Cerita Dzul

93 3 0
                                    

Ponselku bergetar dan menunjukan satu pesan.

"Dzul, Assalamualaikum."-Ranti

"Waalaikumsalam, rasanya lega banget bisa liat kamu sehat walafiat gitu Ran." -Dzul

"Ranti juga, nanti lepas isya bisa ngobrol sama aku ga?" -Ranti

"Berdua?" -Dzul

"Engga lah, nanti ada mbak Dewi yang nemenin aku." -Ranti


***
Selepas isya kulihat Ranti duduk di anak tangga masjid. Benar, ia mengajak mbak Dewi. Wajah polos itu terus menunduk. Rasanya tenang melihat wajah manis itu.

"Assalamualaikum." kuhampiri mereka, keduanya menjawab salamku dengan baik.

"Ranti rindu." hanya kata itu yang terucap dari bibir mungilnya.

"Waktu pertama aku baca sms dari kamu aku tau kalo kamu rindu banget." aku mengatakan apa yang terlintas saat ia mengirimkan pesan padaku.

"Aku udah bilang kan, kalo kamu rindu aku bakal balik kesini. Ngelepasin semua bebanku." Ranti menatapku dengan wajah tak percaya. Ia mematung mendengar kalimatku.

"Dzul rindu Ranti?" ia mengatakannya tanpa malu.

"Sangat rindu." mungkin saat ini pipiku sudah memerah. Indahnya ciptaan tuhan, seorang hawa di ciptakan di desa ini. Dingin, mungkin itu tujuannya ia ada, untuk menghangatkan.

"Gimana kuliahnya disana?"

"Alhamdulillah udah masuk semester 5. Doain aja lah Ran, semoga bermanfaat waktuku." Ranti mengangguk seraya mengamini perkataanku.

"Disana ceweknya gimana aja?" tiba tiba mbak Dewi menyela pembicaraan kami.

"Maksudnya?"

"Yah kan di kota bajunya modis modis." mbak Dewi bertanya dengan nada yang ketus.

"Yah tergantung perorangannya lah mbak."

"Kenapa ya aku ko ga suka sama orang kota?" mbak Dewi terlihat ketus malam ini, aku binging dibuatnya. Mbak Dewi yang kukenal bukanlah wanita dingin yang mudah berkata kasar.

Aku tersenyum halus untuk mencairkan suasana. Terlebih Ranti terlihat seolah menunggu pertanyaan dariku. "Ranti, kamu masih inget ga?"

"Inget apa Dzul?"

"Pertama kali kita ketemu di awal tahun ajaran baru." tiba-tiba wajah Ranti memerah tanpa sebab.

"Aku minta maaf Dzul." Ranti menunduk malu.

"Waktu itu aku sempet bingung sih. Kok bisa ya kamu ga bisa bedain aku sama Toriq. Sampe sampe kamu salah ngasih amanat gitu."

Saat itu Ranti memanggilku di dekat pembatas santri putra dan putri. Ia tidak sendiri, 'Toriq..' begitu panggilnya. Saat itu usia kami masih terbilang anak anak, 12 tahun. Ia dengan kerudung manisnya melambaikan tangan ke arahku. Awalnya aku terdiam karena bukan namaku yang ia sebut. Ia terus memanggilku, aku memberikan isyarat bertanya apakah aku yang ia maksud. Ia mengangguk, namun sesegera mungkin kujawab dengan gelengan. 'Aku Dzul, bukan Toriq.' Ia terus memaksaku, ia terus memanggil nama Toriq padaku. Ia memanggilku dengan wajah sembab yang lucu. Ia mulai kesal, ia pun melewati pembatas dan memukulku. Aku sedikit bingung, ia memukulku, tapi setelahnya ia malah menangis. Santri yang lain langsung menoleh ke arah kami. Banyak senior yang menghampiriku, mereka memasang wajah suram ke arahku. Mereka memarahiku sambil membawaku ke ruang ustad Slamet, atau yang sering kusapa pakde Slamet, lebih tepatnya ayah Ranti sekaligus pemilik pondok itu.

Mereka menyidangku di ruangan ustad Slamet. "Mukamu kok memar nak?" ustad Slamet bertanya lembut padaku. Namun para senior berusaha menyangkal saat aku bercerita. 'Ustad, ia membuat dek Ranti menangis.' Aku kesal dibuatnya, seolah mereka menyatakan aku mutlak bersalah. Namun pakdhe Slamet memanglah orang yang bijak. Ia mengelus rambutku, "Kamu di pukul Ranti ya?" Pakdhe Slamet mengatakan seolah olah beliau tahu.

"Dzul, udah malem nih. Ranti sama mba Dewi balik dulu yah." Ranti mengatakannya dengan suara yang halus.

"Iya Ranti, mbak Dewi. Hati hati ya."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Kekasih seperti YusufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang