Aku menatap Aris selama beberapa detik. Apa maksud dari perkataannya barusan?
"Gimana?" tanyanya lagi.
"Masa aku tiba-tiba pisah dari rombangan. Yang lain pasti curiga," sahutku.
Duh, seharusnya bukan seperti itu tanggapanku. Harusnya langsung kutolak saja permintaannya. Sebagai dosen, masa dia enggak ngerti kalau di Kuliah Lapangan kali ini enggak ada satu mahasiswapun yang diijinkan keluar dari rombongan. Kecuali jika situasi memaksa, sakit misalnya.
"Aku cuma nawarin solusi terbaik buat kamu," kilahnya.
"Atau gini aja. Kamu bareng aku waktu pulang ke Yogya. Enggak ada yang bakal protes kan?" Dia menyelesaikan mencuci tangannya.
Sebelum sempat aku menanggapi permintaannya, dia sudah berlalu dan tidak menoleh ke arahku lagi.
Semau hatinya saja memaksa tanpa menunggu persetujuanku. Benar-benar kecoak berkaki dua!
"Kenapa ya dulu kok otakku tumpul banget menyadari kalau sebenarnya Pak Aris memang suka ngedekatin kamu," kata Mei seperti bicara pada dirinya sendiri. Dia menghampiriku setelah Aris tidak terlihat lagi. Aku melotot tidak suka. Mana ada Aris mau ngedekatin aku, yang ada dia selalu menyiksa dan membuat hidupku tidak tenang.
"Ngawur!" balasku. Mei terkikik sambil melirik ke kiri dan ke kanan.
"Hari ini aja dia sudah dua kali ngedekatin kamu," bisiknya. Aku tersenyum masam. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa dalam satu minggu gosip tentangku dan Aris bisa menyebar ke seluruh kampus.
"Tuh makanya aku malas cerita ke kamu," kataku tidak senang.
"Ssttt...ada Bian," bisik Mei tiba-tiba. Saat pandanganku dan Bian saling bertemu, dia memalingkan muka dan berjalan menghindariku.
"Aku mau bicara sama Bian dulu ya." Buru-buru aku meninggalkan Mei yang masih bengong menatapku. Tidak bisa dibiarkan seperti ini terus, harus ada kejelasan tentang hubungan kami.
"Bian...!" Aku mengejar Bian yang sedang bersama teman-temannya. Dia tidak menoleh sampai teman-temannya yang menyadarkannya. Dia menatapku dengan wajah datar, seperti tidak bersemangat bertemu denganku.
"Sebentar aja," pintaku lirih saat melihat dia mau beranjak lagi.
"Enggak bisa, Ra," sahutnya. Dengan cepat aku menarik lengannya dan membawanya menjauh dari teman-temannya.
"Kamu mau apa lagi?" Wajahnya tampak enggan. Aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan perkataanku.
"Aku minta maaf," ucapku dengan suara pelan. Bian membuang napasnya dengan kesal. Aku menunggu jawaban atas permintaan maafku dengan berdebar.
"Oke," sahutnya singkat. Aku menatapnya tidak suka. Hanya seperti itu tanggapannya?
"Kita sudah selesai, Ra. Enggak ada yang perlu dibicarakan lagi," katanya ketus. Aku memicingkan mataku. Sudah selesai? Hanya gara-gara aku menolak ciumannya?
"Secepat itu kamu mutusin?" Suaraku terdengar bergetar.
"Sudah lama aku mikirin hal ini. Bukan baru hari ini. Semuanya bakal baik-baik aja, kamu tahu itu," ejeknya.
Aku memang belum memiliki perasaan khusus pada Bian. Tapi kedekatan kami dan semua hal yang berhubungan dengannya mau tidak mau membuatku terguncang. Secepat itukah dia mengambil keputusan?
"Bukan seperti ini yang aku mau. Aku...aku benar-benar minta maaf, Bian." Sesaat setelah aku mengucapkan perkataanku, Bian menatapku sinis. Kemana perginya kebaikannya selama ini? Aku mengusap mataku yang mendadak memanas.
"Sudah minta maafnya?" tanyanya.
"Aku maafin kamu dengan syarat jangan muncul lagi di hadapanku." Bian berlalu dan meninggalkan aku yang masih mematung. Pandanganku terasa kabur karena genangan air mata yang hampir tumpah. Aku memang bersalah telah mempermainkan perasaannya.
"Jangan lama-lama berdiri di sini, kamu ganggu jalan orang." Seseorang berbisik pelan di telingaku.
Oh tidak! Aris lagi!
"Tinggalin aku!" bentakku kasar. Aku berlari dan mencari tempat yang sepi oleh keramaian. Aku tidak perlu Aris atau siapapun untuk menenangkanku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Hening tidak ada suara. Aku tidak tahu apakah Aris masih berada di dekatku atau malah sudah beranjak pergi. Di tempat sesepi ini, aku ingin menangis sepuasnya tanpa diganggu. Aku teramat kesal pada diriku sendiri.
"Kamu tangisin hal yang enggak perlu." Aku mengangkat wajahku. Demi kecoak busuk! Aris mengikutiku! Tanpa meminta persetujuanku, dia kemudian duduk di sebelahku.
Dengan cepat aku menghapus sisa air mataku. Jangan sampai insiden tadi berulang lagi. Aku tidak mau dua kali dipeluk Aris dalam hari yang sama.
"Dia enggak pantas kamu tangisin, masih banyak hal lebih yang bisa buat kamu bahagia," ujarnya begitu saja. Apaan sih, sok menasehati tapi enggak ngerti permasalahannya. Aku bukan sedang menangis karena diputuskan Bian.
"Kamu enggak bakalan ngerti," ucapku kesal.
"Sudah sana, aku enggak butuh kamu!" usirku. Aris diam.
"Bisa enggak kamu enggak usah mau tahu urusanku." Aku menatap Aris tajam.
"Enggak bisa," sahutnya. Aku mengerling kesal. Apa-apaan jawaban seperti itu.
"Semua hal tentang kamu enggak bisa aku biarin gitu aja." Dia membalas tatapan mataku. Aku membuang napas kesal. Maksudnya apa coba bicara seperti itu? Memangnya dia asisten pribadiku yang harus tahu semua urusanku?
"Asal kamu tahu, aku enggak bakal buat kamu nangis kayak gini."
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Past & Present : You (Telah Terbit)
Chick-Lit(full story of Uppsss!!!) Bagiku dia adalah masa lalu. Bukan sebuah kesalahan, hanya kenyataan yang harus aku lupakan. Sama seperti statusnya buatku : mantan. Tapi kenapa di masa sekarang dia kembali dalam sosok dosen mata kuliah yang paling kubenc...