Me Vs Tukang Ojek

2.7K 23 1
                                    


Nanda merasakan terik matahari ditambah debu jalanan aspal tanpa tanaman asri penghias kota. Polusi semakin memperparah. Ia merasa sangat gerah berada di bis yang penuh sesak dengan penumpang. Kondektur tidak peduli keadaan penumpang yang berdesak-desakan. Ia selalu menambah penumpang di setiap pemberhentian.

Alhasil, Nanda harus berjuang melewati beberapa penumpang untuk  keluar selamat dan aman. Maklum, keadaan seperti ini selalu dimanfaatkan tangan panjang merajai barang penumpang. Jangan lupakan tangan mesum dapat sewaktu-waktu ambil kesempatan.

“Mbak ngojek? Mbak mau kemana? Mbak sudah dijemput?” beberapa tukang ojek berebut saat Nanda turun dari bis antar kota.

Nanda bingung harus memilih tukang ojek. Ia tidak mau memilih bapak yang menggunakan jaket abu-abu. Bulan lalu hampir sesak napas menahan bau badan pak ojek, melebihi bau amoniak. Ia tidak menyukai bapak berkumis tebal selalu mengajak ngobrol sepanjang jalan. Bapak klimis itu terlihat tak pernah ganti jaket. Hampir seluruh tukang ojek sudah pernah mengantar pulang.

Mata Nanda tertumbuk pada pria duduk di atas motor gedhe, asyik memainkan smartphone. Tanpa ragu gadis berkerudung itu menghampiri.

”Mas, Kandangan Slamet ya?”.

Pria itu menatap Nanda. Terdiam sesaat. Beberapa saat kemudian ia menghidupkan mesin motornya.

“Ayo mbak, naik”.

Nanda merasa ada hal tidak beres. Pria ini tidak melakukan tawar-menawar ongkos seperti biasa.

Mungkin nanti di jalan” mencoba menenangkan diri.

Nanda menurut saat pria itu menyuruh untuk naik.

Aneh. Udah gak nanya soal ongkos, trus gak ngasih helm, lo… lo… ini mau kemana? kok lewat gang perumahan gini. Jangan-jangan…” pikiran Nanda mulai tidak karuan, "Ok… ok… tenang. Kalo ada apa-apa, aku harus siap-siap lompat”.


Nanda menelan ludah. Mengumpulkan keberanian. “Mas, terminal ke kandangan slamet berapa?”.

“Kira-kira 20 km, mbak”.

“Mas ngajak bercanda?” keluh Nanda dalam hati.

"Maksudnya ongkos” kata gadis berlesung pipi ini sambil mengesekkan ibu jari ke jari tengah dan telunjuk.

“Oh… biasanya berapa mbak?” tanya tukang ojek santai.

Tiba-tiba Nanda berpikir jahil. ”Lima belas ya, mas?”.

“Ok”.

Seketika Nanda melongo. Ini artinya ia hemat 50% dari harga biasanya. Tukang ojek ini benar-benar aneh. Nanda ingin bertanya, apakah hari ini adalah hari perdana tukang ojek ini bekerja. Namun urung, takut harga lima belas ribu akan melayang.

Tiba-tiba motor berhenti.

“Kenapa, Mas?”

“Mogok, mbak” jujur tukang ojek.

”Pantas aja mau dibayar lima belas ribu, ternyata mesinnya mogokkan” gerutu Nanda.

“Mbak, tolong jalan kaki dulu ya?” pinta tukang ojek itu sambil cengengesan.

Dear Diary - Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang