Aku, bocah umur 15 tahun.
Pria kecil Papa. Jagoan Papa yang akan menjadi kebanggan Papa.
Ahn Sagang.
Berjalan bersama Papa dengan segala yang terjadi di 15 tahun hidup ku menjadikan ku sebagai manusia yang berfikir.
Berfikir pada suatu lingkaran takdir yang telah menghancurkan kedua insan. Pada usia ku yang masih di katakan dini, aku mulai berpikir dari berbagai sudut pandang.
Terutama pada Papa dan manusia yang bernama Park Woojin.
Aku tidak lah bodoh ketika sosok berkaca mata itu adalah seorang Park Woojin di taman. Masa lalu Papa yang tersimpan.
Takdir yang diiringi keadaan yang tidak memungkinkan adalah salah satu dari sekian banyak penyebab hancur nya Papa.
Takdir yang memuakkan. Bahkan bagaimana bisa sosok yang sebegitu baik dan lembut itu sebenarnya telah membusuk akibat racun yang bernama takdir.
Haruskah aku mencaci? Aku tidak.
Bukan tanpa alasan aku lahir, hidup bersama sosok 'Papa' yang sangat baik. Mengetahui kau berbeda bahkan tanpa bantuan analisa dna dan susunan basa nya atau dengan analisa mitokondria dengan hasil berupa barisan strip yang berwarna warni itu, kami berbeda di segala sisi.
***
"Sagang"
"Ya?"
"Diantara anggur dan apel, kau ingin apa?"
"Aku ingin plum"
"Ini sangat masam"
"Bahkan aku disini bukan karena masalah pencernaan"
"Baiklah, jagoan Papa"
Papa duduk dengan menyeret meja dan memasangkan nya tepat di samping ku. Aku menatap aliran infus ku dan menatap Papa yang mengupas buah plum.
"Buah plum ini sangat seksi"
"Mongi bahkan jauh lebih seksi" mongi, anjing pudel milik tetangga sebelah ketika kami mendiami rumah di Seoul.
Papa terkikik halus setelah nya. Kemudian Papa menyuapi ku buah yang telah di kupas nya. Setelah itu, pada waktu yang sama. Papa masuk kedalam kamar mandi, dan sosok yang kunantikan beberapa hari ini. Sosok itu datang ketika Papa di kamar mandi. Sebuah kebetulan yang cantik. Entah kepada siapa aku memanjatkan syukur ku.
"Selamat siang"
"Siang, silahkan duduk di kursi ini. Aku merindukan hyung" ucap ku santai pada sosok bersweater navy di samping ku. Ia meletakkan sebuah kotak makanan.
"Aku membawakan melon untuk mu"
"Terima kasih"
"Papa mu tidak ada di sinikan?"
"Seperti nya tidak" aku sengaja membalas dengan balasan yang terdengar gamang. Woojin-hyung merasakan ucapan ku.
"Aku harus kembali"
"Sagang-ie apakah ada tam-"
Sebelum meninggalkan ku, aku menarik sweater Woojin-hyung.
Siapa yang ingin sweater nya melar? Tidak ada.
Melalui pergerakan tubuh nya, aku merasa ia menegang. Kedua nya saling bertatapan. Tarian itu sedang mempermainkan mereka.
Seolah memahami situasi, Papa mempersilahkan nya duduk. Sungguh tidak terduga.
"Oh, kau Tuan Park. Silahkan duduk"
"Baiklah Tuan Ahn"
"Senang bertemu dengan anda" ucap Woojin-hyung lalu membungkukkan tubuh nya dan Papa membalas nya.
"Papa sudah mengenal Woojin-hyung? Kami sempat bertemu di taman kota beberapa bulan yang lalu"
Papa hanya diam dan membuang pandangan nya. Woojin-hyung kini memusatkan atensi nya pada Papa.
"Terima kasih telah menolong ku dan Papa"
"Papa?"
"Woojin-hyung?"
Tetap tidak ada jawaban diantara mereka berdua.
Aku menarik tangan mereka dengan susah payah. Keadaan ku yang duduk di ranjang dan tangan kiri ku yang terinfus membuat ku sulit bergerak.
Menyatukan salah satu tangan mereka pada meja yang ada di depan ku.
Kedua nya menatap ku dan Papa mulai menatap aku dan Woojin-hyung bergantian.
"Ayo hentikan lingkaran setan yang menghancurkan kalian" ucap ku lirih. Ini sangat sulit untuk kalian.
"Maaf kan aku sebelum nya"
"Bahkan aku sendiri enggan memakai cara ini. Tetapi setidak nya aku mengetahui nya"
Kedua nya terdiam cukup lama. Pandangan Papa tertuju pada Woojin-hyung yang menampakkan mimik yang sulit diartikan.
"Seperti nya aku salah, Maafkan aku"
"Tidak perlu untuk minta maaf"
"Maafkan aku"
"Sudah ku katakan untuk berhenti meminta maaf Woojin-ah!"
"Aku masih menunggu mu"
Woojin-hyung diam tanpa bergeming sekali pun. Tatapan sendu nya membuat nya semakin mengeratkan genggaman tangan Papa. Aku, bahkan diri ku yang tidak pernah terlibat kasus percintaan seperti ini merasa sangat sakit. Dan ucapan Woojin-hyung membingungkan.
"Kumohon, biarkan aku yang menelan semua ini. Cukup, sudah cukup"
Papa terduduk kembali dan melepaskan genggaman tangan nya. Menangis kencang dengan kedua tangan nya ia tangkupkan seraya memukul-mukul dada nya. Ia menangis histeris. Menekuk kepala nya dan menangis sesenggukan.
Woojin-hyung mengitari bed ku dan menangkup wajah Papa. Ia tersenyum hangat. Mengusap lelehan airmata itu dan mengusap-usap puncak kepala Papa. Papa yang masih memberontak menolak kehadiran Woojin-hyung.
Woojin-hyung mengecup bibir Papa dengan paksa. Tatapan itu sangat menyakitkan.
Woojin-hyung kembali mencium bibir Papa tanpa paksaan. Hanya sebuah ciuman hangat tanpa lumatan. Kedua mata nya terpejam kemudian melumat nya sedikit. Pada ujung bibir mereka. air mata nya meleleh ketika Papa terdiam sementara Woojin-hyung tetap melumat kecil bibir nya. Mengalihkan tangkupan nya pada ganggaman tangan Papa. Kedua tangan mereka tertaut.
Woojin-hyung masih melumat kecil dengan gerakan yang sama. Hingga pada akhir nya Papa membalas lumatan itu. Woojin-hyung melepaskan nya dan menyatukan dahi mereka. mereka saling menatap satu sama lain.
Tanpa sepatah kata pun, Papa hanya diam ketika Woojin-hyung mengusap puncak kepala nya.
"Semua akan baik-baik saja"
Woojin-hyung mengecup puncak kepala Papa. Sesenggukan itu semakin samar.
Aku mengalihkan pandangan ku pada kertas yang ku genggam.
Baru saja aku melihat Papa ku yang sedang berciuman.
dan itu membuat ku malu.
Masih berlanjut.
Terima kasih telah membaca cerita ini.p.s.: coba untuk membaca sambil mendengarkan lagu yang judul nya 時の流れに身をまかせ (Toki no Nagare ni Mi wo Makase) boleh dari Teresa Teng nya atau dari Acid Black Cherry (saya mendengarkan yang ini hehe). Lagu dan lirik nya pas dengan storyline. Mungkin feel nya dapat :)
p.p.s: maafkan jika bukan kpop dan mungkin sedikit aneh (bagi yang pertama kali mendengarkan nya)
p.p.p.s: selamat membaca!
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Dance ; jinseob
Short StoryDalam pertemuan yang meyakitkan, Woojin dan Hyungseob hanyut dalam sebuah tarian yang mengingatkan mereka pada masa lalu. Didalam tarian terakhir, ia menggenggam hati nya yang telah terlumuri oleh rasa sakit itu rapat-rapat. Dengan sisa-sisa dari r...