Ini ceritaku saat zaman MABA. Telah menjadi tradisi setiap kedatangan MABA selalu disambut dengan kegiatan kemanusiaan. Donor darah salah satunya. Aku seperti kebanyakan mahasiswa baru atau manusia penakut lainnya, ketakutan saat mendengar pengumuman MABA wajib mengikuti kegiatan amal tersebut.
Tentu saja banyak pertanyaan yang disampaikan kepada panitia. Entah untuk memastikan sesuatu atau hanya sebagai ajang pedekate semata. Namun aku tidak peduli apapun. Aku hanya membutuhkan pencerahan. Angin segar terasa saat salah satu panitia mengklarifikasi bahwa semua MABA wajib daftar namun kewajiban donor hanya kepada orang-orang yang memenuhi syarat.
Aku langsung berdoa dalam hati. Berharap aku akan menstruasi saat donor darah. Apalagi kegiatan itu akan diadakan satu minggu lagi. Hanya itu yang aku harapkan.
Suasana mencekam dan menegangkan terjadi pada hari yang telah ditetapkan. Wajah sangar dan galak kakak panitia terkalahkan oleh jarum suntik yang akan menyedot darah kami. Aku sangat heran di saat situasi seperti ini, tetap saja ada orang-orang yang memanfaatkan momen untuk pedekate. Entah panitia yang sok memberikan saran hingga peserta yang pura-pura takut berharap perlindungan.
"Aku nggak sarapan tadi" kata Hella tiba-tiba saat kami berempat terdiam.
"Kenapa?" tanyaku polos.
"Siapa tau entar berat badanku turun" kata Hella lemas, "Kan kita berdua ini berbadan subur, Tia".
Aku langsung cemberut. Tapi menurutku melewatkan sarapan hanya hari ini tidak akan mempengaruhi angka timbangan. Mustahil.
"Untung aku kurus" kata Dwi yang hanya memiliki badan setipis triplek dan pendek.
"Jangan gitu dong Dwi" sergah Alice, "Justru kita harus sedih karena nggak bisa bantu".
Dwi memilih diam. Tidak peduli. Alice dan Dwi memiliki berat badan yang sama. Namun Alice memiliki tinggi sekitar 163cm. Jadi bisa dibayangkan bagaimana tipisnya cewek ini dengan berat badan 39kg.
"Nggak sakit kok" kata Leony berpengalaman.
"Tetep aja takut, Nini" kata Hella tidak terima.
Leony kembali menceritakan ulang pengalamannya. Entah ini yang ke berapa. Yang jelas sejak pengumuman donor darah, dia ta henti-hentinya mengajak kami untuk berpartisipasi.
"Prasetiya Mulya, Hella Geraldine dan Leony Lee Marpaung" panggil Kakak Hakim, salah satu panitia.
"Ayo Tia" ajak Leony sambil menggenggam tanganku.
Meskipun Leony berusaha menguatkan dengan memberikan senyuman termanis. Tetep saja hatiku mencelos saat masuk ke ruang pemeriksaan. Jika aku sudah terlalu takut hingga menjadi pendiam. Berbeda dengan Hella, ia seakan yakin barat badannya akan turun dalam kurun waktu beberapa jam saja.
"Absen dulu ya?" kata Kak Hakim kembali mengabsen kami dan meminta tanda tangan.
Hella langsung semangat saat disuruh panitia tampan itu untuk menimbang berat badan. Seketika wajah cerahnya berubah suram. Kak Hakim pun menyuruh Hella untuk pemeriksaan selanjutnya. Leony menuju timbangan tanpa diminta. Ia paham aku masih belum siap.
"Ok, selanjutnya" kata Kak Hakim.
"Kakak" panggilku.
"Iya, ada apa Tia?" tanyanya dengan senyum penuh pesona.
Jika suasana mendukung dan normal, kemungkinan aku akan melayang. Saking senangnya. Saat ini hati dan otakku terlalu penuh dengan ketakutan jarum suntik. Apalagi sesi timbang berat badan adalah hal yang paling memalukan bagiku.
"Kak, bisa gak usah timbang berat badan?" tanyaku penuh harap.
"Kenapa?" tanyanya memasang wajah polos.
Tak mungkin aku mengatakan bahwa aku malu dengan angka yang akan muncul. Seharusnya dia tak perlu bertanya. Cukup membaca bentuk badanku ini pasti akan menemukan jawaban. Akhirnya aku hanya tersenyum.
"Begini Kak, tanpa ditimbang aku udah tau" kataku menjelaskan.
"Nggak apa-apa, ditimbang aja" kata Kak Hakim.
"Nggak usah ya? Sudah pasti mencukupi kok" kataku terdengar kesal dan menyedihkan bersamaan.
"Ok deh, tapi ditulis ya berat badannya biar petugasnya tau" akhirnya ia mengalah.
Aku tersenyum senang. Selanjutnya aku mengikuti pemeriksaan tekanan darah dan hemoglobin atau Hb. Nilai Hb menyelamatkanku dari sesi penusukan jarum. Hella menatap tajam ke arahku saat mendengar panitia mengatakan bahwa aku tidak bisa donor.
"Tia, kamu kok bisa gak donor?" tanya Hella sebal.
"Hb aku rendah" jawabku
"Kok bisa? Gimana caranya?" Hella semakin menjadi menyebalkan.
"Mana aku tau?" Aku sebal melihat tatapan menuduhnya.
"Ayo, Hella" ajak Leony menuju kursi pendonor darah.
"Nggak mau" tolak Hella, tampak ia ingin menangis.
"Ayo. Aku temenin" rayuku tak tega.
"Beneran?" setitik air mata lolos dari matanya.
"Iya" aku semakin merasa kasihan.
Alhasil kami teriak bersamaan saat jarum itu menusuk kulit Hella. Aku terpaksa menerima cubitan kecil dari Hella. Pelampiasan rasa sakitnya. Sementara Leony hanya tersenyum menyaksikan penderitaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary - Kumpulan Cerita Pendek
Historia CortaKumpulan cerita pendek tentang kisah percintaan dalam berbagai genre