Aku tersenyum mengamati sekeliling. Seorang wanita paruh baya sedang membersihkan pekarangan. Rambut putih keperakan tak dapat bersembunyi meski tertutup topi anyaman bambu. Cukup lebar melindungi dari sengatan sinar matahari. Tampak beberapa orang mondar-mandir menata ruang tamu. Dapur tak kalah menunjukkan kesibukan.
"Claire, kita harus membuat pesta ulang tahun besar-besaran untukmu" kata Mama antusias satu minggu lalu.
"Ngapain sih, Ma? Males deh" aku kembali sibuk membaca komik.
"Kalo gitu, bagaimana kalo kita ngerayainnya di rumah aja?" memberikan pilihan lain.
"Iya aja sayang?" sahut Papa, duduk di sebelah Mama.
Setiap sore kami selalu berkumpul di taman rumah. Menikmati udara segar di sore hari sambil menikmati teh panas. Aku meletakkan komik di meja dan kembali meresapi aroma lemon di dalam cangkir.
"Aku udah gedhe, Ma" meminum sedikit teh sambil melihat ekspresi Mama, "Bukankah terlalu kekanak-kanakkan merayakannya besar-besaran?".
"Kekanak-kanakkan? wanita berambut pirang tersenyum, "Seventeen Party isnt?".
"Apa kado yang kamu pengen?" potong Papa.
"Aku ingin kita bertiga pindah rumah" pintaku membuat Mama urung cemberut, "Suasana rumah ini sangat membosankan, jadi kita bertiga bisa menikmati hidup".
"Bukan hadiah yang buruk kan, Pa?" mata Mama berbinar.
Meski masih dalam kata-kata namun persetujuan mereka membuatku cukup membuatku bahagia. Menyaksikan kesibukan hari ini semakin menambah bunga dalam hatiku. Sebenarnya aku tak perlu repot berkeliling memeriksa persiapan dan pekerjaan tiap orang. Menyewa seorang event organizer telah sangat cukup membantu, tapi aku melihat rumah ini untuk terakhir kalinya. Firasatku tepat tak meleset.
"Tasya, apa yang sedang kamu lakukan di sini? tanya wanita baju ungu.
Suara itu kembali merusak suasana hati. Pemandangan indah di hadapanku seketika menghilang. Rumah megah berubah menjadi gubuk reyot tanpa atap menaungi.
"Tidak ada bu, saya sedang membaca buku" jawabku sekenanya.
Ibu menghela napas berusaha tidak marah hari ini. Aku dapat melihat ia tidak percaya. Ia selalu memberikan pekerjaan dan tak membiarkan sendirian. Perintah untuk mengerjakan ini, melakukan itu tanpa memberikanku kesempatan menikmati duniaku.
"Bukankah ibu sudah bilang untuk tidak bermain di halaman belakang? Kenapa kamu selalu main ke sini?".
Ia mulai membombardir dengan pertanyaan sama. Apa yang aku cari di halaman belakang? Kenapa aku suka main ke tempat menyeramkan ini? Berkali-kali pertanyaan itu dilemparkan seakan-akan dia merasa khawatir.
"Ada apa ibu mencari saya?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Oh..." teriak Ibu. Aku dapat matanya bersinar. Tatapan mengingatkanku pada Papa dan Mama saat mendengarkan keputusan hakim.
"Hari ini ada seseorang yang ingin bertemu denganmu" penuh semangat ia menarik tanganku.
Seorang wanita memiliki wajah bagaikan malaikat, tersenyum menyambut kedatanganku. Dia memelukku sejenak terasa hangat. Setelah mencium keningku, kami duduk berhadapan dengan Ibu.
"Ibu ini langsung tertarik saat melihat foto kamu langsung saja ia sangat ingin segera menemuimu" kata Ibu.
"Bagaimana dia bisa tinggal di sini?" tanya wanita calon ibu angkatku.
Ibu melemparkan senyum padaku. Aku mengerti dan segera berdiri berpura-pura keluar dari ruangan penuh dokumen itu.
"Saya akan jujur menjelaskan tentang dia, namun saya sangat berharap ibu tidak membatalkan niat baik ibu" perkataan kepala panti asuhan seperti mengatakan ketakutan kehilangan uang.
"Silahkan".
"Dia anak yang baik, sopan dan manis seperti yang anda lihat tapi dia termasuk anak yang antisosial dan pendiam" tampak wanita itu menunggu penjelasan latar belakangku,
"Hari itu Tasya sendiri yang datang ke tempat ini. Beberapa hari kemudian, saya baru tahu kalau Tasya yatim piatu saat berumur enam tahun dan tinggal bersama adik laki-laki ayahnya. Sepupu Tasya ditemukan meninggal di rumah menjelang pesta ulang tahunnya. Hal ini membuat bibinya menjadi gila dan pamannya mengalami kebangkrutan setelah memimpin perusahaan ayah Tasya selama dua tahun".
"Pasti itu sangat berat baginya" wanita berwajah malaikat itu tampak tersentuh.
Aku segera pergi menuju bangku di taman Panti Asuhan. Kini giliranku memainkan peran sesuai rencana yang telah kami sepakati. Wanita malaikat itu menghampiriku kembali mendekapku. Kurasakan getaran tubuh dan terdengar suara Isak tangis.
"Mulai hari ini aku adalah ibumu" katanya di sela-sela tangisannya.
"Benarkah, nyonya?" ku lepaskan pelukannya.
Aku yakin wajah polosku cukup mengelabuhi.
Wanita itu segera menghapus air matanya, "Mulai sekarang Tasya panggil Mama bukan nyonya".
Aku tersenyum menatap ibu kepala panti asuhan. Semua berjalan sesuai rencana. Mama segera mengurus semua surat adopsiku. Tak lupa Mama mengajakku untuk berpamitan ke semua penghuni panti.
"Semoga kamu betah tinggal bersama ibu angkatmu" kata Ibu saat tepat Mama datang setelah dari parkir.
Aku mengangguk dan melambaikan tangan pada semua sebelum masuk ke dalam mobil, duduk di samping Mama.
"Kerja bagus, Claire" puji Mama tetap menyetir tanpa memandangku, "Kau memilih tempat yang tepat".
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary - Kumpulan Cerita Pendek
Short StoryKumpulan cerita pendek tentang kisah percintaan dalam berbagai genre