4. Mas Baik Hati

60.2K 6.6K 117
                                    

Aku melangkah memasuki ruang kelas dengan ragu. Mei sudah duduk manis di kursi paling depan. Hal yang jarang dilakukannya. Dia melambaikan tangannya dengan wajah riang. Aku mengusap keningku yang mendadak berkeringat.

Kenapa harus Aris lagi?

"Disini," Mei menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Aku bergidik ngeri membayangkan jarak antara tempat duduk yang ditawarkan Mei dengan posisi Aris akan berdiri menerangkan mata kuliah nanti.

Bukan! Bukannya aku grogi jika harus duduk dengan jarak yang begitu dekat dengan posisi Aris mengajar nanti. Tapi, aku benar-benar tidak suka dengan mata kuliah yang diajar oleh Aris. Mata kuliah Termodinamika itu ibarat cowok jelek, dekil, bau yang ngebet banget pengen dijadiin pacar. Mau dengan cara apapun, aku nggak bakalan naksir.

"Nggak deh," kataku sambil melangkah menjauhi Mei menuju kursi paling belakang.

Aku mengetuk-ngetuk pen di meja dengan gerakan cepat. Hal yang sering kulakukan jika sedang gelisah. Kali ini aku tidak bisa menghindari Aris lagi.

Tiba-tiba suasana di sekelilingku mendadak sunyi. Aku mengangkat wajahku perlahan. Benar saja, Aris sudah berada di pintu kelas. Dia sedang mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Saat pandangan kami bertemu, aku langsung menunduk dan pura-pura membolak-balik buku tebal hadapanku. Setelah itu suara langkah kaki Aris terdengar makin jelas sampai dia meletakkan buku dan tasnya di meja.

"Selamat siang," sapanya dengan nada datar. Aku melengos menyadari begitu kerasnya suara teman-teman sekelasku yang membalas sapaannya.

Aris menyalakan laptop dan menghubungkannya dengan proyektor. Aku menahan nafas saat melihat sosoknya yang membelakangiku. Entah kenapa mataku tidak lepas memandangnya.

"Beberapa hari yang lalu saya sudah menjelaskan tentang mesin Carnot. Ada yang bisa bantu menjelaskan lagi apa itu mesin Carnot?" Setelah menyelesaikan kalimatnya, mata Aris berkeliaran seperti mencari mangsa.

Jangan aku. Bisikku dalam hati. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ditanyakan Aris. Apa itu mesin Carnot? Mungkin sejenis mesin penghancur wortel.

"Mesin yang memiliki empat langkah dalam pengoperasiannya," tiba-tiba terdengar suara lantang yang menjawab.

"Yaitu ekspansi isotermal, ekspansi adiabatik, kompresi isotermal, dan kompresi adiabatik," lanjut sumber suara itu. Aku menegakkan kepala, mencari sosok yang telah menyebutkan berbagai istilah yang sulit kucerna dengan pikiran normalku.

Sosok berambut panjang dan berwajah manis itu tersenyum lebar saat Aris menganggukan kepalanya tanda setuju dengan jawaban yang baru dikemukakannya. Pasti salah seorang pendukung garis depannya Aris.

"Selanjutnya, coba jelaskan apa itu proses adiabatik," mata Aris kembali berkeliaran. Aku semakin menunduk, menghindari tatapan mata Aris.

"Yang di belakang sana," suaranya terdengar sangat jelas di telingaku. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan mencari siapa yang ditunjuk oleh Aris untuk menjawab pertanyaannya.

"Iya, kamu." Aku mematung saat tatapan Aris mengarah padaku. Apa itu maksudnya aku?

Aku memutar bola mataku dengan gelisah. Sial. Aris pasti sengaja menunjukku. Dia tahu aku sama sekali tidak mengerti mata kuliah yang diajarkannya. Dan saat ini dia ingin mempermalukanku.

Sedetik, dua detik, suasana kelas hening. Semua seperti menunggu jawaban yang keluar dari mulutku.

Secarik kertas disodorkan perlahan padaku. Aku menoleh ke sebelahku, seorang lelaki mengangguk pelan seperti meyakinkan aku untuk menerima secarik kertas yang diberikannya.

Aku menatap kertas yang sekarang di terpampang di hadapanku dan mulai membacanya.

"Proses termodinamika yang terjadi tanpa adanya pertukaran kalor antar sistem dan lingkungan," jawabku mantap. Tentu saja sambil membaca secarik kertas yang diberikan Mas Baik Hati itu.

"Coba gambarkan diagramnya," wajah Aris terlihat tenang saat berbicara.

Sial!!!

"Sssttt...diagramnya ada di kertas juga," bisik Mas Baik Hati. Aku menarik nafas panjang sambil melangkah dengan percaya diri menuju depan kelas.

--

"Makasih ya, Mas," kataku dengan wajah penuh senyum. Mas Baik Hati ini pasti keturunan peri yang baik hati dan tidak sombong.

"Iya, sama-sama," balasnya sambil tersenyum. Suasana kelas sudah sepi, tinggal beberapa orang mahasiwa yang mungkin sedang membahas mata kuliah Aris tadi ataupun sedang menunggu kelas selanjutnya.

Aku jarang melihat Mas Baik Hati ini di kampus. Sepertinya dia mahasiswa angkatan atas yang sedang mengulang mata kuliah.

"Oiya, aku Bian," katanya kemudian sambil mengulurkan tangan.

"Maura, panggil aja Rara," balasku sambil mengulurkan tangan juga.

"Angkatan?" tanyaku.

"Angkatan tua," jawabnya sambil tertawa.

"Habis ini masih ada kuliah?" tanyaku basa-basi. Dari balik pintu Mei sudah melambai-lambaikan tangannya mengajakku segera ke kantin.

"Nggak kok," jawabnya.

"Ngg...aku duluan ya, Mas. Ditunggu temanku tuh," kataku akhirnya setelah bingung mencari kalimat yang tepat agar bisa beranjak pergi.

"Oiya," sahutnya sambil tersenyum.

"Ngomong-ngomong, kita seangkatan loh," lanjutnya saat aku sudah memalingkan wajah.

--

Past & Present : You (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang