas.
Dan ia tidak bisa untuk tidak terkejut ketika mendapat bahwa orang yang sedari tadi berinteraksi dengan Kwon Soonyoung adalah orang yang sangat ia kenal, orang yang akhir-akhir ini selalu menganggu pikirannya.
"Jeon Wonwoo?" ucapnya tanpa sadar membuat dua insan yang saling melempar candaan itu terdiam.
Kwon Soonyoung mengernyit heran, sepasang manik sipitnya memandang penuh curiga kearah Mingyu yang menatap lekat kearah Wonwoo. Disisi lain, Wonwoo pun sama terkejutnya dengan Mingyu, bahkan pemuda manis itu terdiam kaku.
Hanya dengan melihat keadaan canggung ini saja, Soonyoung sudah bisa menarik kesimpulan. Sebuah kesimpulan yang sebenarnya tidak ia sukai.
Jemarinya menunjuk Mingyu dan Wonwoo bergantian—
"Kau—bisa melihat Wonwoo?"
Dan jawaban yang terlontar dari Mingyu mampu membuat Soonyoung membulatkan matanya.
"Aku bahkan bisa menyentuhnya, sunbae."
.
.
.
To be Continued.
ada yg kangen? :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memo [Meanie] ✔️
Fiksi PenggemarMemo itu selalu berada disana, didalam loker siswa bernama Kim Mingyu. Sebuah kertas berwarna serenity yang memiliki harum manis vanilla dengan tulisan tangan yang tak terlalu rapi. Tak banyak kata, namun mampu membuat hati Kim Mingyu menghangat h...