5. Nenek Sihir

57.1K 6.1K 66
                                    

"Tadi teman seangkatan kita ya?" tanyaku pada Mei saat sudah berada di kantin. Mei menatapku sejenak.

"Yang mana?" tanya Mei dengan wajah bingung.

"Yang ngobrol sama aku di kelas tadi," jawabku.

"Ohhh...Bian," sahut Mei sambil mencomot gorengan dari piringku.

"Kok kamu kenal?" tanyaku.

"Kamu nggak kenal?" Mei balik bertanya.

"Nggak," jawabku singkat.

"Dia Ketua Angkatan," jawab Mey.

"Ketua Angkatan?! Maksudnya?" Aku malah tambah bingung.

"Ketua Angkatan kita," jelas Mei mengulang kalimatnya.

"Kamu ke mana aja, kok sama Ketua Angkatan aja nggak kenal," lanjut Mei. Aku menatap wajah Mei dengan bingung. Akhirnya aku memilih tidak menanggapi perkataan Mei karena rasanya percuma saja. Aku benar-benar tidak kenal dengan Ketua Angkatan yang dijelaskan Mei tadi.

"Setelah ini masih ada kuliah?" tanyaku. Mei nampak berpikir sesaat.

"Nggak ada," sahutnya.

"Temanin aku yuk," ajakku.

"Kemana?"

"Ke Timoho. Ada titipan Mama yang harus diantar," jelasku. Mei mengganguk setuju dan kemudian melanjutkan makannya.

Sebenarnya titipan dari Mas Pram untuk pacarnya, Mbak Yayi. Kalau aku jujur, Mei pasti tidak mau menemaniku. Mei kan naksir berat sama Mas Pram sejak pertama kali aku mengajaknya ke rumah.

Kalau sampai Mas Pram pulang nanti dan tahu titipannya belum diantar, dia pasti akan memarahiku. Saat ini Mas Pram bekerja di salah satu pabrik bahan kimia di Tangerang. Dia akan pulang sebulan sekali saat sedang off.

"Braaaakkk!"

Aku menghentikan suapan makanku saat terdengar gebrakan meja yang begitu nyaring. Aku dan Mei saling berpandangan saat mata kami terpaku pada sosok wanita yang berdiri di sebelah meja.

"Ada apa ya Mbak?" tanyaku heran. Kenapa wanita ini tiba-tiba muncul dan mengebrak meja kami? Padahal aku dan Mei tidak pernah meninggalkan hutang di kantin ini.

Wanita berambut coklat itu menatapku tajam. Matanya menyipit dan alis tipisnya membentuk lengkungan tajam.

"Kamu...jangan coba-coba godain pacarku!" Tangannya menunjuk ke arahku. Nafasnya terdengar terengah-engah tanda dia sedang  menahan emosinya.

Aku menatap ke arah Mei lagi, mencoba meyakinkan kalau wanita ini memang sedang berbicara padaku. Mei mengangkat bahunya bingung.

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Kurang jelas yang aku sebutin tadi?!" Matanya melotot tajam saat mengucapkan kalimat itu.

"Jangan ganggu pacarku lagi! Kalau nggak, kamu bakal tahu akibatnya!" Setiap kata yang disebutkannya penuh dengan penekanan. 

Maksudnya aku ini wanita penggoda pacar orang?! Serius?!

"Nggak salah orang ya, Mbak?" tanyaku berusaha tidak terpancing emosi. Mungkin selingkuhan pacarnya memiliki wajah yang mirip  atau nama yang sama denganku. Bisa jadi ada kebetulan yang seperti itu.

"Ini peringatan pertama! Aku bakal buat hidupmu susah!" Seperti tidak mengindahkan ucapanku, dia menggebrak meja sekali lagi dan kemudian beranjak pergi dengan langkah tergesa-gesa.

Beberapa detik, aku dan Mei saling berpandangan dalam diam. Aku mencoba mengingat wajah wanita yang menuduhku menggoda pacarnya. Tapi nihil, aku sama sekali tidak bisa mengingat siapa dia. Pacar saja tidak punya, yang ada malah dituduh menggoda pacar orang.

"Kamu kenal?" tanya Mei. Aku menggeleng dengan bingung.

"Siapa ya?" aku balas bertanya sambil mengedarkan pandanganku. Sudah pasti kejadian tadi menarik perhatian semua orang di kantin ini.

"Tunggu...sepertinya aku ingat wanita ini!" cetus Mei tiba-tiba.

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Dia pacarnya Septian!" Mei sudah setengah menjerit. Aku kira setelah mendengar nama yang disebutkan Mei tadi, aku juga akan menjerit kegirangan. Tapi, nyatanya aku malah menatap Mei dengan bingung.

"Septian Rano!" ulang Mei sekali lagi.

"Septian Rano?" Mendengar nada tanya di kalimatku, Mei menggulang kalimatnya sekali lagi.

"Septian Rano yang aktif di UKM seni," kata Mei. Aku menyerah dan memilih menggelengkan kepalaku.

"Aku aja nggak kenal Septian Rano. Gimana mungkin aku mau menggoda dia," ujarku emosi.

"Lain kali kalau ketemu sama Nenek Sihir itu lagi, bakal aku labrak balik. Seenaknya aja nuduh aku mau merebut pacarnya," lanjutku berapi-api.

"Dasar Nenek Sihir!" sambung Mei tak kalah emosi.

"Kalian nggak apa-apa?" Belum sempat aku menyambung omongan Mei, tiba-tiba seseorang menghampiri meja kami.

"Eh...Bian. Nggak apa-apa kok," ujar Mei. Bian kemudian menarik kursi di sebelahku.

"Rara sama sekali nggak kenal sama orang tadi, tapi tiba-tiba aja datang ngelabrak," jelas Mei padahal Bian belum bertanya apa-apa.

"Oya?" Wajah Bian nampak tertarik mendengar penjelasan Mei.

"Iya. Dia nuduh aku godain pacarnya," kali ini aku yang menimpali. Bian kemudian tertawa dengan kerasnya. Aku cuma bisa tersenyum masam sambil memandangnya.

"Jangan-jangan memang benar," ledek Bian sambil tertawa.

"Enak aja! Pacar aja belum punya, masa mau jadi selingkuhan orang," bela Mei. Aku menatap Mei dengan kesal, tujuannya ingin menolongku malah terkesan seperti menurunkan harga diriku. Bian tergelak lagi.

"Kalian masih ada kuliah?" Bian mengalihkan pembicaraan.

"Nggak ada. Habis ini mau ke Timoho nemanin Rara," sahut Mei. Entah kenapa, dari tadi aku merasa Mei seperti semangat sekali menanggapi pembicaraan Bian.

"Pakai apa?"

"Trans Jogja," jawabku cepat sebelum dijawab oleh Mei.

"Mau bareng?"

"Boleh," sahutku.

"Ya sudah kalau gitu aku langsung pulang ya. Kamu bareng Bian aja," Mei mengedipkan matanya sambil tersenyum.

Tunggu...apa maksud Bian mau bareng naik Trans Jogja ke Timoho? Atau dia menawariku berdua aja ke Timoho?

"Kebetulan arah rumahku juga lewat Timoho," jelasnya.

Aku terdiam penuh kebingungan.

--



Past & Present : You (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang