Rasanya seperti mimpi yang berulang terus menerus, meracuni pikiranku yang sedang menjauh dari rasa sakit waktu itu. Seperti candu yang tidak bisa kuhentikan, merasuk menyerang hati secara keji. Yang mau tak mau, kurasakan sekali lagi.
Hari itu, ponselku berdering sangat keras mengganggu aktivitasku. Tidak lain tidak bukan, ada namamu disana. Nostalgia menghampiri lagi, segudang kenangan yang sudah redup mulai menerang kembali hanya karena hal sepele ini. Apa maumu secara tiba-tiba mencariku, seseorang yang sengaja kau lukai dengan kata-kata indah.
Memintaku untuk bertemu, dengan alasan rindu pada keluargaku secara tiba-tiba. Entah kenapa, kau suka sekali datang tiba-tiba dan juga menghilang begitu saja. Beruntung diriku masih bisa menerimamu untuk bertemu, dengan rasa yang masih tersisa selalu membekas disini. Tak seperti dulu, kini hatiku tidak merasakan apapun saat ingin bertemu denganmu (lagi).
Senyum pertamamu yang kulihat saat itu hadir kembali, sudah cukup lama tidak kulihat. Mungkin sekitar 1-2 tahun lamanya aku tidak melihat hal indah ini. Aku lupa rasanya, aku lupa bagaimana reaksiku membalas senyummu dulu. Tidak ada satupun yang berubah darimu, hanya aku yang sepenuhnya berubah.
Empat mata saling bertemu pada ruangan kecil berisi sofa untuk dua orang disana, kita mulai membicarakan sesuatu yang tidak penting. Dari kesibukan, hingga pekerjaan kau selalu juara banyak omong saat bercerita. Sedangkan aku pendiam menjadi pendengar setia kisah hidupmu sehari-hari, dari dulu hingga kini selalu seperti itu.
Lucunya, di sela-sela cerita serumu kau bercerita tentang dia, dia yang berhasil menggapai hatimu. Katamu dia menjengkelkan, katamu dia posesif dan katamu juga dia terlalu mengekang. Kau keluarkan seluruh jenuhmu tentangnya pada telinga pendengar setiamu, kemudian kau bertanya padaku apakah hatiku sakit mendengarnya?
Tidak sama sekali, maaf saja jika kau mengharapkan hal itu terjadi. Namun, jujur saja hati kecilku tertawa puas mendengarkan semua itu seperti kebahagiaan dibalik pelampiasan rasa sakitku selama ini. Lalu kau membandingkan diriku dengannya, sebesar apa sabarku dan sabarnya, sebesar apa cintaku dengan cintanya. Aku sangat mengerti apa yang kau rasakan kini, tapi maaf tidak banyak yang bisa kulakukan. Aku sudah melupakan semuanya.
Senja mulai muncul memancarkan warna indahnya, kau pun pamit karena waktu sudah mulai malam. Berhubung hatiku sedang baik, kuantar kau hingga sampai dirumahmu. Tak perlu repot-repot berterima kasih karena itu sudah jadi tugasku melindungimu.
Kau pun berlalu menjauh lagi dengan memunggungiku tanpa menoleh, tetap kulihat dirimu untuk memastikan kau baik-baik saja dan kemudian menghilang dari pandanganku. Hatiku berkata, ada sekilas rinduku melintas di jalan ini. Jalan yang menghasilkan banyak cerita, banyak kenangan, banyak duka.
Lalu ku bergegas pergi menyalakan mesin motor dan memakai helm, kupandangi langit. Kulihat senja tersenyum padaku, cukup sudah sakitku ini berakhir. Tenang saja, aku akan selalu jadi temanmu dan pendengar setiamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Senja(END)
PoetrySajak-sajak yang sempat terpendam, namun tak sempat terungkap. Hanya bisa menjadi rangkaian aksara, yang lama kelamaan sirna.