Part 3

63 7 0
                                    

Terkadang menggenggam erat mawar berduri itu menyakitkan. Dibanding dengan kita menanamnya di tempat lain, lalu  membiarkannya tumbuh dengan indah tanpa genggaman kita.”

-------------------------------------------

Pagi itu Tania berjalan di koridor sekolah untuk menuju ke kelasnya. Lebih tepatnya ke kelas barunya. Sesekali ada beberapa siswa yang menyapa Tania dan dibalas Tania dengan senyuman dan anggukan. Bukannya tidak ingin balas menyapa, tapi Tania masih canggung dengan lingkungan di sekolah ini.

“TANIA!” teriak seorang siswi dari ujung koridor menghentikan langkah Tania. Gadis itu adalah Chelsea yang sepertinya baru tiba di sekolah juga.

Chelsea berjalan mendekat ke arah Tania. “Tumben lo datangnya cepet. Seingat gue waktu kita satu sekolah lo kan tipe siswa yang datang lambat pulang cepat,” ucap Chelsea ketika sudah berada di samping Tania. Kemudian mereka berjalan bersama menuju kelas.

“Ah elah lo inget aja masih,” jawab Tania. Kemudian ia senyum-senyum sendiri.

“Sebenarnya sih gue sekalian modus biar bisa ngeliat kak Devan. Soalnya gue denger katanya kak Devan tuh anaknya rajin. Datangnya pagi-pagi banget.”

Jantung Chelsea mencelos mendengar penuturan jujur Tania itu. Namun kemudian ia tersenyum jahil. Berusaha menyembunyikan gelagatnya itu. “Bisaan banget sih modus lo. Ngalir kaya air comberan,” tawanya dengan garing.

Sebenarnya Tania bukannya tidak sengaja mengatakan hal itu. Ia ingin melihat reaksi Chelsea yang ternyata di luar dugaannya. Ia tidak menangkap ada gelagat mencurigakan dari Chelsea.

Sesampainya di kelas, mereka di sambut oleh suasana ricuh serta canda gurau yang menggema di kelas. Ada yang saling memperkenalkan diri, tidur di pojok kelas, bahkan ada juga beberapa cowok usil yang menggoda siswi di barisan kanan yang sudah salting dengan gombalan mereka itu. Hmm buaya.

“Minggir!” ketus seorang siswi sambil menabrak bahu Chelsea yang masih berada di ambang pintu itu ke samping.

Tania yang masih berada di sebelah Chelsea pun mendelik. “Woles kali. Nih pintu bukan punya nenek moyang lo.”

Siswi itu beralih menatap Tania dengan sinis. “Baru masuk, udah nyari gara-gara lo!” Pemilik tatapan meremehkan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Yuna. Siswi yang membuat kehebohan di lapangan kemarin. Tania tidak menyangka ia berada di kelas yang sama dengan Yuna. Memikirkannya saja sudah membuatnya malas.

Chelsea menarik tangan Tania ke dalam kelas. “Udahlah gak usah diladenin cabe-cabean begitu,” katanya sambil berlalu dengan Tania.

Yuna menggeram kesal. Tatapan benci pun semakin tercetak jelas di wajahnya yang memakai make up berlebihan di usianya yang bahkan sekarang saja baru menginjak kelas X.

Chelsea pun berjalan mendahului Tania untuk menempati bangku kosong yang masih tersedia beberapa. Ia memilih bangku di barisan ke tiga. Tempat yang strategis untuk menyontek saat ulangan pikirnya.

Ia kemudian berseru pada Tania. “Ta, kita duduk sini aja. Males gue di depan.”

Tania berjalan mendekati Chelsea kemudian menaruh tasnya di bangku sebelah Chelsea. “Pinter juga lo nyari bangku strategis,” katanya tertawa sambil mendudukan dirinya di kursi sebelah Chelsea. Kemudian matanya menatap sekeliling kelas.

Di belakang bangku mereka terdapat dua orang siswi yang sedari tadi asyik berbincang-bincang. Namun kemudian terhenti karena Chelsea menyunggingkan senyum pada keduanya. Bermaksud mengajak berkenalan.

Chelsea tersenyum menyodorkan tangannya. “Nama gue Chelsea Della Franziska. Kalian bisa panggil Chelsea.”

Tania yang tadi asyik memainkan ponselnya pun berbalik ke belakang. “Eh. Gue juga mau kenalan dong. Kenalin ya nama gue Evatania Putri Chalissa. Bisa di panggil Tania. Tambahin jadi Tania cantik juga boleh.”

Love DestinyWhere stories live. Discover now