3

20 6 2
                                    

May memutuskan untuk naik angkutan umum ke sekolahnya. Awalnya, kedua orang tua tercintanya tidak setuju akan keinginannya. Namun, May tetap bersikeras atas keinginannya tersebut.
May berjalan sendiri sambil menunggu angkutan umum. Namun, tak kunjung ada satu pun angkutan umum yang berhenti. Semuanya penuh.
May menyesali keinginannya tersebut. Dia pikir naik angkutan umum jauh lebih baik daripada diantar oleh ayahnya. “Apes gue!” hanya itu yang ia pikirkan saat ini.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti disampingnya. May berpikir bahwa ayahnya-lah yang mengendarai mobil itu. Tapi ternyata…
“Seorang May jalan kaki ke sekolahnya. Sungguh hal yang istimewa. Biasanya kan seorang princess nggak mau jalan kaki,” kata pemuda berwajah tampan.
May mengacuhkan perkataannya. Ia pun berjalan kembali. Sambil menunggu angkutan umum yang berhenti mempersilahkan tumpangan untuknya.
Mobil tersebut berjalan mengikuti May. May sangat tidak mengerti apa yang diinginkan pemuda di dalam mobil tersebut. May hanya bisa menyimpulkan bahwa pemuda tersebut hendak mengejek May.
May berhenti dan berkata, “Apa?” Selang beberapa detik kemudian ia melanjutkan perkataannya,“Kenapa lu ngikutin gue, huh?”
“Gue cuma ingin menawarkan tumpangan untuk lu. Lu mau nggak? Gratis lho.” Dalam hati, May sangat senang mendengar tawaran tersebut. Namun…
“Thanks atas tawarannya. Tapi gue nggak bisa. Lebih baik gue jalan kaki daripada harus numpang semobil dengan lu, Romy Mahendra!” balasnya.
Dia menyebut nama lengkap Romy dengan jelasnya. Hal itu membuat Romy tersenyum manis kepadanya. Sayangnya, May hanya membalas dengan tatapan sinis. Rony yang sedari tadi hanya bisa diam sambil bermain ponsel dan mendengarkan musik dengan headphone miliknya.
“Well, jika itu yang lu mau. Gue mau berangkat dulu ya! Jangan nyesel ya!” Seperti biasa, ia selalu memberikan senyuman yang manis untuk May.
“Pffttt… gue nggak bakalan nyesel.”
Mobil tersebut berjalan kembali. Lambat laun, punggung mobil tersebut tak terlihat. Keringat mulai berjatuhan  diwajah May. May mulai menyesal karena menolak tawaran dari Romy.
“Kapok deh gue minta berangkat sekolah naik angkutan umum. Nggak ada angkutan yang mau berhenti buat gue tumpangin,” gerutunya.
Bagaimana ada angkutan yang mau berhenti? May juga tidak melambaikan tangannya untuk memberhentikan angkutan umum. Selain itu May juga berjalan terus menelusuri trotoar. Memang, May belum pernah sama sekali naik angkutan umum. Inilah sebabnya ia sangat ingin naik angkutan umum.
“Gue bisa telat kalau kayak gini,” gerutu May. Tiba-tiba, ada sebuah sepeda motor berhenti disampingnya dan membunyikan klakson. May terkaget dan menutup tellinga dengan kedua tangannya.
“Mungkin lu bisa nebeng gue lagi.” mendengar suara tersebut, May langsung menoleh dan melongo.
“Lu kenapa? Kayak abis liat setan aja. Lu mau nebeng gue nggak?”
Dengan cepatnya May mengangguk setuju.
“Yes! Dia menerima tawaranku lagi,” kata Diki dalam hati. May sangat bersyukur dapat bertemu dengan Diki. Ketika May membutuhkan sesuatu, tidak disengaja Diki selalu datang untuknya. May hanya bisa berpendapat bahwa Diki adalah ‘Malaikat’ untuknya.
***
“Thanks ya Ki! Kalau nggak ada lu, pasti gue akan terbakar matahari pagi ini,” kata May sambil memberikan helm kepada Diki.
“No problem. Btw, kok lu nggak dianter sama bokap lu, kenapa?”
May langsung menjawab, “Oh, itu…itu karena gue ingin naik angkutan umum. Tapi nggak ada satu pun angkutan umum yang mau menawarkan tumpangannya ke gue.”
Kemudian, Diki dan May pergi menuju kelas mereka. Perjalanan mereka ke kelas tidaklah hening. May sangat senang mempunyai teman seperti Diki. Begitu pula Diki.
Windy yang sedang duduk di depan kelas sangat sinis melihat kedatangan mereka. Bukan karena Windy benci kepada Diki ataupun May. Tapi, Windy tidak suka melihat mereka berdua berangkat bersama.
Kebetulan? Suatu hal yang janggal tertanam di dalam benak Windy. “Tidak mungkin mereka berdua bertemu di depan sekolah atau di parkiran. Ini benar-benar hal yang janggal. Apakah mereka berangkat bersama dari rumah? Menyebalkan,” begitulah pikir Windy dalam hati.
May merasa kejanggalan terjadi pada diri Windy. Windy seperti ingin menjauhinya. May memutuskan untuk angkat bicara terlebih dahulu. Namun, Windy berpura-pura tidak mendengar dan memperhatikan guru yang sedang mengajar. Mungkin ini bukan waktu yang cemerlang untuk May berbicara dengannya.
Kring….kring…kring… bel istirahat telah berbunyi. May mencoba untuk angkat bicara lagi kepada Windy. Namun, seseorang mengajak Windy pergi ke kantin bersama. May gagal kali kedua.
May diam seribu bahasa di bangkunya. Tangan kirinya menopang wajahnya yang sedang mengamati papan tulis dengan tatapan kosong. May pikir, menjadi anak baru akan disukai teman-temannya, tapi itu semua bertolak belakang. Tidak semua orang menyukai anak baru. Bahkan banyak yang membenci anak baru.
“Halo, May!” sapaan ramah  itu membuyarkan lamunan May.
May menjawab, “Ngapain lu nyapa gue?”
“Ih…dingin banget sih lu! Kayak kulkas aja.”
May menyahut, “Gue lebih dari dingin, gue beku kayak bongkahan es di kutub!” lalu, May beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan pemuda itu sendirian.
“Kok dia bisa ya dingin banget sama lu? Padahal, dia ramah banget lho sama gue,” kata Diki sedikit mengejek.
“Maksud lu apaan, huh? Lu ngejek gue? Lu pikir lu lebih tampan dari gue?” sembur Romy.
Sepertinya kedua pemuda itu benar-benar menginginkan May. Mereka saling mengejek satu sama lain.
“Kita liat aja nanti siapa yang bisa dapetin hati May!” kata Romy dengan penuh percaya diri bahwa dia pasti yang akan menang.
“Oke.”
***
May menemui Windy yang sedang makan bersama kedua temannya. May duduk disampingnya Windy dan menyapanya. Namun, Windy tetap dingin kepadanya. Kedua temannya saling berpandangan dan merasa ada kejanggalan diantara May dan Windy.
“Gue mau pergi ke perpus dulu ya, kalian berdua mau ikut nggak?” kata Windy.
“Gue nggak ikut,” kata Sheila dan Hilda bersamaan.
Kegagalan yang ketiga kalinya untuk May.
“Aneh deh. Gue pengin tahu apa yang membuat si Windy bersikap seperti itu sama lu,” kata Sheila.
“Oh…gue sendiri juga nggak tahu. Sepertinya dia memang nggak suka sama gue,” balas May tenang.
“Dia belum pernah tidak menjawab salam sebelumnya. Sekalipun dari orang yang tidak ia sukai, ia selalu menjawab salam. Kok dari lu nggak yah? Aneh,” sahut Hilda.
“Lu pernah nyakitin dia?” tanya Sheila tiba-tiba.
May hanya terdiam.
Kemudian, May angkat bicara, “Sepertinya tidak.” Sheila terdiam dan seperti sedang memikirkan sesuatu. Kemudian, dia juga angkat bicara, “Lu pernah menyakiti hatinya.”
May membulatkan matanya dan bertanya, “Kapan?”
“Saat lu berangkat dan pulang bareng sama Diki. Windy sangat cemburu melihat kalian berdua,”balasnya.
“Apakah mereka berdua berpacaran?” tanya May dengan nada panik.
Sheila menjelaskan bahwa Windy dan Diki tidak berpacaran. Namun, Windy sangat tertarik kepada Diki. Windy sangat tidak suka melihat pemuda yang ia kagumi berjalan bersama seorang perempuan, apalagi perempuan yang sedang diincar Diki. Windy tahu jika Diki sangat menyukai May dan sedang menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan perasaannya kepada May.
“Oh tidak! Apa yang harus gue lakuin?” tanya May.
“Lu harus minta maaf lah May!” kata Hilda.
“Dan lu harus berusaha jaga jarak dengan Diki,” sambung Sheila.
Sulit. Hanya itu yang terlintas di benak May ketika Sheila menyuruhnya untuk jaga jarak dengan Diki.
***
May membolak-balikan bolpoint yang sedang ia pegang selama beberapa menit. Pikirannya sedang kacau malam ini. Ia mulai tertarik dengan Diki, namun ia harus berusaha menjauhinya demi sebuah pertemanan. Dia mulai merasa ketidakadilan yang ia peroleh dari Sang Pencipta.
“Kenapa gue harus punya ketertarikan padanya jika harus seperti ini? Kenapa gue harus punya teman yang sangat egois? Gue benci! Gue benci semuanya!” katanya sambil merobek kertas dihadapannya.
Drrrtt…drrtt… ponsel May bergetar dan menandakan sebuah pesan masuk. May meraih ponsel di hadapannya.
Terlihat dilayar ponselnya bahwa Romy yang mengirim pesan kepadanya. Kini, dia sudah tahu yang berbicara dengannya di balkon saat itu dan memberikan pesan pada malam itu adalah Romy, bukan Rony.
May mulai mengetik balasan untuknya.
To: Romy
Ngapain lu sms jika cuma buat bilang ‘Good Night’? Nggak penting banget!
May menekan tombol send dilayar ponselnya. Beberapa menit kemudian, ia mendapat sms masuk lagi. Sebuah balasan dari Romy.
From: Romy
Jika nggak penting, pasti nggak akan di bales sama lu. Thanks ya!
May mengerutkan keningnya. Ucapan terimakasih dari Romy membuatnya bingung. Lalu, dia kembali membalas smsnya untuk menanyakan, “Thanks buat apa?”
From: Romy
Thanks udah bales sms dari gue. Gue mau video call kamu. Please angkat ya! Gue lagi butuh temen ngobrol. Si kembaran gue udah tidur, jadi gue sedang kesepian banget nih.
To: Romy
Gue juga sedang kesepian.
Entah kenapa malam itu May mau menjadi temannya Romy. Biasanya, kalau Romy minta video call kepadanya, pasti May selalu mengatakan bahwa dia malas bicara dengan sosok bernama Romy. Tapi, sepertinya sekarang tidak lagi.
May mengangkat video call dari Romy. May melihat dari ponselnya, sepertinya Romy sedang tidak ada dikamar atau di dalam ruangan. Romy menyapanya, dan May menjawab sapaannya. Meskipun dengan nada sinis.
“Sepertinya cuacanya sedang bagus. Lu lagi belajar ya?” tanya Romy.
“Sepertinya begitu. Hanya itu yang mau lu katakan? Membosankan.”
“Kenapa sih lu beku banget sama gue? Gue salah apa coba? Kenapa lu ramah banget sama si Diki?”
“Karena lu menyebalkan. Kesalahan lu adalah lu terlalu sering nyapa gue. Lalu, gue ramah sama Diki atau sama orang lain itu bukan urusan lu!”
“Biasanya cinta itu datang dari sebuah kebencian,” kata Romy sambil tersenyum kepada May.
“Dan lu pikir gue bakalan cinta sama lu, huh? Mimpi lu!” kata May dengan muka datar.
“Lu itu lucu, cantik, pintar. Sayangnya, lu beku banget.”
May hanya diam dan mengalihkan pandangannya.
“Lu sepertinya sedang galau. Sama kayak gue.”
“Nggak usah nyama-nyamain gue sama lu!” sahut May.
“Lu kalo lagi marah makin keliatan cantik deh,” kata Romy.
“Lu nggak usah memuji gue! Gue muak dengan pujian lu yang ketinggalan jaman itu!”
May berkata bahwa dia muak dengan pujian-pujian yang keluar dari mulutnya Romy, tapi dia belum mematikan video call darinya. Sepertinya perkataannya itu hanya TIPUAN.
“Ah…bintangnya sangat indah. Coba deh lu keluar atau membuka jendelamu dan melihat bintang-bintang yang bertaburan dilangit!” kata Romy dengan mendongak ke angkasa.
May malas untuk keluar rumah. Tapi, dia sangat menyukai bintang-bintang di angkasa. Kemalasannya pun hilang seketika. Karena kamarnya berada dilantai dua, dia langsung bisa keluar ke balkon depan kamarnya.
May mendongakkan wajahnya keatas. Sebuah senyuman manis menyimpul di wajahnya. Romy yang berada diseberang sana sangat senang melihat wajah May yang penuh senyuman itu. Seketika May lupa bahwa ia membenci sosok Romy. Dia berubah menjadi ramah.
“Berjuta bintang tanpa tertutup awan yang menjengkelkan dengan sebuah bulan purnama. I really really like it!” kata May sambil melemparkan senyumnya.
“Sok puitis lu!” kata Romy.
“Lu kenapa belum tidur, sedangkan si kemabaran lu udah tidur?” tanya May tiba-tiba.
“Gue nggak bisa tidur jika belum melihat bintang dan menyapa lu.”
“Menyapa gue? Aneh lu! Berarti, sebelum gue bertemu dengan lu, lu nggak bisa tidur karena belum nyapa gue?” tanya May.
“Sepertinya begitu.”
“Aneh! Lu bener-bener aneh!”
Tak terasa sudah setengah jam lamanya May dan Romy melakukan video call. Sudah setengah jam juga seorang May bersikap ramah dan pemuh senyuman kepada seorang Romy.
May merebahkan badannya diatas ranjang. Ia sempat tersenyum beberapa kali. Mungkin, hal ini akan memudahkannya untuk jaga jarak dengan Diki. Mungkin juga, ia mulai tertarik kepada Romy. Beberapa menit kemudian, ia tertidur.
***
Ditempat lain, Romy masih berada di luar rumahnya. Ia masih sibuk mengamati jutaan bintang di angkasa. Dia juga sempat tersenyum bahagia.
“Gue baru tahu kalau May tidak benar-benar membenci gue. Dia benar-benar teman yang klop,” katanya.
“Mungkin dia mulai tertarik kepadaku. Bintang dan bulan di malam yang kelam, saksikanlah! Gue, Romy Mahendra berjanji, akan selalu berusaha untuk membuka hatinya May Harris Ashima.”
Beberapa menit kemudian, Rony mendekatinya.
“Bukannya lu udah tidur?” tanya Romy.
“Iya. Tapi, gue tersadar kalau lu masih di luar. Ayo masuk! Nanti lu masuk angin,” kata Rony dengan nada masih terkantuk.

Perasaan MayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang