Butiran salju turun menjamah bumi. Membercak di meja teras, menumpuk pada lantai dan atap rumah. Dahan pohon berusaha kokoh menahan satu persatu salju yang mulai menumpuk pada daun-daunnya.
Salju pertama di musim dingin tidak lagi terasa sama bagiku. Tidak lagi sedinanti musim dingin yang lalu. Semua tampak dingin, kosong, dan tidak berarti.
Aku menumpuk buku yang tadi sempat aku baca sebelum hujan salju mengalihkan fokusku. Aku melirik bingkai foto di sudut meja, dekat kaki lampu baca di ujung meja.
Senyum indah dengan jejeran gigi yang rapi, menambah kesan manis pada seseorang dalam bingkai yang menggendongku di punggungnya. Dengan baju hangat senada, dan beani rajut mirip, dengan warna merah muda dan biru. Aku memeluknya begitu erat, entah karena saat itu aku berfikir takut jatuh, atau takut ia pergi dariku.
Tanpa aku sadari, air mata menitik dari sudut mata, mengalir di pipiku. "Apa kau bahagia?" aku berujar dengan suara bergetar. Isakanku hampir saja lolos.
Aku menelungkupkan wajahku diantara lengan yang aku lipat di atas meja. Menekat mataku pada lengan, bernafas kasar.
Tuktuk
Aku mengankat kepalaku, seseorang mengetuk pintu kaca geser di samping mejaku. Ia tersenyum manis padaku sambil berjalan mundur ke tengah teras. Lalu berputar-putar dengan lucunya. Menikmati butiran salju yang menitik di rambut pirangnya terlebih dahulu sebelum bahunya yang lebar.
Aku cuma tersenyum, menatapnya dari tempat aku duduk. Kemudian ia kembali menatapku lagi, berhenti sejenak dari kegilaannya. Melambaikan tangan padaku, memanggil agar aku turut bergabung dengannya.
Tanpa sadar kepalaku menggangguk membalasnya. Aku berdiri seraya menunjuk long coat coklat yang tersampir pada gantungan di sudut dinding. Ia membalas menggeleng, menggerakkan mulutnya dengan mengatakan aku tak membutuhkannya, seraya membentangkan lengannya lebar menggodaku agar segera berlari dalam pelukannya. Aku cuma tersenyum setiap kali ia menggodaku.
Aku menarik ujung pintu dan menggesernya tidak sabaran. Senyum yang semula mengembang, perlahan menghilang dibawa hawa dingin yang menusuk tulang. Aku melirik bingkai di atas meja sebentar, lalu helaan nafas berat berhasil lolos dari mulutku yang sedikit terbuka, mengeluarkan uap putih samar-samar.
Aku menutup pintu kembali. Kali ini aku ikut serta menarik tirai toska dari sudut pintu.
Setelah ini, aku harap segelas cokelat hangat mampu merubah perasaan kacauku, demi pekerjaanku.
Aku hanya perlu berjalan melewati koridor pendek untuk sampai di dapur. Aku terhenti agak lama. Cuma menatap dua cangkir pada rak. Cangkir merah muda dan biru dengan karakter bintang lucu berwarna kuning pada masing-masing gelas.
Cuaca hari ini terlalu mengingatkanku akan kenangan tentang dirinya, terlalu banyak hal di rumah ini yang mengingatkan aku soal dirinya. Seolah tiap inci rumah ini sedang menegaskan perasaan rinduku, mengolok-olok keputusan yang sudah aku ambil. Sial.
Aku meraih cangkir biru dari rak, membawanya ke samping lemari pendingin, di mana tempat sampah selalu ada di sana. Aku hendak membuangnya, tapi sesuatu menghentikanku. Sesuatu dalam diriku, yang masih berharap ia akan kembali dan mengatakan bahwa ia menyesal.
"Park Jimin bodoh." gumamku kesal. Aku meletakkan cangkir biru miliknya itu pada rak lemari dapur.
Seketika keinginan menyedu cokelat hangat hilang dari pikiranku. Aku pergi ke ruang tengah. Membiarkan tubuhku mendarat bebas di atas sofa. Kubiarkan gundukan di ujung sofa menahan beban kepalaku yang menatap langit-langit.
Aku melirik ujung jari-jariku. Ia menarik-nariknya gemas sambil tersenyum jenaka. Aku menekuk kakiku. Ia tidak putus asa. Ia mendorong tulang keringku dengan tubuhnya, hingga pahaku hampir menyentuh perut.
"Park Jimin hentikan!" Aku membalasnya malas, aku lelah setelah begadang menyunting novel terjemahan agar lekas selesai sebab akan terbit minggu depan.
"Cium aku, sayang." ia beralih duduk pada karpet bulu di lantai.
Aku merubah posisi tidurku menjadi miring menghadap padanya. Aku sedikit mengintip dari mataku yang terpejam. Ia tersenyum manis sekali. Tangannya terulur memainkan surai hitamku. Menyentuh bulu mataku. Memainkan anak rambut dekat telinga.
Sesaat kemudian aku merasakan nafasnya menderu di dekat daun telingaku. "Aku mencintaimu." Ia berbisik pelan pada telingaku. Lalu memberi kecupan pada pipiku agak lama. Sebelum akhirnya aku dengar pintu yang dibuka dan tertutup.
Air mata menitik dari ujung mataku membuat bercak basah pada sofa. Sangat menyakitkan bagiku. Mengingat hal terakhir yang terjadi bersamanya. Pertengahan musim gugur lalu, kami bertengkar. Sebab hal sepele yang sangat aku sesali.
Hubungan yang kami jalankan bertahun-tahun harus kandas karena hal sepele. Dan aku yang memulai itu semua. Rasa cintaku yang semakin besar padanya membuat aku melakukan hal-hal yang membuatnya tidak nyaman, aku semakin egois untuk memilikinya buat diriku sendiri.
Ruang latihan lama yang sudah tidak terpakai di agensinya itu yang menjadi saksi betapa buruknya keegoisanku. Aku membentaknya, memakinya, dan menampar pipinya. Ia cuma diam dengan mata yang berkaca-kaca menatapku sambil tersenyum maklum.
"Sudah lebih baik, sayang?" Ia mendekap tubuhku yang bergetar karena menangis.
Aku mendorong tubuhnya, seolah tak akan pernah membutukannya lagi. Ia mencoba menahan lenganku, aku tetap berontak dan pergi.
"Jangan ikuti aku!" aku berteriak padanya untuk yang terakhir kalinya.
Ya... terakhir kali. Ia benar-benar tidak pernah muncul di hadapanku setelah hari itu. Perlahan aku tau letak kebodohanku, menyadari betapa egoisnya diriku, menyesali sikapku yang kekanak-kanakan saat Jimin sudah pergi dan menyerah padaku.
Ia mengirimiku pesan suara di awal november. Pesan suara yang selalu aku dengarkan tiap aku merindukan sosoknya, saat aku merasa buruk atau pun bosan pada pekerjaanku.
"eumm... ini aku, Jimin. Bagaimana kabarmu? Aku harap kau lebih baik sekarang, karena sudah tidak perlu membagi pikiranmu untuk memikirkan aku yang bodoh ini hehehe. Eum, sebenarnya aku mengirimkan ini karena terlalu takut kau tidak akan mengangkat telponku. Sayang... ah maaf, itu kebiasaanku dulu, aku jadi sulit untuk tidak memakai panggilan itu. Kau melakukan pekerjaanmu dengan baik, aku membaca novel terjemahan yang kau sunting. Kalimatnya tersusun sangat indah. Kau benar-benar hebat. eum... sudah dulu ya, aku sedang di luar negeri sekarang. dan...." Jimin menjedah agak lama, sampai-sampai aku kira pesan itu terputus begitu saja, saat pertama kali aku mendengarkannya.
"maafkan aku... sayang."
Aku menangis.
Cuma itu yang mampu aku lakukan.
Bodoh. Memang.
Sudah sepantasnya aku benci pada diriku sendiri karena tidak mampu mengatakan bahwa aku menyesal, egoku menahan untuk mengucap maaf. Aku tidak sanggup mengatakan aku sangat rindu dan terlampau masih mencintainya hingga saat ini.
Padahal aku tau, keegoisanku tidak akan membuatnya kembali.
-Fin-
bodo amatlah gimana pun. yang penting ke-publish 😁
©taemaki