Cerita Dzul

82 4 0
                                    

Sore ini aku duduk di gerbong kereta paling belakang. Terlihat banyak kawan sebaya duduk di samping kiri dan kananku. Mereka semua terlihat lelah. Namun tidak denganku, malam ini aku yakin untuk memberikan hadiah terindah pada Ranti. Ini hanya untuk menutup rasa rindunya agar kami saling terjaga dan tak mengundang penyakit hati.

Terlihat hari mulai redup, aku tak yakin kereta ini akan sampai saat adzan maghrib berkumandang. Matahari seolah melambaikan tangan dan bersiap untuk tidur. Tak ada yang tahu bahwa masalalu dapat membuatmu sebahagia ini.

Ternyata lain dari dugaanku. Kereta yang kunaiki sampai sesaat sesudah adzan. Kulangkahkan kaki ini memasuki masjid.

***
Aku melihat seorang wanita dengan seragam kerja ber jas. Postur itu sekilas mirip mbak Sarah. Entah sejak kapan nama itu mulai mengganggu di kepalaku. Perjalananku tinggal seujung kuku. Terlihat sebuah gapura bertuliskan Desa Wedi. Memang jauh dari kata kota yang ramai dengan kendaraan. Suasana ini mengingatkanku pada masa lalu. obor terpasang di pinggiran jalan berlumpur yang kini kupijak. Suara jangkrik dan katak menghiasi langkahku yang hening. Hal buruk pun terjadi, aku lupa jalan menuju rumah pakdhe Slamet. Kuambil ponsel dan berniat menelpon Ranti. Namun kenyataan buruk membuat sinyal ponselku menghilang entah kemana.

Akhirnya kupasrahkan saja perjalanan ini pada kata hatiku. Karena desa ini sangat sepi di malam hari. Hingga akhirnya aku mendapati Ranti tengah duduk di tangga rumahnya. Dengan kerudung hijau yang sesuai dengan warna kesukaanku, ia menunduk sambil tersenyum. Indahnya ciptaan Allah.

"Assalamualaikum Ranti?" dengan cepat Ranti menjawab salamku dan berlari kearahku seraya meminta tasku. Ranti masuk dan membuat pakdhe Slamet sekeluarga keluar. "Ini baru santrinya pakdhe, ayo masuk."

Pakdhe memelukku lama sekali. Kumis tebalnya sesaat membuatku geli. Namun mataku tak bisa menyembunyikan momen haru ini. Aku merindukan semua keluarga Ranti. "Pakdhe, Dzul kangen banget."

"Pakdhe juga, dan satu yang bikin pakdhe kepikiran. Kehidupan kota itu keras." ucap pakdhe sembari menyesap teh hangat.

Ranti hanya berdiri di belakang kurshi pakdhe. Ia menunduk dan menahan senyum yang harus terukir di bibirnya. Ia masih sama seperti saat pertama dan terakhir aku meninggalkan tempat ini. "Jangan main mata sama Ranti." pakdhe mula meyadari bahwa sedari tadi mataku melepaskan rindunya pada Ranti.

Kepolosan itu tetap terjaga. "Ranti, aku pengen ngobrol berdua sama kamu."

"Gaboleh dong Dzul." tiba tiba budhe menyela dengan gaya jenakanya.

"Dzul bisa bicara lewat pesan aja." suara Ranti tetap terdengar lembut. Kukira halusnya sudah pudar, ternyata kehalusan itu kekal bersemayam dalam dirinya.

Pakdhe mengantarku menuju kamar yang kutempati saat masih mondok dulu. Kamar itu terlihat lebih rapi dan hangat. Meskipun berlapis anyaman, tapi kurasa memang ini yang kurindukan.

***
Berbeda dengan sebelumnya, kamar ini terasa sepi. Dua sahabatku entah pergi kemana. Masih kupantau layar ponselku. Adakah sebuah pesan yang mampu membangkitkan ingatanku?

Kekasih seperti YusufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang