May diantar oleh ayahnya lagi. Padahal, May masih menginginkan ditawarkan boncengan oleh Diki. Namun, sikap Windy yang dingin membuat May benar-benar harus jaga jarak dengan Diki.
Sesampainya di gerbang sekolah, May bertemu dengan Diki. Sepertinya Diki sengaja menunggunya. Diki melempar senyum kepadanya, namun May berpura-pura tidak melihatnya.
“Yuk ke kelas bareng!” kata Diki.
“Sepertinya hari ini gue nggak bisa pergi ke kelas bareng lu. Soalnya gue mau ke kantor guru dulu,” balas May dengan nada datar.
“Oh…” hanya itu yang keluar dari mulut Diki.
Sakit. Hanya itu yang sedang Diki rasakan. Kejanggalan yang hebat juga dia rasakan. May belum pernah bersikap seperti itu kepadanya. May yang selalu ramah kepadanya, kini berubah dingin. Bukan dingin, tapi beku. Diki hanya bisa berjalan dengan hati yang seperti tertusuk banyak duri. Sakit dan perih.
“Maafin gue Ki, gue nggak bermaksud untuk menjauhi lu,” kata May dalam hati. Sebenarnya May tidak pergi ke ruang guru. Tapi, May mencari jalan lain agar tidak berjalan ke kelas bersama dengan Diki.
Awal yang sulit bagi May menjaga jarak dengan Diki. Awal yang sulit juga untuknya untuk menahan perasaannya yang seperti tertusuk belati beracun. Sepertinya, May benar-benar menyukainya.
***
May sedang duduk sendiri di balkon depan kelasnya. Romy menghampirinya, “Lu sedang nungguin gue ya?”
May masih terdiam.
“Lu mau nggak nanti sepulang sekolah nemenin gue ke bookstore? Si kembaran gue nggak mau nemenin tuh,” katanya.
“Sendiri aja kenapa?” tanya May. Kemudian, dia mulai bersikap dingin lagi kepada Romy.
“Yaudah deh, kalau lu nggak mau,” balas Romy. Kemudian, Romy menutup mulutnya kembali dan duduk diam disamping May. Mereka berdua menatap langit tanpa membicarakan suatu hal.
Kemudian, May melepas keheningan. “Nanti sore gue juga punya rencana mau pergi ke bookstore.”
Romy menatapnya dan bertanya, “Jadi lu mau nemenin gue?”
May mengangguk pelan.
“Nanti kita ke bookstore-nya naik taxi aja. Soalnya supir gue kan nganter Rony ke rumah.” kata Romy.
“Gue nggak nolak,” balas May.
Mata Romy membulat dan menatap May.
“Thanks,” hanya itu yang dapat ia ucapkan.
***
May mencari buku pembelajaran bahasa Korea. Entah kenapa May sangat menginginkan dirinya dapat fasih berbahasa Korea. Sedangkan Romy mencari buku rumus-rumus Fisika.
“Di sekolah kita kan nggak ada pelajaran bahasa Korea, kok lu beli buku itu sih?” tanya Romy sebelum menyerahkan uangnya ke kasir. “Coba gue liat buku yang mau lu beli. Gue penasaran isi bukunya.”
May menyerahkan bukunya.
“Ini semuanya berapa?” tanya Romy.
“Seratus duapuluh ribu,” kata kasir itu.
Romy menyerahkan uangnya. May kaget bahwa buku yang ia beli dibayar oleh Romy.
Keluar dari bookstore, Romy berkata, “Lu berhutang sama gue.”
“Heh! Gue nggak mau punya utang sama lu. Jadi, berapa harga bukuku?”
“Gue nggak mau menyebutkannya,” balas Romy.
“Lu pikir gue nggak bisa bayar buku itu, huh?” kata May.
Romy terdiam.
“Mau lu apa sih? Ini buku yang gue beli, dan gue nggak boleh tahu harganya. Gimana gue mau bayar utang gue sama lu?” tanya May dengan nada sedikit kesal.
“ Lu hanya perlu memberikan sedikit ruang kosong di hati lu buat gue,”kata Romy.
“Kalau gue nggak mau?”
“Itu artinya lu nggak bisa bayar hutang lu.”
May mencubit lengan Romy. Romy menjerit kesakitan, “Aw!”
***
Malam harinya, May tidak bisa tidur. Dia menunggu pesan masuk dan video call dari Romy. May merindukannya. Mungkin dia mulai tertarik kepadanya. Namun, dia masih belum bisa mengakuinya.
Drrtt…drrtt…pesan masuk dari orang yang telah ia tunggu beberapa menit yang lalu.
From: Romy
Ingat, lu masih punya utang ke gue.
May membalasnya.
To: Romy
Gue akan segera melunasinya.
Beberapa menit kemudian, terdapat sebuah pesan balasan dari Romy.
From Romy
Maksud lu, lu akan segera membuka pintu hati lu ke gue? Benarkah itu?
To: Romy
Entahlah… sepertinya sangat sulit.
Malam ini mereka tidak melakukan video call. Bukan, bukan karena May menolaknya, tapi karena saling sms juga sudah cukup untuk menyembuhkan sakit hati May karena harus jaga jarak dengan Diki.
***
Disepanjang perjalanan, May tersenyum dengan cerianya. Membuat ayahnya bertanya, “Anak Daddy lagi bahagia atau lagi sakit nih?”
May hanya membalasnya dengan senyuman ramah.
“Anak Daddy pacaran ya?” tiba-tiba pertanyaan itu terlempar dari mulut seorang ayah.
“Daddy jadi orang negative thinking donk, ya nggak lah,” balas May.
“Lalu?”
“Entah kenapa hari ini May sedang ngerasa kebahagiaan mengalir disekujur tubuh May.”
“Gara-gara cowok?” tanya ayahnya lagi.
“Mungkin karena May mendapat banyak teman di sekolah baru,” balasnya.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan gerbang sekolahnya May. May melihat Diki yang seperti sedang menunggunya. May turun dari mobil.
Diki menyapa May dan May menjawabnya dengan dingin. Diki juga mengajaknya pergi ke kelas bersama, namun May menolaknya dengan halus. Diki merasakan adanya kejanggalan yang ada.
May berjalan menuju kelas dengan mencari jalan yang lain agar tidak bersama Diki. May tidak menyadari jika Diki mengikutinya dari belakang. “Ternyata dia mencoba untuk menjauhi gue,” gumam Diki dalam hati.
Entah kenapa, May punya firasat ada seseorang yang mengikutinya. Ia pun berhenti dan langsung melihat ke belakang. Karena Diki mendapat sebuah pesan masuk dari ponselnya, ia pun tidak bisa bersembunyi.
“Diki? Lu ngikutin gue?” tanya May lembut.
Diki terkaget dan gelagapan. Ia hampir speechless, seperti orang bertemu dengan idolanya. Diki masih diam dan belum mendapatkan kata-kata untuk ia lontarkan.
“Diki, lu ngikutin gue?” tanya May kali kedua.
Diki mencoba untuk menjawab pertanyaan darinya, “Em…gue…gue…mau ke kantor guru. Lu juga mau kesana kan?”
“Sepertinya gue nggak kesana. Gue mau ke kelas,” jawabnya.
“Kok lu lewat sini? Lu nggak lagi jauhin gue kan?”
Tanpa menjawab pertanyaannya, May berjalan lagi menuju kelasnya.
Sakit. Diki merasakan sakit hati yang kesekian kalinya. Dia tidak menyangka bahwa seorang May yang dulunya sangat ramah, sekarang berubah sangat dingin kepadanya. Sedingin udara di kutub.
“Maafin gue Ki. Gue nggak bermaksud untuk menyakiti lu. Gue juga merasa berat untuk bersikap dingin sama lu. Maaf,” gumam May dalam hati. Tak terasa air matanya menetes. Dengan segera, May langsung mengambil sapu tangan dan menyingkirkan air mata itu.
***
Sepertinya May tidak selera makan di kantin hari ini. Ia menghabiskan waktu istirahatnya untuk membaca buku bahasa Korea yang ia beli di bookstore kemarin. Tidak, dia tidak membelinya. Namun, Romy.
Diki memperhatikannya dari kursi pojok belakang. Dia seperti kehilangan nyali untuk mendekati May. Jadi, cukup dengan melihatnya dari kejauhan, ia sudah merasa senang.
May merasa bosan jika ia harus membaca tanpa melafalkan dengan nada keras. Jika ia sedang berada di rumah, pasti ia akan melafalkan apa yang dibacanya itu dengan keras. Bisa-bisa membuat gelendang telinga para tetangga pecah. Eh, tapi tidak sampai seperti itu. Suara May tidak seperti suara raungan singa kok.
Drrtt….drrtt…ponsel May bergetar. Satu pesan masuk dari Romy. Dalam pesan tersebut, Romy mengajak May untuk pergi ke perpustakaan. Namun, May menolaknya. Ia sedang tidak ingin pergi kesana.
Tak disadari, di kelas tersebut hanya ada May dan Diki. Namun, May pikir hanya ada dia seorang. Dia belum beranjak dari tempat duduknya. Bosan. Itu yang sedang ia rasakan sekarang.
“Ah…membosankan. Berada di kelas seorang diri sangat membosankan,”kata May untuk melepas kejenuhannya.
“Gue disini, kenapa lu bilang seorang diri?” kata Diki.
May terkaget. Ia langsung membalikkan tubuhnya ke belakang. Disana, dia melihat Diki yang sedang duduk sendiri sambil tersenyum manis kepadanya. Senyuman yang dapat membuat kaum hawa tergoda. Namun, May merasa biasa saja.
“Lu…lu ngapain disitu?” tanya May dengan gugup.
“Menghabiskan jam istirahat. Tumben lu nggak pergi ke kantin. Lu nggak laper?” tanya Diki.
“Gue sedang nggak pengen makan.”
Diki berjalan menghampiri May dan duduk di bangkunya Romy yang terletak disamping bangkunya May.
“Di kelas ini hanay kita berdua saja. Gue pengin lu jujur sama gue.”
May menyahut, “Soal apa?”
Diki seperti sedang memikirkan sesuatu.
May menanyakan pertanyaan yang sama, “Soal apa?”
“Gue pengen tahu kenapa lu seperti itu sama gue.”
May pura-pura tidak mengerti, “Maksud lu apa?”
“Lu dingin sama gue, lu selalu ngehindar dari gue. Emang gue salah apa hingga lu seperti itu?”
“Lu nggak pernah melakukan kesalahan,” kata May datar.
“Lalu kenapa lu kayak gitu sama gue?”
May terdiam. Dalam hati ia ingin menangis. Diki dan May layaknya sedang bermain drama romance yang mengharukan.
“Lu nggak suka ya sama gue? Lu benci sama gue?” tanya Diki.
“Tidak seperti itu,”balas May.
“Lalu, apa karena gue jelek dan tidak keren?”
“Tidak seperti itu juga,” sahut May.
“Terus kenapa? Gue mohon lu jujur sama gue!”
May menarik nafasnya dalam-dalam. Tangannya memegang dadanya yang sakit. Matanya berlinang dan dia masih terdiam.
“Gue suka sama lu, May. Tapi gue rasa lu tidak ada sedikit perasaan suka sama gue,” kata Diki agar May mau angkat bicara.
Akhirnya, air matanya tidak dapat terbendung lagi. Air mata itu menetes di pipi May.
“Gue masih sangat menyukai lu, Ki. Tapi sepertinya perasaan itu hanya akan membuat gue sakit. Gue minta maaf jika gue terlalu dingin sama lu akhir-akhir ini. Gue ngelakuin semua ini agar gue nggak terlalu menyukai lu dan merasakan sakit yang hebat.”
May berhenti sejenak dan melanjutkan kalimat itu lagi, “Gue tahu jika sikap gue ini juga membuat lu merasa sangat sakit. Gue minta maaf.”
“Lu telah melakukan cara yang salah…”
Belum selesai Diki bicara, May sudah menyahut, “I’m sorry.”
“Gue udah maafin lu kok.”
May mengelap air matanya dengan sapu tangan miliknya.
Diki mulai angkat bicara lagi, “Lu tidak seharusnya menghindar dari gue. Lu harus seperti May yang dulu. Ramah dan penuh senyuman sama gue.”
“Sulit,” hanya itu yang dapat May ucapkan.
Air matanya belum berhenti mengalir.
“Jika lu mencoba menghindar dari gue, itu akan menambahkan rasa sakit di hati lu.”
Kemudian Diki berjalan ke luar kelas.
May hanya bisa melihatnya menghilang dari dalam kelas. Kini, dia benar-benar sendirian. Tidak, dia tidak sendirian. Dia masih ditemani oleh meja-meja dan perabotan kelas yang menyaksikan kesedihannya.
***
Dilain sisi, Romy mendengarkan percakapan akhir antara May dan Diki. Tentu saja hatinya sangat hancur saat ini. Bagaimana tidak? Seseorang yang disukainya ternyata menyukai orang lain. Mereka saling suka.
“Gue akan coba buat lu merasa bahagia dan tidak pernah bersedih lagi. Mungkin hal ini akan buat gue sakit hati,”gumam Romy dalam hati.
Kemudian Romy masuk ke kelas.
***
Malam ini begitu sunyi. Malam yang mendung tanpa dihiasi cahaya bintang. May merasa terpuruk. Kejadian tadi siang, membuat May berasa seperti sedang main drama korea sad-romance.
Biasanya, malam-malam seperti ini Romy selalu mengirim pesan kepadanya ataupun meneleponnya. Tapi, malam ini tidak. May merasa sangat kesepian. Hening.
May mencoba mengetik sesuatu kepada Romy, namun dia menghapusnya kembali. Dia tidak ingin jika dia memberikan pesan terlebih dahulu. Dia hanya ingin mendapat pesan terlebih dahulu dari Romy.
***
Romy hendak mengetik pesan untuk May. Namun, setiap ia mengetik, ia selalu menghapusnya kembali. Ia takut akan jadi biangkerok bagi kehidupan May. Mungkin, kali ini ia harus mengalah untuk kebahagiaan May. Meski ia tidak rela melakukan hal tersebut.
“Ya Tuhan! Semoga yang kali ini gue lakukan adalah yang terbaik,” gerutunya dalam hati. Setelah itu, ia berteriak, “FIGHTING!”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perasaan May
RomansaDelima cinta. Mungkin itu adalah kalimat yang pantas diucapkan oleh para remaja yang belum bisa menentukan pilihan cintanya. Bingung memilih si A atau si B lalu ada si C dan si D juga. Itulah yang dirasakan gadis kelas delapan yang bernama May. Ia d...