9

3 4 0
                                    

Wajah May berseri-seri. Senyumannya selalu mengembang kecil menghiasi wajah cantiknya. Semua kegelisahan hatinya telah hilang. Terutama kegelisahannya karena sikap Romy yang begitu—menegangkan untuknya.
“Are you okay?” tanya Windy sebagai teman sebangkunya. May hanya mengangguk.
“Sepertinya ada yang sedang bahagia hari ini?” kata Windy lagi.
“Siapa? Maksud lu gue?”
“Siapa lagi yang pagi ini senyam-senyum sendiri selain lu?”
“Huh? Gue senyam-senyum sendiri? Ada apa cob ague senyam-senyum sendiri.”
“BODOH!”
“Apa?”
“Gue bilang kalo lu itu BODOH!”
May mendesah. “Gue tahu kalo lu itu….”
Belum selesai May berbicara, Bu Dewi masuk ke kelas. Pelajaran telah dimulai.
***
Kring…Kring….Kring…..
May berdiri dan hendak melangkahkan kakinya. Tiba-tiba, tangannya digenggam oleh Windy. May menoleh, “Ada apa?”
“Gue pengin bicara empat mata sama lu,” balasnya.
“Dimana?”
“Ayo kita ke ruang musik! Sepertinya ruangan itu sedang tidak digunakan hari ini.”
“Tapi gue laper Win. Gimana kalo sepulang sekolah?”
“Oke—gue juga nggak mau ada orang yang pingsan karena kelaperan gara-gara gue. Yuk ke kantin!”
Mereka pergi ke kantin bersama.
***
“Windy, May sini!” kata seseorang perempuan.
Windy dan May mencari sumber suara tersebut. ternyata, itu adalah suaranya Sheila. Mereka berdua menghampiri Sheila yang sedang makan bersama Hilda.
“Tumben,” kata Hilda sambil memandangi Windy.
“Kenapa?” tanya Windy.
“Eng…. Tumben aja kalian berdua bareng,” jawabnya.
“Emang kenapa? Lu cemburu ya?” kata Windy menggoda.
“OMG! Buat apa gue cemburu? Lu kan cewek bukan cowok. Dan gue bukan lesbi.”
“Ssssttt…..kalian mau makan apa mau debat sih?” tanya Sheila yang pusing mendengarkan perdebatan antara Windy dan Hilda.
“Gue mau makan lah. Dasar bodoh. Kalo gue nggak mau makan, ya gue nggak akan ke kantin juga kali,” sahut Windy.
Beberapa saat kemudian….
Selesai makan bersama di kantin, May langsung berdiri dan melenggang pergi.
“Mau kemana lu?” tanya Windy dengan sinis.
“Ke perpus,” jawabnya.
“Emangnya lu nggak punya waktu untuk berbaur ya?”
“Maksud lu apa Win?”
“Abisnya setiap hari lu pergi ke perpus mulu. Emangnya di perpus lu ngapain sih?”
Belum sempat May menjawab, Hilda menyahutnya terlebih dulu, “Dasar bodoh! Perpus itu gudangnya buku. Kalo orang pergi ke perpus ya buat baca buku, minjem buku, masa kayak gitu lu nggak tahu. Lu nggak pernah ke perpus yah?”
“Nah, itu udah dijawab sama Hilda,” sambung May.
“Jadi, lu juga ngatain gue bodoh kayak tadi Hilda ngatain gue bodoh?”
“Nggak kok, tenang aja. Eng…gue ke perpus dulu ya! Bye!”
***
Sesuai perjanjian tadi siang, May dan Windy pergi ke ruang musik. Karena tidak ada kegiatan ekstrakulikuler hari ini, ruangan musik sangatlah sepi. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan yang penuh dengan berbagai alat musik.
“Sebenernya ngapain sih lu ngajak bicara empat mata dengan gue?” tanya May penuh tanda tanya.
“Emangnya kenapa sih? Nggak boleh?”
“Bukan gitu.”
“Terus?”
“Windy, katanya lu mau ngomong sama gue. Kalo lu nggak ngomong-ngomong, gue pulang lho,” kata May dengan sedikit kesal.
“Oke. Oke gue akan ngomong.”
Tanpa basa-basi lagi, Windy langsung menuju ke topik pembicaraan. Dia mengatakan bahwa May harus memilih.
“Memilih?”
Ya, May harus memilih antara Diki dan Romy. Siapa diantara mereka berdua yang harus dipilihnya? Diki? Ataukah Romy?
“Maaf, gue nggak bisa mengatakannya.”
“Kenapa? Kenapa nggak bisa?”
“Gue nggak bisa untuk memilih.”
“Lalu?”
May hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Oh—gue tahu. Itu karena lu menyukai mereka berdua kan? Ternyata lu egois juga.”
“Bukan itu Win!”
“Lalu?”
May bingung mau menjawab apa. Sejujurnya, yang dikatakan Windy adalah benar. MAY MENYUKAI MEREKA BERDUA. Namun, May tidak bisa mengakuinya. Hal itu dikarenakan May tahu kalau Windy sangat menyukai Diki.
“Karena mereka adalah temanku,” akhirnya May membuka mulutnya untuk bicara.
Windy tersenyum sinis. Dia tidak menyangka akan jawaban dari May. Dia pikir kalau May akan menjawab kalau dia memang menyukai mereka berdua.
“Dasar BODOH!” gumam Windy.
Kemudian, Windy berjalan mendekati pintu dan melenggang pulang tanpa berpamitan terlebih dulu kepada May.
***
Malam ini hujan turun dengan derasnya. Hawa dingin menusuk raga. Membuat lelaki ini tetap berada di dalam rumah. Dia hanya bisa menyaksikan hujan yang berjatuhan. Suaranya yang menenangkan membuatnya teringat akan masa lalunya.
Dalam malam yang indah, lelaki itu berjalan dengan seorang gadis. Mereka pergi ke toko buku. Setelah mereka mendapatkan bukunya, mereka berniat untuk makan malam bersama. Namun, hujan turun tiba-tiba.
Tidak ada satupun diantara mereka yang membawa payung. Mereka mencoba untuk menunggu hujan reda beberapa saat. Namun, hujan malah bertambah deras. Karena mereka berdua telah kelaparan, akhirnya mereka berdua berlari ke minimarket untuk membeli payung.
Untungnya, minimarket tersebut tidak jauh dari toko buku tersebut. Mereka hanya perlu menyebrang jalan. Mereka juga beruntung, karena waktu itu lampu merah menyala dan mereka bisa dengan leluasa langsung menyebrang jalan.
Mereka membeli sebuah payung. Keluar dari toko, sang lelaki langsung memegang gagang payungnya dan sang gadis cukup melangkahkan kakinya disamping lelaki itu. Mereka berjalan dengan santai dan senyuman yang terlukis di wajah mereka.
“Andai setiap hari hujan turun,” kata lelaki itu.
“Emangnya ada apa?” tanya gadis itu.
“Kita dapat seperti ini terus.”
“Emangnya kalo nggak hujan kita tidak bisa seperti ini, huh?”
“Bukan itu maksudku, Hanna.”
“Lalu?”
“Ah…udahlah nggak usah dibahas. Kita mau makan apa nih?”
“Kamu pengennya makan apa? Kalo aku pengen makan mi ayam nih.”
“Aku kayak kamu aja. Disitu ada warung makan mi ayam. Gimana kalo kita makan disana aja?”
“Aku nggak nolak Rom.”
Lamunan Romy buyar ketika saudara kembarnya datang menghampirinya.
“Gue perhatiin, setiap turun hujan kamu selalu berdiri disini sambil ngliatin hujan mulu. Apa sih istimewanya hujan?”
Romy hanya memandangnya dengan tatapan datar.
“Jangan mandangin gue kayak gitu lah Rom, gue jadi takut.”
“Ron…”
“Apa?”
“Gue pengen cerita.”
“Cerita apa?”
“Gue pengen curhat.”
Rony menepuk jidatnya, “Sebenernya lu pengen cerita apa pengen curhat sih?”
“Dua-duanya.”
Kemudian, Romy memulai curhat kepada kembarannya itu. Dia menceritakan apa yang ia lamunkan tadi. Mengenai hujan yang membawanya ke masa lalu.
“Oh…jadi itu yang membuat lu seneng banget ngliatin hujan?”
Romy hanya manggut-manggut saja tanpa mengeluarkan suara.
“Eng…ternyata lu masih inget juga sama Hanna. Kirain lu udah nglupain dia sejak kedatangan May.”
“Kok lu bisa mikir itu?”
“Karena sejak kedatangan May, lu jarang banget cerita ke gue soal Hanna.”
“Hujan itu buat gue teringat akan hal termanis dan terpahit dalam hidup gue.”
“Gue ngerti perasaan lu. Lu yang sabar aja.”
Jelas saja hujan membuat Romy teringat akan hal termanis dan terpait dalam hidupnya. Hal termanis menurutnya, yaitu ketika dia bisa berteduh dibawah payung bersama Hanna. Lalu, hal terpahit itu adalah…
Setelah selesai makan bersama, mereka pulang. Karena arah rumah mereka tak searah, Romy menyerahkan payungnya untuk Hanna. Awalnya Hanna tidak menerimanya, karena dia tidak ingin Romy jatuh sakit.
“Kamu pake aja. Aku nggak papa, beneran.”
“Tapi, kalau kamu jatuh sakit gimana?”
“Kalau kamu nggak ingin aku sakit, kamu jangan bilang kayak gitu dong.”
Hanna tersenyum. Romy menyebrang jalan. Sesampainya diseberang jalan, mereka berdua saling melmbaikan tangan.
Astaga! Ternyata ada hal yang Hanna lupakan. Ia membelikan Romy sesuatu, namun belum ia serahkan kepadanya. Karena lampu merah masih menyala, dia berlari menyebrang jalan itu dengan payung ditangannya.
Romy, yang akan melangkahkan kakinya masuk ke dalam bus terhenti. Ia mendengar suara dari Hanna yang menyuruhnya untuk menunggu Hanna.
Romy menoleh. Tanpa Hanna sadari, lampu sudah berubah menjadi hijau. Sedangkan Hanna belum sampai di seberang jalan. Romy membulatkan matanya ketika ia melihat sebuah mobil yang melaju kencang. Tiba-tiba…
Pengemudi membunyikan klakson dan mencoba untuk mengerem. Namun, dia tidak bisa mengerem sesuai dengan keinginannya. BRAAAKKK…Hanna terhempas.
Romy langsung menghampirinya. Wajah cantik dari seorang Hanna berubah menjadi wajah yang mengerikan. Darah segar memancar dari kepalanya. Hanna langsung pingsan dan tak sadarkan diri. Untung saja, jantungnya masih berdetak. Dengan sigapnya langsung menelepon ambulans.
Beberapa menit kemudian, ambulans datang. Hanna langsung dibawa dengan ditemaninya. Sementara pengemudi mobil itu masih berada di tempat. Di dalam ambulans, Romy menelepon orangtuanya Hanna.
Sesampainya di Rumah Sakit, Hanna langsung ditangani. Beberapa menit kemudian, kedua orangtuanya Hanna datang. Ibunya menangis dan sangat takut anak semata wayangnya kenapa-napa.
“Tante, Romy minta maaf.”
Untung kedua orangtuanya tidak pemarah. Jadi, Romy tidak kena semprot dari kedua orangtua pacarnya itu. Mereka tidak menyalahkan Romy, karena mereka percaya akan adanya takdir.
Seorang dokter keluar dari UGD dengan muka kusut.
“Gimana kondisi anak kami dok?”
Dokter itu menghela napas. “Ibu, Bapak, kalian harus sabar dan menerima apa yang terjadi.”
“Memangnya Hanna itu kenapa dok?” tanya Romy.
“Pasien yang bernama Hanna itu meninggal,” kata dokter itu tanpa basa-basi.
Ibunya Hanna langsung jatuh pingsan. Romy merasa sangat terpuruk. Padahal, tadi mereka telah melakuakan hal yang menyenangkan bersama. Namun, hari itu juga mereka akan berpisah selamanya.
Itulah hal terpahit bagi Romy. Hujan yang telah membuat hal yang termanis sekaligus hal terpahit baginya. Dengan kehadirannya May, Romy berharap bisa melupakan hal itu. Namun, seorang Hanna masih terus ada di dalam hatinya.
    ***

Perasaan MayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang