"Memang biasanya sendiri kok, Pak," sahutku dengan bahasa formal. Suasana kampus yang masih ramai oleh mahasiswa membuatku tidak bisa memakinya.
Gara-gara kamu, aku jadi batal dapat tumpangan gratis.
Aris berguman tidak jelas. Aku rasa dia telah mengakhiri pembicaraannya sehingga kuputuskan harus segera meninggalkannya.
"Permisi, Pak. Saya duluan," kataku dengan nada sopan yang dibuat-buat.
"Loh mau kemana?" tanyanya dengan wajah penasaran. Demi nilai Termo-ku yang tidak pernah bagus, apa maksud Aris menahan kepergianku? Apa dia bermaksud menyuruhku menyusul Bian?
"Mau pulang, " jawabku singkat.
"Kok ke arah sana?" tanyanya. Aku menarik napas panjang. Suka-suka aku dong mau pulang lewat pintu mana. Mau lewat pintu timur, selatan, barat, atau utara kek, semuanya terserah aku. Mau langsung terbang ke langit juga, apa urusannya.
"Biasanya lewat pintu barat," lanjutnya. Ternyata diam-diam selama ini Aris suka menguntitku. Buktinya dia sampai tahu kebiasaanku. Hobinya jelek sekali.
"Mau ke Timoho, Pak. Saya harus lewat pintu selatan biar biasa naik Trans Jogja yang kesana," jelasku. Nah kurang apa lagi penjelasanku. Bahasa formalku pada Aris terdengar aneh di telingaku. Tapi jika aku ber-aku kamu pada Aris, teman-temanku yang kebetulan mendengarnya bakal heboh.
Wajah Aris tampak berkerut. Makanya jangan kebanyakan mau tahu urusan orang, urus aja kerut-kerut di kening yang makin nambah.
"Ngapain?" tanyanya. Aku mengangkat bahuku, malas menanggapi pertanyaannya.
"Mau jalan-jalan aja. Daripada bosan di kampus," karangku. Kening Aris semakin berkerut. Bisa ditebak, dia pasti berniat mengancam akan melaporkan pada Mas Pram. Asal dia tahu, justru Mas Pram-lah yang menyuruhku.
"Ke rumah Yayi?" tebaknya. Kali ini keningkulah yang dipaksa berkerut. Darimana Aris tahu aku akan kesana. Memang sih Mbak Yayi itu teman seangkatan Aris juga. Tapi kenapa dia bisa menebak dengan benar keperluanku ke Timoho?
"Kebetulan saya juga ada keperluan mau ke Timoho," lanjutnya. Tunggu...aku menangkap ketidak beresan dari kalimat Aris barusan.
"Maksudnya?" tanyaku hati-hati.
"Enggak ada maksud apa-apa," jawabnya.
"Siapa tahu ada yang mau dititip," lanjutnya. Aku memutar bola mataku. Perkataan Aris terdengar sangat menarik.
"Ada titipan dari Mas Pram buat Mbak Yayi. Titip ya," kataku akhirnya. Aris diam, tidak menolak juga tidak mengiyakan.
"Oke," sahutnya singkat. Aku menyerahkan bungkusan kecil yang awalnya berada di dalam tasku kepada Aris. Tumben, kecoak bau ini mendadak baik.
"Saya pamit ya, Pak," kataku masih dengan nada formal. Aris mengguman tidak jelas. Terserah deh titipan Mas Pram mau disampaikan atau tidak. Yang penting sekarang Aris-lah yang bertanggung jawab.
Aku segera memutar langkahku menuju pintu barat. Jam segini biasanya Trans Jogja akan ramai oleh anak-anak sekolahan. Aku harus cepat, agar tidak pegal berdiri sepanjang perjalanan.
Kasihan Bian. Aku rasa kali ini dia sedang dikerjain oleh Aris. Semoga saja di kuliah selanjutnya, aku bisa bertemu dengannya lagi dan meminta nomor ponselnya.
--
Seperti dugaanku, halte Trans Jogja sesak oleh orang. Kebanyakan adalah anak-anak sekolahan. Aku terhimpit di antara mereka. Kepalaku terjulur, melihat kedatangan bus selanjutnya. Sudah dua bus yang terlewatkan karena aku terlambat mencapainya. Saat sudah hampir berada di pintu halte, bus sudah penuh.
Ponselku tiba-tiba berdering pelan. Suaranya dikalahkan oleh riuh rendah orang-orang disekelilingku. Panggilan dari nomor asing.
"Halo," sahutku dengan nada ragu.
"Ra, ini Bian. Kamu dimana sekarang?" samar-samar terdengar suara dari ponselku.
"Oh...maaf ya aku duluan. Takut kamu kelamaan. Aku sudah di halte," sahutku.
"Aku kesana aja ya, kamu belum naik bus kan?"
"Jangan, sebentar lagi busnya datang kok," sahutku. Aku kan enggak jadi ke Timoho, jadi buat apa Bian mengantarku lagi. Aku juga sudah berada di halte, masa aku harus menerobos gerombolan anak sekolahan ini demi mendapatkan tumpangan gratis.
"Enggak apa-apa, tunggu sebentar aja. Aku sudah di parkiran," Bian masih ngotot.
"Tuh busnya sudah datang. Maaf ya, lain kali aja," kataku. Sebelum mendengar kalimat balasan Bian, buru-buru aku menutup telepon. Kali ini aku tidak boleh melewatkan bus lagi. Aku akan menelepon Bian saat sudah di rumah.
Dengan sedikit perjuangan keras, akhirnya aku bisa menjejakan kaki dengan sempurna di lantai bus. Aku menarik napas lega sambil mataku berkeliaran mencari tempat kosong.
Karena tidak ada lagi tempat duduk kosong, aku memilih berdiri di dekat pintu keluar. Lagipula rumahku hanya tinggal beberapa halte lagi.
Seseorang yang berdiri di sebelahku terbatuk saat terdengar pengumuman perhentian halte selanjutnya. Aku menoleh ke sebelahku dengan perlahan.
Seperti adegan slow motion, orang di sebelahku itu juga menoleh ke arahku. Astaga!
Aris? Ngapain dia disini juga?!
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Past & Present : You (Telah Terbit)
Chick-Lit(full story of Uppsss!!!) Bagiku dia adalah masa lalu. Bukan sebuah kesalahan, hanya kenyataan yang harus aku lupakan. Sama seperti statusnya buatku : mantan. Tapi kenapa di masa sekarang dia kembali dalam sosok dosen mata kuliah yang paling kubenc...