Diana membuka jendela dengan senang hati, menghirup udara bersih yang menyegarkan pernafasannya sebanyak yang dia bisa, bibirnya menyeringai licik, hari ini pembalasan untuk si tukang kebun akan dimulai!
"Neng?"
Suara ibunya Adam. Diana berjalan cepat meninggalkan jendela, segera membuka pintu. Wajah segar ibunya Adam menyambut Diana, wanita paruh baya itu tersenyum pengertian.
"Adam sudah mau sarapan, neng Diana mau sarapan bareng?"
"Sarapan?"
"Iya, sarapan."
"Oh," Diana mengerjap, "saya ga sarapan..."
"Kenapa?"
Diana mengerjap beberapa kali, kebiasaan dirumah Adam sepertinya jauh berbeda dengan kebiasaannya. Diana menatap ibunya Adam yang menatapnya dengan penasaran.
"Saya ga biasa makan pagi, bu, tapi kalau mas Adam sudah mau sarapan," kata Diana cepat, sebelum ibunya Adam curiga, "saya segera menyusul."
Ibunya Adam mengangguk, berlalu dari sana. Diana segera menyambar sisir dan bedak, merias wajah seadanya, harusnya Diana dandan lebih luar biasa dari biasanya untuk mengambil hati orangtuanya Adam, tapi tadi pagi dia bangun terlambat dari yang direncanakannya.
Tidak ada orang yang membangunkannya seperti kebiasaannya dirumah. Dan si pemeras itu... Diana tidak tahu dia tidur dimana. Semalam dia keluar begitu saja dan tidak kembali lagi.
"Duduk, neng."
Suara bapaknya Adam sedikit menyerupai suara Papanya Diana, tegas dan dalam, rautnya keras dan kuat, seperti sulit dikalahkan jika berdebat.
"Ayo, neng, duduk."
Ulang ibunya Adam. Diana mengangguk, menggeser kursi disebelah bapaknya Adam, kursi yang menghadap langsung pada si pemeras yang tidak terganggu dengan kedatangan Diana, laki-laki itu makan dengan kepala menunduk fokus, terlihat jelas tidak ingin diganggu, kebiasaan yang sama yang sering dilakukannya saat Diana terpaksa harus makan bersama dengan tukang kebun itu dan Papanya.
Satu ancaman yang sering dilemparkan si tukang kebun, jika Diana terpergok pulang pagi olehnya. Sarapan bersama Papa.
Satu kebiasaan yang tidak pernah Papanya paksakan pada Diana. Setelah lulus SMA hanya beberapa kali Diana sarapan bersama Papanya, pertama jika kehabisan uang, kedua jika Diana menginginkan sesuatu diatas standar harga mahasiswanya. Selain itu, Diana tidak pernah makan pagi, tidak juga makan malam bersama.
Diana dan Papanya bertemu hanya saat mereka perlu. Seperti kolega bisnis.
Semua pesan papanya akan disampaikan lewat asisten pribadinya, atau jika terpepet lewat pembantu rumah atau oleh si tukang kebun sendiri.
Yang disampaikan dengan nada permusuhan. Diana mencibir dalam hati. Apa sih masalah orang itu? Diana hidup bergelimang harta bukan salahnya, papa yang memberikannya, dan tujuan papa memberikan semua fasilitas mewah juga memang untuk dinikmati, kan?
Dasar tukang kebun itu saja yang iri!!
"Neng, kok melamun, ga sarapan?"
Diana menoleh pada bapaknya Adam.
"Ga biasa sarapan pagi, katanya, pak," Diana menoleh pada sisi kanannya, menatap ibunya Adam yang mewakilinya menjawab pertanyaan bapaknya Adam, "duduk sini buat nemenin Adam aja."
Diana melihat ibunya Adam yang menoleh pada anaknya, yang ternyata malah tidak diacuhkan oleh si anak.
Durhaka dia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Diana & Adam
Romance[COMPLETED/REPUBLISH] Dalam waktu singkat, Diana Brotoadiana, kehilangan segalanya. Papa yang menyayanginya dan seluruh harta warisan peninggalan Papa. Dan, hanya satu orang yang menjadi penyebab itu semua. Adam Sastrawan. Tukang kebun kesayangan P...