6

6 3 0
                                    

Romy mengganti-ngganti channel televisinya dengan tatapan kosong. Rony yang sedari tadi memperhatikannya, merebut remote yang ada ditangan saudara kembarnya.
Tatapan mata Romy masih kosong.
Rony menepuk pundaknya dengan lembut, “Ada apa Rom? Lu ada masalah apa? Cerita donk sama gue! Gue akan coba nyari solusinya buat lu.”
Romy masih terdiam.
Kali ini Rony menjitak kepalanya agar saudara kembarnya menjawab pertanyaannya. “Gue tanya lu kenapa?”
Kali ini nada suaranya Rony makin keras, “Hei! Lu itu budek apa pura-pura nggak denger sih?”
Akhirnya Romy membuka mulutnya. Ia menjawab, “Nggak ada gunanya lu tanya gue itu kenapa. Lu juga nggak mungkin bisa nyari solusinya buat gue!”
Romy pergi meninggalkan Rony. Rony tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh saudara kembarnya itu. Dia menatap Romy dengan heran, “Tuh anak kesambet kali ya?”
***
May dan Diki sedang belajar bersama dirumah Diki. May bahagia punya sahabat sepertinya. Mungkin mereka bersahabat, namun Diki masih berharap jika cinta mereka berdua tetap berlanjut selamanya. Cinta yang diungkapkan dengan sebuah persahabatan.
“Si Romy kok jadi dingin gitu ke lu? Pasti karena lu pernah nolak dia ya?” tanya Diki.
May menggeleng, “I don’t know.”
Mereka melanjutkan belajarnya kembali.
“Sepertinya Romy sangat suka sama lu,” kata Diki tiba-tiba.
May terkejut mendengarnya, “Benarkah? Lu tahu darimana?”
Diki balik memandanginya dengan tatapan heran.
“Dari jawaban lu itu, sepertinya lu juga suka sama dia,” kata Diki menyelidik.
May merasa terpojokkan. Lalu, dia mengalihkan suasana, “Ini gimana ya ngerjainnya? Gue udah coba, tapi nggak berhasil.”
Diki memandangi pertanyaan itu. Dia heran dengan sahabatnya itu. “Bagaimana mungkin seorang May yang cerdas tidak bisa mengerjakan soal ini?” gumamnya. “Lu yakin udah mencoba mengerjakan soal ini?” tanyanya.
May mengangguk. Lalu, Diki memperlihatkan soal tersebut kepadanya, “Bukannya lu kemaren udah mengerjakan soal yang mirip dengan soal ini dipapan tulis? Masa sih lu nggak bisa? Ini kan cuma diganti angkanya saja.”
May menatap dan memperhatikan soal tersebut. Kemudian ia berkata, “Oh iya. Gue lupa tadi. Oke, yuk kita kerjakan bareng-bareng lagi!”
Diki semakin yakin kalau May juga suka kepada Romy. Hal itu terlihat jelas jika May mengalihkan pertanyaannya yang tadi.
Mereka belajar bersama lagi. Sekitar pukul setengah empat sore, May berpamitan untuk pulang.
“Gue anterin lu ya?” kata Diki.
May menjawab, “Ah, nggak usah. Gue nggak ingin bikin lu repot.”
“Gue ikhlas kok May,” sahutnya.
“Baiklah jika lu maksa. Thanks ya!”
Akhirnya May pulang diantar oleh Diki. “You’re the best human,” kata May lirih.
***
Romy melangkah menuju kelasnya. Ia menengok ke arah tempat duduknya. Ternyata, May sedang asyik bercanda dengan Argi, teman semejanya Romy. Romy mendekat.
“Excuse me, gue mau duduk,”kata Romy.
May menoleh kepadanya dan memberikan senyuman manisnya. “Eh…lu. Lu boleh kok duduk di bangku gue. Gue lagi ngobrol sama Argi. Lu mau gabung?”
Romy menghela napas. “Gue hanya ingin lu minggir dari bangku gue!”
Argi menyahut, “Lu kenapa sih Rom? Nggak papa juga kali kalau May ngobrol sama gue. Oh…atau jangan-jangan lu cemburu kalau May ngobrol sama gue? Iya?!”
Romy menatap Argi dengan tajam. Kemudian ia pergi sambil berkata, “Ngapain gue cemburu dengan cewek kayak dia? Nggak ada gunanya! Silahkan saja ngobrol saja sampai pulang!”
May diam seribu bahasa sambil melihat Romy yang pergi memunggunginya. Ia merasa sangat bersalah. Padahal, ia hanya ingin meminta maaf kepadanya. Dia pikir, dengan cara tersebut Romy dapat kembali lagi menjadi Romy yang dulu. Ternyata May gagal.
“Udah lah May, jangan terlalu dipikirin kayak gitu! Si Romy memang kayak gitu orangnya,” kata Argi.
May hanya memandang Argi dengan wajah kusutnya.
“Wajahmu itu?” kata Argi lirih.
“Kenapa?” May membuka mulutnya.
“Wajahmu itu nggak pernah berubah May. Lu tetep cantik. Tapi lu akan lebih cantik jika lu tersenyum.”
May membuang wajahnya.
“Gue mau kembali ke tempat duduk gue. Thanks ya udah jadi temen ngobrol gue tadi,” kata May datar.
“Sama-sama May. Kapan-kapan lu ngobrol lagi ya sama gue!”
May hanya mengangguk pelan.
***
“Apa-apaan sih May? Lu sebenernya suka sama siapa? Diki? Rony? Argi atau gue?” Romy menggerutu. “May, andai lu tahu, gue masih sangat suka sama lu. Tapi kenapa lu nggak pernah memberi sedikit rasa suka kepada gue? Kenapa May? Kenapa?” katanya dalam hati.
“Romy, apa yang sedang kamu lakukan? Masuk kelas!” kata Bu Desi.
Lamunan Romy langsung buyar dengan suara kerasnya Bu Desi. Romy mengangguk, “Iya bu.”
***
Diam-diam Windy memperhatikan Romy yang sedang melamun di bangkunya. Karena bel istirahat telah berbunyi, semua siswa pergi keluar dari kelas. Windy pun memberanikan diri untuk membuyarkan lamunannya Romy.
“Lu lagi nglamunin apa sih? Serius amat.”
Romy langsung menatap Windy dengan datar. “Peduli apa lu sama gue?”
Kemudian, Romy keluar dari kelas.
“Heh! Gue cuma ingin menghibur orang yang sedang patah hati, itu saja.”
Tiba-tiba langkah kaki Romy berhenti saat mendengar kata “PATAH HATI”
“Tahu apa lu soal patah hati, huh? Emangnya lu pernah ngerasain perasaan itu? Nggak kan? Lagian, darimana lu tahu kalau gue sedang patah hati?” kata Romy kesal.
Windy terdiam sejenak, kemudian menghampiri Romy. “Gue tahu persis rasanya patah hati. Gue pernah merasakannya. Rasanya ada banyak duri yang tertancap di hati gue. Dan duri itu tidak ada yang mencabutnya. Sehingga, duri itu makin menginfeksi hati gue. Menjadi sangat sakit.”
“Kapan lu ngerasain patah hati kayak itu? Kata-kata lu barusan, sok puitis.”
Windy tersenyum seketika, “Gue kan pengen jadi seorang puitis.” Romy membalas senyumannya sambil berkata, “Bohong! Ngapain lu berdiri saja disitu? Yuk ke kantin!”
Romy dan Windy pergi ke kantin bersamaan.
***
“Gue suka suasana di perpus,” kata cowok berwajah tampan.
“Kenapa? Kenapa lu suka suasana di perpus?” tanya perempuan berkulit bening.
“Kepo lu May!” katanya sambil tersenyum.
May meliriknya dan berkata, “Apaan sih? Gue cuma pengen tahu aja.”
“Menurut lu, gue itu gimana?” tanya cowok itu tiba-tiba.
May terdiam.
“Kok nggak dijawab, May?”
May menjawab dengan nada canggung, “Em…menurut gue, lu itu…lu itu…em….lu itu cerdas, baik, pintar, ramah, MENGAGUMKAN DAN DAPAT MENARIK PERHATIAN PARA CEWEK.”
Diki melongo setelah mendengar kalimat “MENGAGUMKAN DAN DAPAT MENARIK PERHATIAN PARA CEWEK.” Ternyata May benar-benar menyukainya. Begitu pula dirinya. Namun, Diki juga tahu kalau May juga menyukai Romy.
Cinta. Bagi remaja SMP, cinta masih belum jelas. Kalau kata orang dewasa, cinta para remaja hanyalah cinta monyet. Mudah datang dan mudah pergi. Belum ada cinta yang utuh bagi remaja SMP.
Tapi, cinta May berbeda dengan cinta kebanyakan remaja lainnya. Meskipun masih kelas VIII, May sudah dapat memberikan cintanya kepada orang lain.
May mencintai Diki dan Romy. Lalu, dia tidak ingin kehilangan salah satu diantara mereka. Dia juga tidak ingin ada pertikaian diantara mereka. Sekarang, May harus berjuang mengembalikan keadaan seperti semula.
Suasana hati May kali ini sedang kacau. Dia harus teliti dan tidak boleh gegabah. Salah tindakan dan ucapan sedikitpun, akan memberikan banyak dampak negatif untuknya. Cobaan ini begitu sulit bagi gadis remaja itu.
Bukan artinya Tuhan memberikan cobaan itu untuk mempersulit keadaan. Namun, karena Tuhan sayang dan ingin menguji kesabaran May. Tuhan ingin tahu, jalan keluar seperti apa yang akan May lakukan.
May menghela napas. Secara tiba-tiba ia berteriak, “FIGHTING!” Membuat orang disekelilingnya untuk memandanginya. Sepertinya dia tidak sadar kalau dia sedang ada di trotoar.
***

Perasaan MayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang