10. Mereka Berdua

51.7K 5.8K 95
                                    

Aku mempercepat langkahku dan buru-buru meninggalkan kantin. Wajah Aris beserta tatapan matanya yang memuakkan terbayang terus di pikiranku.

Kenapa aku malah kabur seperti ini?

Menyebalkan! Melihat wajah Aris tadi malah membuat aku ingin menonjoknya.

Tunggu... Sepertinya aku melupakan sesuatu! Mei!

"Buru-buru banget," seseorang menyejajari langkahku.

"Eh...Bian!"

"Kamu dari mana?" tanyaku basa-basi.

"Dari Fakultas," jawabnya.

"Sabtu ini ada acara?" tanyanya tiba-tiba. Aku terdiam sejenak, memikirkan rencanaku akhir pekan nanti.

"Enggak ada. Emang kenapa?"

"Ikut Baksos ke Gunung Kidul yuk," ajaknya.

"Nanti aku jemput," lanjutnya lagi karena aku belum menjawab tawarannya.

"Baksos jurusan kok, anak-anak Teknik Kimia semuanya," jelasnya.

"Boleh," sahutku akhirnya.

Setelah dipikir-pikir aku sama sekali tidak pernah mengikuti kegiatan kampus. Selain malas, kadang aku juga merasa tidak terlalu pandai bersosialisasi dengan teman-teman baru, yang malah akan membuatku seperti orang canggung.

"Boleh sumbang apa aja?" tanyaku.

"Apa aja yang masih layak," sahut Bian.

Sumbang mantan, boleh?

"Ini baksos anak-anak angkatan baru. Kita bantu-bantu aja," jelas Bian lagi. Aku mengangguk-angguk.

"Kamu mau aku jemput dimana?" lanjut Bian.

"Kalau di kampus, namanya bukan jemput dong," kataku sambil tersenyum.

"Maksudku, alamat rumahmu," timpal Bian sambil nyengir.

"Kemarin kan enggak keburu antar kamu pulang gara-gara kelamaan nunggu fotokopian bahan kuliah Pak Aris," jelas Bian. Aku menghela napas kesal saat mendengar nama Aris.

"Atau...gimana kalau pulang ini kamu bareng aku aja, biar aku tahu dimana rumahmu," Bian memberikan penawaran.

"Aku kuliah sampai sore hari ini," sahutku setelah Bian berbicara tanpa henti.

"Aku juga," katanya.

"Aku tunggu kamu di parkiran ya," Bian memberikan keputusan. Rasanya aku belum memberikan persetujuan atas tawarannya barusan.

"Bian...,"

"Aku ke ruang himpunan dulu ya. Jangan lupa nanti tungguin aku," katanya lagi sambil berbelok ke ruang himpunan.

Astaga. Aku saja belum sempat berbicara satu patah katapun.

--

"Tadi kita dibayarin Pak Aris," kata Mei sambil mengembalikan selembar lima puluh ribuanku. Aku melongo.

"Kamu juga kemana sih tadi," lanjut Mei sambil bersungut.

"Ngapain dia bayarin makan kita?" tanyaku tidak senang.

"Mungkin lagi senang gara-gara baru jadian sama Bu Renata," sahut Mei sambil terkikik. Aku tersenyum masam.

"Malas banget dibayarin dia," kataku dengan suara pelan.

"Kamu cemburu ya Pak Aris jadian sama Bu Renata?" Mei terkikik lagi. Aku melengos.

"Kamu tuh kali yang cemburu," kataku sambil pura-pura sibuk mencari sesuatu di dalam tas ranselku.

"Oiya, Sabtu ini kamu ikut Baksos?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Malas, anak-anak angkatan baru semuanya," jawab Mei.

"Aku diajakin sama Bian loh," ceritaku.

"Tumben," komentar Mei.

"Jangan-jangan...," Mei menghentikan ucapannya sambil menatap ke arahku.

"Dia naksir kamu," lanjutnya sambil berbisik. Aku melotot.

"Ngaco," timpalku sambil tersenyum masam.

Aku segera menarik tangan Mei memasuki ruang kelas sebelum pembicaraan kami semakin tidak jelas.

--

Sejujurnya aku sudah hampir melupakan janjiku pada Bian untuk menunggunya di parkiran, kalau saja dia tidak meneleponku berkali-kali.

"Kamu duluan aja deh. Aku baru ingat ada janji," kataku pada Mei pada saat kuliah telah berakhir.

"Tumben banget kamu ada janji. Mencurigakan," Mei berdesis curiga.

"Apaan sih Mei. Aku ada janji sama Bian buat nungguin dia di parkiran," jelasku akhirnya sebelum dia menuduhku yang tidak-tidak.

"Tuh, ternyata benar dugaanku," kata Mei dengan tatapan mata curiga. Aku menghela napas panjang.

"Dia cuma mau tahu dimana rumahku, biar mempermudah jemputin aku waktu Baksos nanti," jelasku lagi.

"Semakin mengarah ke situ rupanya," Mei menanggapi. Aku mencubit lengannya perlahan, kesal dengan tingkah lakunya yang seperti mencurigai maksud baik Bian.

"Sudah deh kalau gitu, aku duluan! Kelamaan dengarin analisis kamu," kataku sambil buru-buru meninggalkan Mei yang cuma bisa melongo menatap kepergianku.

Jam tanganku sudah menunjukan pukul lima lewat lima belas menit. Langit sudah mulai menggelap dan meninggalkan berkas kemerahan. Aku menuruni tangga dengan gerakan cepat karena Bian sepertinya sudah menungguku di parkiran.

Langkahku terhenti mendadak. Tepat tiga tangga di depanku, ada Aris dan Bu Renata yang juga sedang menuruni tangga dengan perlahan. Aku menegang dan tiba-tiba menjadi gelisah.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pura-pura tidak peduli dan menuruni tangga tanpa menoleh ke arah mereka atau mendadak bersikap ramah dengan wajah bodoh?

Akhirnya aku memelankan langkahku sambil menajamkan pendengaran. Aris dan Bu Renata berbicara dengan sangat pelan, bahkan lalat yang lewat saja tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

Aku menarik dan mengehela napas kesal. Kenapa Aris tiba-tiba berjalan sangat lambat seperti siput? Apa sih yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya aku bisa sampai di lantai dasar setelah sebelumnya menahan perasaan melihat tingkah laku Aris yang mendadak manis di hadapan Bu Renata.

"Ra...Rara...! Disini!" suara teriakan seseorang membuatku kaget. Di depan sana, ada Bian yang sedang menungguku sambil melambaikan tangannya.

Kontan Aris dan Bu Renata menoleh ke belakang. Aku menegang. Mata Aris menatapku tanpa berkedip.

--

Past & Present : You (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang