Seorang Ayah

65 3 0
                                    

Pak Bambang keluar dari rumah anaknya. Dengan air mata yang telah jatuh. Dia berjalan cepat. Menuju mobilnya. Yang sudah ada sopirnya yang menunggu.

"Kenapa pak?" Tanya sopirnya itu.

"Tidak apa apa" jawab pak Bambang dengan singkat.

Sopirnya membukakan pintu kemudian masuk. Di perjalanan  pak Bambang hanya memandang ke luar mobilnya. Keadaan seperti itu membuat sopirnya bingung.

"Amda baik baik saja pak?"

"Tidak, sebenarnya ada masalah"

"Jika berkenan bolehkah saya mengetahui pak? Mungkin bisa memberi saran atau mungkin dapat membuat anda menjadi lebih baik".

"Kau punya anak laki laki?"

"Punya pak?"

"Apakah dia mengetahui pekerjaanmu?"

"Iya pak. Dia mengetahui pekerjaan saya"

"Lalu bagaimana dengan dia. Apa dia bisa menerima pekerjaanmu.?"

"Dia menerimanya dengan senang hati. Dia pernah berkata bahwa dia bangga mempunyai ayah seperti saya. Ya walau saya hanya supir. Tapi dia pernah berkata. Bahwa dia bangga memiliki ayah seperti saya. Yang selalu mengantarkan majikannya. Padahal saya mau mengantar ya karna saya butuh uang"

"Aku sungguh iri kepadamu"

"Kemapa pak.? Malah justru saya yang iri dengan bapak. Bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan anak"

"Deri tidak tau pekerjaanku"

"Bagaimana bisa pak? Bukannya dari kecil sering melihat bapak berangkat kerja"

"Iya tapi tak tau pekerjaan macam apa yang saya kerjakan"

"Apa anakmu tidak pernah ingin ikut denganmu. Melihatmu bekerja.?" Lanjutnya bertanya.

"Pernah. Dia berkata ingin naik mobil. Tapi saya berkata bahwa mobil itu bukan milik saya. Ya dulu waktu kecil walaupun sampai nangis. Tapi akhirnya dia bisa mengerti"

"Bagaimana ya cara menjelaskan pekerjaan saya ini.?"

"Mungkin bisa dibicarakan ketika pergi bersama pak. Atau kalau ada waktu mungkin waktu liburan, piknik atau berkunjung kemana".

"Dari dulu, saya tidak pernah pergi bersama anak saya. Sekedar liburan. Atau makan bersama. Deri lebih sering bersama ibunya. Dulu waktu ibunya masih hidup. Dia yang selalu pergi bersamanya. Belum pernah pergi bersama saya. Dulu waktu Deri minta di ajak ke pasar malam. Saya menolak. Karna banyak pekerjaan yang belum di selesaikan. Walaupun sebenarnya bisa saya selesaikan besok di hari minggu. Namun dia bersikeras ingin pergi. Akhirnya dia perginbersama ibunya"

"Mungkin alangkah baiknya bapak pergi bersama mas Deri. Mungkin di saat itu bisa bicara dengan baik. Bisa saja itu menjadi saat yang tepat untuk memperbaiki hubungan bapak dengan mas Deri"

"Namun dia selalu tidak ingin bersama saya. Ketika ibunya meninggal. Dia memilih hidup sendiri. Meminta agar di belikan rumah untuk tempat tinggalnya. Saya hanya menuruti"

"Alangkah baiknya dicoba pak. Berdoa agar hubungan bapak dengan mas Deri bisa baik lagi"

"Apakah kamu selalu mengerjakan sholat?"

"Saya selalu mengerjakan sholat"

"Saya tidal pernah, dulu saat Deri kecil. Pernah telfon untuk mengingatkan sholat. Tapi saya marahi dia. Karna tepat saat sedang rapat. Saya malah sudah lupa bagaimana sholat itu. Sejak naik jabatan. Saya menjadi lupa dengan tuhan"

"Maf ini pak. Bukan saya bermaksud menceramahi bapak. Menurut saya kita sebagai orang islam. Harus selalu mengerjakan sholat. Apapun kesibukannya. Alloh senantiasa menjadi tempat yang sangat cocok untuk mengadukan segala keluhan kita. Bila ada masalah maka berdoalah kepada Alloh. Maka InsyaAlloh, Alloh akan memberikan ketenangan untuk kita"

"Tolong ajari aku sholat. Dan ingatkan kapan saja waktu sholat" kata Pak Bambang kepada sopirnya.

Mobilnya sampai ke kantornya. Dan melihat satpamnya sedang menjawab telfon. Dan buru buru satpam tersebut mematikan telfonnya. Yang di dengar hanya sepenggal kalimat.
"Nanti dek ayah sedang kerja. Nanti ayah pasti akan pulang".

Satpam tersebut yang bernama saryono, kemudian langsung menyambut dan memberi hormat kepada pak Bambang. Kemudian berkata kepada satpam tersebut.

"Ke ruang saya sekarang"

"Baik pak" jawab satpam tersebut.

Di ruang pak Bambang

" permisi pak". Ucap saryono

"Siapa yang telfon. Apakah kau lupa peraturan saat bekerja.?"

"Maaf pak anak sayayang telfon. Saya tidak akan mengangkat telfon lagi pak. Maafkan saya" ucap saryono dengan kepala tertunduk.

"Kenapa anakmu?"

"Dia menanyakan nanji saya untuk pulang hari ini. Karena sudah tiga hari saya tidak pulang" jelas saryono.

"Berapa umurnya?"

"Enam tahun pak?"

"Apa kalian pernah berlibur bersama?"

"Sering pak. Setiap bulan kamu selalu pergi bersama walau sekedar pergi ke pasar".

"Apa dia tau pekerjaanmu?"

"Dia tahum kalau saya seorang satpam?"

"Apa dia bangga dengan pekerjaanmu?"

"Dia bangga pak. Dia bilang kalau ayahnya gagah. Dan melindungi orang orang. Dia selalu memeluk saya ketika saya pulang"

Jawaban Saryono benar benar membuat Pak Bambang berfikir lagi. Betapa seorang anak bangga walau ayahnya hanya seorang sopir atau satpam.

Melihat majikannya tampak berfikir. Saryono bertanya.
"Kenapa pak?"

"Ah tidak" Pak Bambang tersadar dari lamunannya.

"Kamu silahkan bekerja kembali" lanjut pak Bambang

"Trimakasih pak" ucap saryono, kemudian pergi ke depan pagi.

Pak Bambang terus berfikir. Bahwa dia merasa belum pantas menjadi seorang ayah. Dia merasa bukan ayah yang baik. Dia benar benar menyesal. Seharusnya dia bisa memiliki banyak waktu untuk bersama anaknya. Bukan terlalu fokus bekerja. Dan tidak selalu mengejak jabatan.

Karena seorang anakpun bisa bangga kepada ayahnya walau pukerjaan ayahnya tidaklah paling baik. Tapi bagi seorang anak ayahnya adalah pahlawan baginya.

Seorang anak lebih senang banyak watu bersama keluarganya.. dari pda uangnya. Seorang memerlukan perhatian khusus. Di masa pertumbuhannya. Jika tidak ada ibunya. Maka ayahnya yang berperan sebagai ibu. Jika ayahnya tidak ada, maka ibunyapun berperan sebagai ayahnya. Orang tua harus dapat menjadi siapapun. Sesuai kebutuhan anaknya.

Aduanku Terhadap AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang