Malam ini aku kembali menggoreskan perasaan di bawah langit yang mendung, tidak tampak bulan yang biasanya menyapaku dalam sepi, apalagi bintang yang biasanya memperindah langit enggan pula menampakkan diri. Dan tentunya belum ada kabar darimu yang selalu sabar aku nanti.
Jalanan masih basah karena baru saja diguyur hujan, namun hati ini masih saja gersang karena tak kunjung basah dengan pertemuan. Sore tadi aku gagal berjumpa dengan senja, hujan menghalangiku seakan tak mau bila aku menikmati rindu bersama redupnya sang mentari. Padahal aku sudah menyiapkan jus yang segar untuk buka puasaku hari ini.
Tetes hujan mengurai menjadi bulir-bulir kenangan yang kemudian menjadi menu utama buka puasa hari ini. Ramadhan kali ini aku hanya bisa menahan haus dan lapar, tidak bisa berpuasa merindukanmu. Semuanya masih tentangmu, bahkan sering kali aku meneriakkan namamu di mana saja.
Kau taukan aku menyukai malam, malam sangatlah indah untuk merenung, seperti saat ini, di mana siang hari haruslah menahan haus dan lapar, walaupun sebenarnya itu banyak maknanya. Dan senja memang saat yang tepat untuk merindu, mulai meramu doa untuk disampaikan nanti melalui angin malam. Malaikat juga sangat siap untuk membantu menghadapkannya pada tuhan untuk diantrikan. Tunggu saja giliran, mungkin besok atau lusa atau bahkan minggu depan, bulan depan, tahun depan atau entah kapan aku akan tetap sabar menunggu.
Kau begitu menguasai pikiranku, bahkan Merapi yang sudah dinyatakan berstatus waspada pun kalah dengan keberadaanmu dipikiranku. Mungkin kerinduanku padamu bisa dinyatakan berstatus keterlaluan. Hingga detik ini aku masih bingung dengan apa sebenarnya yang membuatmu pergi meninggalkanku begitu saja.
Apakah kau lebih bahagia dari waktu itu? Apakah ada yang lebih lucu dari aku? Apakah ada yang lebih hangat dari aku? Apakah kau masih mengingatku? Bagaimana yang kau rasakan disaat kita bertemu? Hancur atau malah tidak?
Malam ini akupun masih memikirkanmu, masih terus berpikir bagaimanakah membuatmu kembali. Jika kembali, apakah rasanya masih bisa sama? Apa malah tambah menggelora? Aku harap seperti itu. Sayang kembalilah, aku merindukanmu di sini. Aku masih menunggumu di tempat yang sama dengan perasaan yang sama, tidak ada yang berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pahit Kopi Diujung Senja
General FictionSejatinya kopi rasanya pahit, namun walaupun pahit kopi tetap layak untuk dinikmati. Banyak filosofi pada setiap cangkir kopi, bahkan banyak orang yang menggunakan kopi sebagai kedok dalam hidupnya. Begitu pula kesedihan yang harus kita nikmati pros...