Prolog

12.9K 853 26
                                    

"Seluruh saham perkebunan dibagi rata untuk petani, sedangkan rumah dan seluruh propertinya, termasuk dua mobil dan satu motor matic akan diserahkan pada pak Adam Sastrawan."

"Tunggu, tunggu dulu, pak," protes Diana, menatap Adam yang duduk dikursi lain dengan sengit, "bapak engga salah baca? Kalau rumah dan semua propertinya diberikan ke dia, apa yang Papa sisakan buat aku?"

Pengacara itu menatap Diana bingung, dia membuka lagi surat wasiat yang dibuat Pak Broto sebelum beliau meninggalkan Indonesia untuk berobat di Jerman. Dia membaca ulang semuanya, dan kembali menatap Diana.

"Mbak Diana..." katanya ragu, "tidak dapat apa-apa."

"Ha?!" bola mata Diana membulat, "masa saya anak satu-satunya Papa engga dikasih apa-apa?"

"Disurat wasiat memang tidak ada nama mbak Diana, tapi," pengacara itu mengeluarkan amplop putih berukuran biasa, menyodorkannya pada Diana, "bapak mau mbak Diana membaca ini."

Diana langsung menyerobot amplop itu, membukanya dengan kasar. Papa pasti bercanda! Mana mungkin dia setega itu meninggalkannya di Indonesia sendirian tanpa uang, tanpa rumah, tanpa apapun! Bola mata Diana bergerak-gerak cepat membaca setiap kalimat yang ada dikertas itu. Diakhir kalimat, Diana meremas kertas itu melemparkannya ke wajah Adam.

"Engga mungkin!!" teriaknya histeris, "kamu pasti peras Papa!!"

Dengan gerakan cepat Diana berdiri dari kursinya menerjang Adam, meraih lehernya. Membuat Adam dan pengacara itu langsung berdiri menahan Diana yang histeris.

"Kurang ajar kamu!! Engga mungkin Papa kasih semua rumah buat kamu!! Engga mungkin!!"

Dengan kasar Adam menepis tangan Diana, mendengus pelan, matanya menatap Diana tajam dan dingin.

"Kamu pikir, kamu sudah menjadi anak yang baik dan berhak mengurus rumah Bapak?"

"Sialan!!"

Diana menerjang lagi, tapi kali ini pengacara lebih gesit menahannya, membuat Diana meronta seperti orang kesetanan.

Adam merapikan kemejanya yang kusut, mengangguk pada pengacara itu, "tolong urus surat-suratnya."

###

Diana mondar-mandir dikamarnya, rumah papanya yang besar dan biasa ramai oleh pelayan kini sepi, hanya tinggal beberapa orang saja yang masih mengurus barang-barang peninggalan Papa, dan tentu saja si pemeras itu yang kini sok menjadi tuan rumah, mengatur apa yang harus dilakukan pelayan!

Diana menyambar lagi surat yang ditulis tangan oleh Papanya.

Untuk putriku tersayang, Diana.

Kalau kamu membaca surat ini, itu berarti kamu sudah mendengar pembacaan wasiat yang papa kuasakan pada pak Halim. Kamu pasti marah, Papa tahu, tapi Papa mau kamu paham keinginan Papa.

Bukan papa tidak sayang sama kamu, papa hanya tidak ingin kamu menghabiskan seluruh aset yang papa tinggalkan. Adam pasti lebih mampu mengurus semuanya. Sepuluh tahun papa mengenal Adam, papa tahu seluruh latar belakang dan semua tentang Adam.

Adam bisa dipercaya untuk memegang rumah dan semua propertinya.

Adam juga pasti bisa ngurus kamu.

Papa tahu sifat kamu, jadi tolong, bersikap lebih baik pada orang yang akan mengurus kamu.

Papa sayang kamu, papa juga tahu kamu sayang papa.

Love you.

Papa

Diana menghela nafas dalam. Dirinya memang bukan anak yang bisa dibanggakan, selain pergaulan luasnya, tapi tidak mempercayainya untuk mengurus rumah? Papa tega!!

"Den ayu?"

Diana mendelik pada pintu yang diketuk.

"Apa?"

Pintu terbuka, dan salah satu pembantu wanita berdiri diambang pintu.

"Den Adam nunggu dibawah, katanya mau ada yang dibicarakan."

Den Adam? Darah ditubuh Diana naik seluruhnya ke kepala, sejak kapan laki-laki pemeras itu menjadi majikan dirumah papanya?

"Suruh saja dia yang kesini!"

Pembantu itu bergeming.

Sialan! Bahkan seluruh penghuni rumah itu sudah tahu jika Diana tidak memiliki hak dan kekuasaan apapun dirumah besarnya! Dengan hentakan keras, Diana menabrak pundak wanita itu, menuruni tangga dengan asap mengepul dari kepalanya.

Si pemeras itu berdiri ditengah ruangan, dengan ransel mengembung disebelahnya, Diana mengernyit, apa dia hendak pergi?

Harapan melambung di hati Diana, ternyata si pemeras itu tahu diri untuk pergi dan menyerahkan kuasa rumah juga seluruh properti pada hak waris yang sesungguhnya!

Adam berbalik saat kaki Diana menginjak anak tangga terakhir.

"Saya akan pergi dari sini," katanya tanpa menunggu lagi, "dan saya juga mau kamu keluar dari sini."

"Apa?!" Diana berteriak dengan seluruh tenaga yang tersisa ditubuhnya.

"Kemasi barang kamu, saya mau kamu keluar dari rumah ini sebelum pukul dua, karena kereta yang akan saya tumpangi akan berangkat pukul tiga."

Mata Diana membulat sempurna, wajah cantiknya merona merah, cuping hidungnya kembang kempis menahan ledakan amarah.

"SIALAN KAMU ADAM!!!"

###

Diana & AdamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang