1. Mantan Pacar

150K 8.6K 186
                                    

Aku benci sekali dengan hari ini. Tidak tahu kenapa dari pagi sampai siang ini, aku sial melulu. Sepertinya kesialan terus-menerus mengikutiku.

Rasanya baru saja aku tertidur lelap dan mengabaikan bunyi alarm ponsel yang berdering begitu nyaringnya. Dan yang terjadi malah aku bangun kesiangan, tidak sempat sarapan, telat ke kampus, tidak dibolehkan masuk kelas plus dimarahi dosen.

Dan ada satu hal lagi yang membuat kesialanku begitu sempurna hari ini.

"Ayo, sebentar lagi jadwalnya Pak Aris," Mei menarik tanganku melewati koridor kelas yang dipenuhi mahasiswa baru. Ciri khas mahasiswa baru, bergerombol dalam kelompok dan tertawa tanpa ada beban. Mereka akan merasakan deritanya beberapa tahun lagi.

"Ayo," Mei menarik tanganku lagi karena aku hanya terdiam.

Setengah jam lagi masih ada kuliah. Keinginanku buat kuliah hari ini ada di level paling bawah. Malas. Apalagi kalau ingat dosen yang mengajar itu mantan pacarku.

Dialah pelengkap kesialanku hari ini.

Aris, mantanku jaman SMA dulu. Dia sedang nenempuh magister-nya waktu pacaran sama aku. Aris itu temannya Mas Pram, kakakku. Usiaku sama dia beda tujuh tahun. Putusnya juga dulu gara-gara dia bilang aku masih kekanak-kanakan. Padahal menurutku dia yang sok tua.

Waktu masih pacaran dulu, Aris memang sudah menyebalkan. Menasehatiku ini dan itu tentang sekolah, memaksaku untuk terus menerus belajar sampai mengatakan kalau aku ini sulit sekali untuk mengerti jika diajar. Kalau tahu kelakuannya seperti ini, mungkin tidak kuiyakan permintaan Mas Pram untuk kenalan dengan Aris.

Dan, sebulan terakhir ini dia jadi dosen baru di kampusku. Bayangkan mantan pacarku menjadi dosen mata kuliah Termodinamika Teknik Kimia, mata kuliah yang setengah mati kubenci. Klop kan, orang yang dibenci mengajari mata kuliah yang dibenci.

God, mau dibawa kemana IP-ku semester ini.

Teman-temanku yang cewek senang sekali dan begitu menyanjung Aris, soalnya jarang-jarang ada dosen muda dan single. Biasanya yang sering bolos waktu kuliah, sudah tidak pernah lagi semenjak Aris menjadi dosennya. Entahlah, sepertinya hampir semua cewek-cewek genit di jurusanku mengidolakan Aris.

Mungkin terkecuali aku, aku tidak suka diajar sama Aris!

Ini juga termasuk salah satu kebodohanku, kenapa mau-maunya saja memilih jurusan kuliah yang sama dengan Aris. Serius, tapi semua ini bukan kemauanku. Mas Pram tiba-tiba saja sudah mendaftarkan aku di kampus almamaternya dengan jurusan yang sama dengannya dan juga Aris. Jurusan Teknik Kimia!

Bayangkan saja, cewek semanis aku harus menghabiskan masa remajaku dengan kuliah di jurusan yang tidak pernah kubayangkan bagaimana rupa dan bentuknya. Seperti membayangkan bagaimana hidrogen dan oksigen yang bertemu sehingga bisa menjadi air, seperti itulah yang ada di kepalaku waktu itu.

Mungkin seharusnya hari ini aku bolos saja, tapi nanti Aris pasti mengadu ke Mas Pram, dan kemudian Mas Pram akan mengadu ke Mama. Huuuh, tukang cari muka. Apa-apa dilaporin, seperti telatnya aku hari ini pasti sebentar lagi sudah sampai di telinga mama. Masih pacarnya saja bukan. Menyebalkan!

Beberapa orang mahasiswa baru melewatiku dan Mei. Mereka menggangukan kepala dengan sopan. Padahal aku tidak kenal dengan mereka.

Bisa dibilang, aku memang kurang eksis di kampus. Tidak mengikuti kegiatan apapun di kampus selain Himpunan Mahasiswa Teknik. Itupun gara-gara semua mahasiswa diharuskan ikut. Kalau tidak, palingan aku juga tidak bakalan ikut. Malas banget menghabiskan waktuku buat hal yang seperti itu. Lebih baik tidur-tiduran sambil membaca komik kesukaanku.

"Aku bolos ya, sakit perut nih," kataku tiba-tiba. Mei melongo, cepat-cepat aku memasang tampang kesakitan.

"Iya, sakit banget. Kaya'nya salah makan deh," bohongku lagi. Tidak mungkin kalau aku jujur dan mengatakan sedang tidak mood melihat tampang Aris.

Satu kampus ini tidak ada yang tahu kalau Aris, dosen idola mereka yang tercinta itu pernah jadi pacarku. Sampai Mei yang teman dekatku saja nggak tahu. Entahlah, rasanya aku malu sekali mengaku pernah jadi pacarnya. Arrrgggh, tuh kan ingat dia jadi emosi lagi!

"Padahal nanti mata kuliahnya Pak Aris, sayang tahu kalau kamu nggak masuk," timpal Mei. Asal tahu saja, justru dia yang aku hindari.

"Nggak apa-apa. Sakit banget nih perutku, aku mau pulang aja biar besok bisa kuliah lagi," sahutku akhirnya. Mei tidak bertanya macam-macam lagi. Malah dia mengantar aku sampai halte busway depan kampus, mungkin dikiranya aku benar-benar sakit.

Dear Aris, untuk hari ini aku sedikit lega karena nggak ketemu kamu. Bukan aku malu atau deg-degan kalau ketemu kamu, tapi sejujurnya aku masih nggak bisa melupakan kalau kenyataannya sulit sekali menjalin hubungan baik dengan mantan, apalagi jika mantan itu menjelma jadi dosen.

--

Past & Present : You (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang