-
-
Seorang perempuan melipat kedua tangannya ke dada. Wajahnya ditekuk dalam-dalam. Sesekali dia melirik jam pada ponsel, kemudian mendengkus samar. Pasalnya sudah hampir setengah jam dia berdiri di bawah jembatan halte Transjakarta pagi ini. Sampai-sampai dia hapal betul berapa jumlah tukang ojek yang tengah mangkal di sana, hingga gosip terpanas di antara mereka."Bisa gantiin patung Pancoran nih, kalau sampai satu jam lagi si Takka enggak dateng."
Sebuah gerutuan akhirnya lolos dari bibir Maya. Bila saja Takka masih si Gembul-Anak-Mami seperti dulu, mungkin dia enggan pagi-pagi buta harus menunggu di depan halte seperti sekarang. Apalagi baru dini hari tadi tadi lelaki itu memberi kabar kepadanya bahwa pagi ini mereka harus meeting dengan vendor.
Lima belas menit kemudian, sebuah mobil merah berhenti tepat di depan Maya. Kaca mobil itu terbuka menampilkan sebuah cengiran familiar dari balik kemudi.
"Sorry, gue ada urusan tadi. Yuk masuk!"
Maya menghela napas pasrah. Bergegas dia melangkah lantas duduk rapi di sebelah Takka. Akan tetapi, wajah Maya berganti risi. Lantaran dia baru tersadar bila mobil Takka penuh dengan barang-barang tidak terpakai, atau lebih tepatnya – sampah.
Dari kaleng minuman bersoda, tumpukan berkas di jok belakang, sampai beberapa bungkus camilan, tidak lepas dari indera penglihatan Maya. Hingga mata perempuan itu tertumbuk pada beberapa lembar tisu di bawah kaki Takka. Spontan dia memandangi tisu itu dan Takka bergantian.
Sadar akan arah pandang Maya, Takka diam-diam menginjak tisu-tisu tadi dan menggesernya ke bawah kursi pengemudi.
"Jangan mikir yang enggak-enggak. Ini cuma tisu bekas biasa kok."
"Dih, emang siapa yang nanya?"
"Kebaca dari mata lu," ucap Takka malas.
Maya terkekeh pelan mendengar ucapan Takka.
"Dari pada lu ketawa, mending cek berkas-berkas di belakang aja gih," perintah Takka tanpa mengalihkan pandangannya.
"Berkas apaan nih?" tanya Maya yang sudah memindahkan berkas di belakang ke pangkuannya.
"Daftar desainer yang mau kita temuin hari ini. Yang lu cari sama Nino."
Mata Maya membulat melihat berkas yang sudah tertata apik di tangannya. Sebab Maya rasa dia hanya mengirimkan daftar ala kadarnya kepada Nino kemarin.
"Di situ udah ada lima desainer yang dipilih Nino. Dua di antaranya udah gue hubungin tadi pagi, mereka bakal kirim harga penawaran dengan desainnya siang ini via email," terang Takka sambil menunjuk berkas di tangan Maya, "Nah, yang tiga. Terpaksa kudu kita datengin, karena susah banget dihubungin. Jadi, sebisa mungkin sebelum kita ketemu dengan Mbak Nissa kita udah dapat data dari mereka, supaya kita ada bahan buat ngeles."
KAMU SEDANG MEMBACA
[SUDAH TERBIT] Pit a Pat : Karena Tiap Detak Punya Cerita
General Fiction[HATI] . Terbiasa hidup hanya untuk makan, tidur, dan bernafas sehari-hari, bisa dibilang membuat Maya si Pengangguran dengan track record selama dua tahun itu, benar-benar pemegang prinsip kuat bila hidup seperti air yang mengalir. Let it flow then...