Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam. Terutama untuk kamu yang sudah jarang diucapin sapaan manis itu. Selamat menikmati luka dan lara. Janganlah takut dengan lara, karena setiap rasa itu bisa kita ciptakan, akan ada tenang di sela gelisah yang menunggu reda.
Aku menggoreskan kisah di dalam teduh sebuah kedai atau tempat yang sering kita kunjungi untuk perbincangan segala keluh kesah. Di sini, di peluk yang pernah kau nikmati, aku masih sendiri, mencari kehilangan, menemui perpisahan. Di tempat ini aku membicarakan senyummu, di keindahan yang telah hilang, hancur berkeping, terlarut dalam pahit, diseduh air mata. Hmm... santai sejenak, karena tepat setelah meja-meja ini ditinggalkan, kedai ini menyesak menjadi satu-satunya keterangan.
Yaa... aku mencurahkan luka pada dinding kecemasan yang diselimuti oleh hangatnya rindu, ditemani kesendirian, dipeluk pekat aroma kopi. Pada setiap kata yang memuat pertanyaan, aku mencari kau yang aku rindukan, aku menyapa kau yang aku nantikan, sembari aku menikmati kesunyian pada secangkir kopi pahit yang begitu manis, merayakan luka ini pada ratapan panjang yang penuh dengan kegelisahan. Rintik hujan seirama dengan air mata yang menitik meresonasikan otakku untuk mengingat kenangan yang begitu manis.
Rindu ini memang sulit, rindu ini juga begitu curang, ia menyerang logika tiada henti. Jika malaikat bertugas mencatat rindu, mungkin ia akan bosan mencatatkan namamu. Semesta pun cemburu karena yang selalu aku ceritakan kepada-Nya hanyalah namamu. Saat mengingat dirimu membuat kesedihan ini berkembang, namun aku menikmatinya. Perasaan ini lebih besar daripada alasan setiap luka. Sungguh rindu ini membuat kebodohan menjadi sangat cerdas.
Senyuman malu khas itu selalu saja menghiasi pojok ruang rindu, Yups kamulah alasan segala rindu pada dinding kecemasan ini. Terkadang pula aku selalu mengingat rengekan manjamu yang sungguh menyebalkan itu, kala orang lain belum masuk diantara kita, kala kamu masih peduli tentang perasaan ini.
Hari ini di tempat yang pernah kita kunjungi. Kala itu saat ramai-ramainya tugas perkuliahan, ku temani kau dalam keresahan. Menikmati peluk tanpa ada perasaan gelisah. Namun kini hangatnya telah lenyap menjadi dingin yang menusuk sukmaku. Waktu pun mengurai tetes hujan menjadi bulir-bulir kenangan, tanpa permisi membasahi naluri, merangkak naik ke pelupuk dan memaksa mata bekerja mengeluarkan kalimat penuh derita. Degub menyatu detik, menyuarakan penyesalan runtuh menitik.
Di kedai kopi ini, aku melamunkan senyumanmu yang dulu biasa namun kini tiada, sembari menyaksikan para barista yang sedang meracik kopi terbaiknya, dan ditemani kepulan penyesalanan dari rokok yang aku bakar dengan api kecemburuan. Tidak ada yang lebih mengerikan dari rindu yang menghujam.
Hai kamu, hebat ya kamu bisa membuat diriku ini selalu memikirkan tentangmu, untuk beristirahat sejenak tanpa namamu saja sulit, otakku selalu saja terhiasi oleh senyuman khasmu itu. Kamu menggunakan pelet apa hingga bisa membuatku begitu keras mencintaimu? ah akui saja bahwa aku ini tidak bisa melupakanmu yang telah mengukir kisah yang sangat dalam yang kemudian kau gores lalu pergi begitu saja.
Apakah pernah terbesit namaku pada logikamu? apakah kau merindukanku disana? mungkin tidak, karena kau telah melantunkan rindumu itu untuk orang lain yang sekarang ini kau banggakan, yang selalu membantumu untuk setiap kesulitan di mana itu tidaklah bisa kulakukan, dia yang selalu menjemputmu setiap pagi. Hebat.
Ohiya masihkah kamu gemar hunting promo atau diskon makanan, belanjaan, nonton atau apapun itu ? yang kemudian merengek "bang ini bang", "dedek pengen ini bang" atau kalimat lain yang menyebalkan itu, hihi percayalah tanpa itu hariku serasa hambar. Aku di sini merindukanmu yang sangat menyebalkan itu, selalu saja aku pantau notifikasi telpon genggamku, berharap ada kalimat darimu yang membuat hariku berwarna.
Sekarang bagaimana kabarmu? apakah lebih bahagia dari waktu itu? kuharap kamu baik-baik saja dan bisa selalu tersenyum bahagia. Namun kapan sunyi menghampirimu kemarilah, temui aku dalam perbincangan, aku masih bertahan agar bisa menjadi tempatmu keluh kesah, tidak masalah jika alasan senyumanmu itu bukanlah karenaku. Aku di sini masih bisa senyum kok, senyum untuk kamuflase dari sakit yang begitu ranum, ah kukira rindu itu indah, tapi ternyata pahit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pahit Kopi Diujung Senja
General FictionSejatinya kopi rasanya pahit, namun walaupun pahit kopi tetap layak untuk dinikmati. Banyak filosofi pada setiap cangkir kopi, bahkan banyak orang yang menggunakan kopi sebagai kedok dalam hidupnya. Begitu pula kesedihan yang harus kita nikmati pros...