4. Guru yang menyebalkan

105 34 3
                                    

Ada banyak waktu dan tempat yang lebih nyaman untuk menceritakan masalah, bukan di keramaian.

"Iya makan lah El." Ucapnya kemudian setelah menghabiskan batagor miliknya. "Harusnya gue yang nanya ama lo, lo ngapain disini?" sambung Dino kemudian.


Elysa tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Dino. 'Benar juga' pikir Elysa kemudian, gedung atas sekolah ini memang tempat Dino makan ketika jam pelajaran. Karena memang jarang ada orang yang akan datang ke tempat ini, karena tempatnya yang kumuh, bahkan dijadikan tempat untuk menaruh tumpukan barang-barang tak terpakai, terutama tumpukan kertas yang tak terhitung jumlahnya. Dan Elysa memang hanya mendatangi tempat ini ketika jam istirahat, pulang sekolah, atau ketika ia sedang ingin sendiri.

"El?" ucap Dino melihat Elysa yang sedang melamun. Elysa hanya menatapnya sepintas lalu kemudian berdiri setelah melihat jam pada layar handphonenya yang menunjukkan pukul 10:00 menandakan bahwa sudah masuk jam istirahat.

"El!" panggil salah satu teman Elysa ketika melihat Elysa yang berjalan menuju kantin.
"Gue nyariin lo? Lo ke gedung atas ya?" ucapnya kemudian setelah Elysa berada dihadapannya. Sahabatnya yang satu ini memang tahu betul, kemana Elysa akan pergi ketika mood nya sedang tidak baik. Dan gedung atas sekolah merupakan salah satu tempatnya.
"Hmm, iya Rin."
"Lo mau gue pesenin apa?"
"Es teh aja."
"Makan?"
Elysa hanya melirik Ririn sepintas dan kemudian menggelengkan kepalanya.

Ririn mengerti, ia tak ingin menginterogasi Elysa disini. Ada banyak waktu dan tempat yang lebih nyaman untuk menceritakan masalah, bukan di keramaian. Pikir Ririn. Yang perlu ia lakukan hanya berada di samping Elysa memastikan Elysa tidak akan melakukan hal aneh.

"Hey?" ucap Alvaro menaruh pesanannya di samping Ririn.
Ririn berlalu meninggalkan Alvaro membuat Alvaro dan Elysa menatap bingung ke arah Ririn yang semakin menjauh dari mereka.

Alvaro yang merasa canggung berada di samping Elysa, mencoba untuk berpindah ke salah satu meja yang berjarak sekitar lima meter dari meja Elysa.

"Aseeekk, makan gratis." Ucap Elysa kegirangan -dengan senyum yang mengembang pada bibir manisnya- melihat semangkuk bakso dihadapannya.  Ia memang seperti itu. Cepat senang. Cepat sedih. Cepat marah. Tak ada yang bisa menebak emosinya, bahkan teman dekatnya sekalipun kerap kali salah kaprah tentang apa yang terjadi dengannya.

Karena pada akhirnya kamu hanya mencintai 'sebutuhnya' bukan 'seutuhnya'. Sementara aku terlanjur jatuh. Dan kamu ... Tak lagi ada disisiku. Tak ada yang menyenangkan setelah kepergianmu. Karena kita menjadi dua yang asing 'lagi'. 'Farid' nama tersebut tertera setelah tulisan diatas. Ya. Kenyataan lain adalah Farid senang menulis. Sebagian menggambarkan perasaannya. Sebagian menggambarkan kehidupan disekitarnya.

"Rid? Lo liat deh tuh." Tunjuk Alvaro. Farid mengikuti arah telunjuk Alvaro dan kemudian mendapati Elysa yang sedang lahap memakan makanannya. Farid yang tak mengerti maksud dari apa yang dilakukan Alvaro menatap bingung ke arah Alvaro dengan alis yang telah menaut satu sama lain.
"Samperin dong." Alvaro tersenyum jahil menatap farid
Farid menatap lekat ke arah Elysa sambil menopang dagu dengan tangan kanannya. "Mendingan dia makan kaya gitu deh, diem." Gumam Farid yang membuat Alvaro tersenyum jahil mendengarnya. 
Elysa yang menyadari sedang diperhatikan oleh dua orang menyebalkan, kemudian memberhentikan aktivitas makannya. Dan menatap sinis ke arah mereka berdua.
Alvaro mengalihkan pandangannya mencoba mencari topik lain bersama Farid. "Eh Rid, lo udah belom si...pr itu loh?" Namun, betapa menyebalkannya Farid saat itu bagi Alvaro. Bukannya, mencoba mencairkan suasana. Farid justru berlalu meninggalkan Alvaro yang gelagapan ditatap oleh Elysa.
  "Engga Ririn, ga Farid, dua-duanya ninggalin gue di masa genting pas ada Elysa" gerutu Alvaro menatap punggung Farid yang semakin menjauh dari kantin.
***
"Bu Syani eh Bu Syani." Ucap salah satu siswa kelas XI IPA 2 yang membuat suasana kelas tenang dan kemudian duduk di tempat duduknya masing-masing. Apalagi kalau bukan karena the most popular teacher  tersebut. Yang selalu menjadi pusat perhatian para siswa karena kecantikannya. Sekaligus menjadi pusat perhatian siswi karena sifat lembut sekaligus tegasnya. Lembut dalam artian ia benar-benar mencoba mengerti bagaimana harusnya ia berinteraksi dengan anak-anak di era seperti saat ini. Dan ia menjadi guru wanita yang paling disegani karena sifat tegasnya terhadap murid.
"Ibu makin cantik aja bu?" celetuk Alvaro, membuat guru berparas cantik tersebut mengembangkan senyumnya, dan tak lama memberi isyarat dengan tatapan matanya supaya diam.
Seperti biasa, cewek manis dengan rambut yang diikat kuda serta baju yang tak pernah dirapihkan -atau dirapihkan ketika upacara sedang berlangsung saja dan atau ketika sedang dimarahi guru saja- tersebut sedang tak berminat dengan pelajaran yang dahulu menjadi salah satu alasan ia harus sekolah walau harus mengorbankan segalanya. 
Cewek itu membenamkan wajahnya pada meja dan menutupinya dengan buku paket yang lumayan besar. Yang dibuka lebar. Sehingga benar-benar menutupi wajahnya. Ah, mungkin ia salah satu manusia di sekolah Taruma Bangsa yang tak terlalu menyukai Bu Syani. Bukan karena ia iri karena kecantikannya. Sungguh bukan. Bukan juga karena bidang yang dipegangnya itu terlalu rumit bagi cewek tersebut. Bahkan, ia bisa memahami tanpa dijelaskan. Bukan pula karena metode pembelajarannya yang tak sesuai. Tetapi, beberapa alasan di masa kelam membuatnya enggan.
"Itu yang di pojok belakang pasti Elysa ya?" tanya Bu Syani entah kepada siapa. Tapi pertanyaan itu sepertinya lebih ditujukan kepada si pemilik nama.
"Ayo coba ke depan, bawa buku yang kamu pegang itu, dan baca ke depan!"
Tanpa basa-basi Elysa dengan santainya maju ke depan dengan membawa buku paket besar yang dipegangnya sedari tadi. Kemudian membukanya. Dan membacakan salah satu isi dalam buku tersebut "Efek Tyndall merupakan salah satu---"
Belum sempat Elysa menyelesaikan bacaannya, gelak tawa telah memenuhi kelas XI IPA 2. Membuat Elysa menatap bingung ke arah guru dan teman-temannnya tersebut. Bahkan cowok berlesung pipit tersebut pun yang biasanya terkesan cuek pada apa yang dilakukan oleh Elysa tanpa sengaja mengembangkan senyum pada bibirnya.

Elysa tersadar. Bahwa ia membacakan buku kimia, sedangkan sekarang adalah pelajaran matematika. Ah. Kacau, pikirnya. Elysa memasang raut wajah merahnya menahan malu sembari menggigit kecil bibir bawahnya. Dan kemudian menutupi wajahnya dengan buku yang dibawanya.
"El?" Bu Syani membuka suara membuat gelak tawa pun perlahan menghilang dan suasana kelas menjadi hening.
Elysa menurunkan bukunya yang barusan digunakan untuk menutupi wajahnya dan kemudian hanya menatap gurunya tersebut dengan tatapan bertanya.
"Tulis soal-soal ini di papan tulis." perintahnya kemudian sambil memberi sebuah spidol kepada Elysa.
"Kenapa harus saya? Kan ada Viona yang biasa nulis, dan itu juga udah tugasnya kan bu sebagai sekretaris?"
"Anggep aja ini hukuman."
Elysa mendengus kesal, memang tak banyak soal-soal yang harus ditulisnya, tapi ia takut akan kenangan yang akan tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam dirinya. Belum lagi pertemuannya dengan Pak Anto tadi pagi. Tanpa sadar mata Elysa berkaca-kaca mengingat rentetan kejadian di masa lalu. Namun dengan cepat Elysa mengusapkan punggung tangan kanannya pada matanya menjaga-jaga akan ada setitik air mata yang jatuh.

Elysa menggerakkan jemari lentiknya pada papan tulis, mengurai tinta hitam diatasnya. Elysa berusaha fokus pada soal-soal yang ditulisnya.

Cowok tersebut tersenyum melihat Elysa yang sedang menulis di papan tulis, jika sedang seperti ini, Elysa terlihat lebih manis dari biasanya. Namun, ia segera menepis pemikirannya, dan mengingat kejadian yang dialaminya dengan 'cewek rumit' tersebut. Dari mulai ia menyalahinya karena dianggap menjadi penyebabnya telat, dan ia membuatnya harus berdebat hingga tak beristirahat, dan juga suara-suara teriakkannya yang tiba-tiba saja mampir di telinganya. Ya. Farid menyebutnya sebagai 'cewek rumit' menurutnya panggilan itu sangat cocok untuk cewek troublemaker sepertinya.

Alvaro yang duduk tepat si sebelah Farid, merapatkan bangkunya sampai benar-benar berdempetan  dengan Farid. Alvaro tersenyum jahil terhadap temannya tersebut. Membuat Farid mengerutkan dahinya tak mengerti. "Manis ya?" ucap Alvaro mengedipkan sebelah matanya ke arah cewek yang masih menyelasaikan tugasnya yang disuruh oleh Bu Syani. "Terus?" Farid menaikkan sebelah alisnya  mencoba mencerna yang Dikatakan oleh Alvaro.

Karena letak meja mereka yang dekat dengan papan tulis membuat Elysa mendengar apa yang dikatakan oleh Alvaro dan menoleh ke arah mereka berdua. "Kenapa? Gue manis? Dari dulu kali." suara Elysa memecah keheningan pada ruangan kelas XI IPA 2 tersebut, dan membuat sebagian dari mereka tertawa mendengar ucapan Elysa ada beberapa sampai menyahutinya.
"Iyya El manis, ampe jadi penyakit gula"
"Haha, manis ampe dikerubutin semut lo"
"Emang manis kok"
"Ssttt, udah bicaranya?" ucap Bu Syani kemudian, membuat kelas kembali hening. "Kamu sudah selesai El?" tanyanya kemudian pada Elysa. Yang dijawab dengan gelengan kepala oleh si pemilik nama.

TBC

Jangan lupa vomentnya ya gais :)

Salam gurih
Anvieda

The Most Complicated GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang