Beranjak dari kisah itu, langkahku mencoba merangkum jarak lebih banyak, barangkali kutemukan irama kakimu yang pernah kutemani memijak bumi yang kemudian kau hanguskan bagai api membakar jerami. Terlepas dari peluk itu, kucoba mendekap hangat lebih erat, barangkali tersisa beku ragamu yang pernah kudekap dengan belaian yang kemudian kau tepis tanpa pertimbangan. Dan lepas dari tempat itu, mataku mencoba membidik ruang lebih dalam, barangkali kutemukan sisa namaku yang pernah kau penggil dengan perasaan yang kemudian kau lupakan tanpa sedikitpun perayaan.
Santai saja aku tidak apa, aku baik-baik saja. Aku masih bisa hidup walaupun sudah kehilangan hati, luar biasa bukan. Dahulu sebelum perjumpaan denganmu hidupku baik-baik saja, dan kini akupun harus bisa kembali seperti sedia kala. Tapi ternyata tidaklah semudah itu, aku keliru. Tidak bisa dipaksa untuk melupakan, dipaksa tidur saja tidak enak.
Setidaknya jari-jari kita pernah ada dalam satu genggaman. Setidaknya raga kita pernah melebur dalam satu peluk hangat. Setidaknya keningmu pernah menjadi landasan bagi bibirku. Setidaknya kita pernah memenuhi semesta dengan kerinduan. Setidaknya kita pernah berjalan beriringan memijak bumi. Dan setidaknya aku pernah merasakan pahitnya ditinggalkan.
Banyak rasa yang pernah kita rasakan, walaupun hanya sebentar namun bagiku itu sangatlah lama. Kau mengukir kisah begitu indah, kau hadir membawa cinta yang membuatku luluh, kau berhasil. Namun kemudian kau pergi, kau tinggalan aku, menyisakan sejuta kenangan yang sulit dilupakan. Kini hariku manjadi hambar rasanya tanpa dirimu di sisiku. Kemarilah aku masih membutuhkanmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pahit Kopi Diujung Senja
General FictionSejatinya kopi rasanya pahit, namun walaupun pahit kopi tetap layak untuk dinikmati. Banyak filosofi pada setiap cangkir kopi, bahkan banyak orang yang menggunakan kopi sebagai kedok dalam hidupnya. Begitu pula kesedihan yang harus kita nikmati pros...