"Baekhyun-ssi!!!!"
Mataku membola, namun tubuhku tak merespon sama sekali. Aku hanya tak tahu harus berbuat apa.
"Kim Yena. Kau kenapa?" kudengar lirihan Minseok dengan jelas ditelingaku. "Baekhyun butuh pertolonganmu, cepat!" tangannya mendorongku agar bergerak mendekati tubuh Baekhyun yang tergeletak tak jauh dari kami.
"Tapi, kau..." aku menatapnya balik, mereka sama mengenaskannya.
"Astaga, dia suamimu, Kim Yena!" bentaknya jelas tepat diwajahku.
Otakku membeku mendengar bentakan seriusnya, untuk pertama kali sepanjang pertemanan kami.
"Apalagi yang kau tunggu!" protesnya.
Tanpa berpikir, aku bergerak ke arah Baekhyun. Sial sekali mereka berdua ini. Aku selalu yang dibuat repot. Lagian permasalahan apalagi sampai mereka berkelahi separah ini?
"Baekhyun-ssi?" aku menepuk pipinya ringan. Tapi jelas saja, dia tak bergerak.
Kuamati dekat wajahnya, dia sama hancurnya seperti Minseok. Hanya saja, dia tak berdarah. Kenapa?
"Baekhyun-ssi. Buka matamu, kumohon," pintaku tak berguna.
Dengan cepat aku mengambil ponsel dari kantung celananya, tak sengaja meyentuh daerah perutnya.
"Eungh..." ringisnya.
"Baekhyun?" aku mengehentikan gerakanku saat samar mendengar suaranya, namun nihil, dia tetap tak membuka matanya.
Belum ingin kehilangannya, dengan cepat, aku kembali bergerak, mengarahkan jempolnya pada ponsel agar terbuka. Aku meletakkan kepalanya pelan dipahaku. Lalu menelepon ayah dengan gemetar. Aku gemetaran, tentu saja.
***
Aku menunggu dengan takut diluar kamar Baekhyun. Jelas saja, dua lelaki sekarat itu dirawat bersamaan didalam sekarang. Lengkap dengan Ayah yang menatapku kecewa dan Sehun, si dokter jenius yang datangnya entah dari mana.
"Ayah! Bagaimana? Minseok baik-baik saja kan?" jeritku antusias saat melihat ayah keluar dari ruangan.
Aku juga tak mengerti, alasan mereka tak membiarkanku masuk.
Ayah menatapku diam.
"Kenapa temanmu bisa ada disini?" tanyanya datar.
Aku terdiam. Tak mungkin kuceritakan dari awal bukan? Aku pasti jadi pihak yang bersalah. Sudah jelas, memang.
"Temanmu baik-baik saja. Hanya terluka sedikit,"
"Sedikit? Darah memenuhi mulutnya itu sedikit, Ayah?"
"Kenapa? Itu masih sedikit untuk ukuran laki-laki, Byun Yena," ucapnya pelan seolah mendengar pemikiranku, lalu mendekat bermaksud memelukku.
Aku terkejut, hampir saja bergerak mundur.
Ayah mengelus kepalaku pelan, "Kau tak apa, kan?" lalu menangkupkan wajahku dalam tangan besarnya. Menatap mata bulatku penuh.
Aku menggeleng pelan, sedikit heran. "Baekhyun, kenapa?" mulutku berujar seenaknya.
Dia tersenyum. "Suamimu itu yang sedikit sekarat,"
Aku mematung. Hampir gila mendengar jawaban singkat Ayah. Ayah beranjak dari pandanganku, lalu aku menatap lurus kearah pintu Baekhyun yang masih tertutup rapat.
"Kau, pergilah kedalam," ujarnya pelan dari belakangku.
Kakiku melangkah pelan, namun sedikit ketakutan. Tanganku bahkan basah akan keringat. Aku membuka pintu kamarnya,pelan.
Hal pertama yang kutangkap ialah ketenangan. Kekacauan yang mereka timbulkan tadi sirna sudah. Aku menatap Sehun yang sedang memeriksanya intensif.
"Eh, sudah lama tak berjumpa?" dia menatapku sebentar, lalu tersenyum.
Aku mengangguk pelan, masih menatap Baekhyun yang benar-benar terbaring lemah. Mataku berkeliling sebentar, saat mengingat ada satu sosok yang belum kutemukan sedari tadi.
"Mencari Minseok?" suara Sehun.
Aku kembali mengangguk, lebih bersemangat.
Dia memperbaiki letak kacamatanya, lalu menunjuk fokus pada satu titik. "Dia disana. Belum keluar sejak 15 menit yang lalu,"
Aku menatapnya bimbang. "Kau...yakin, Sehun-ssi??"
Dia terkekeh pelan,"Jangan seperti itu. Sudah kubilang, panggil aku Oppa saja," sarannya bersemangat.
Lagi-lagi, aku hanya perlahan mengangguk. Kakiku melangkah menuju kamar mandi, tepat didalam kamarnya Baekhyun. Aku berdiri terpaku. Kutempelkan telingaku pada daun pintu.
"Masuk saja," ujar Sehun yakin dibelakangku. Masih saja sibuk mengurus Baekhyun.
Aku menoleh, "Kau yakin, oppa?"
Lalu, dia mengangguk pasti sembari tersenyum. "Kau ini," ujarnya.
"Kenapa?"
Dengan memantapkan hati, aku membuka pelan pintu kamar mandi berbahan kayu ini. "Minseok?" ucapku pelan saat menatapnya termenung didepan kaca.
Aku mendekatinya perlahan, merasa terabaikan. Wajahnya sudah menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Walaupun sedikit tertutupi perban. "Kim Minseok?" ujarku lagi sembari meyentuh bahunya.
Dia tersadar, lalu buru-buru tersenyum menatapku.
"Kau menangis? Ada apa?"
Dia jelas menggeleng, "Tidak. Kau tak perlu tahu" lalu menghapus jejak air matanya, "Hey! Kau kenapa berani menyusulku kesini!" marahnya jenaka, lalu menarik telingaku pelan, mengikutinya keluar dari sini.
"Auuh! Sakit, Minseok~a!" aku memukul-mukul tangannya.
Dia melepasnya, sembari tersenyum, "Lain kali. Jangan berani-berani seperti itu ya! Kau juga harus mulai mendengarkan Baekhyun. Kasian suamimu punya istri sekeras kepala kau ini!" dia menceramahiku layaknya seorang dewasa.
"Yaaa! kenapa kau ini?" protesku mendapati keanehannya.
Dia tersenyum manis. "Sudah dengarkan saja apa kataku,"
Aku mendelik, menatapnya penuh selidik. Mendekatinya perlahan. Belum sempat kakiku melangkah, tangannya terulur mendorong kepalaku.
"Hey, aku sedang tidak dalam mood bermain, Kim Yena. Kau perhatikan Baekhyun dulu ya, aku hendak keluar," ujarnya lalu meninggalkanku dengan beribu pertanyaan.
"Ada apa?",gelisahku.
------
To be continued~
Agnes Jessica
****
[[ UPDATE 15/04/18]]
xoxo
Helo semua. Long time no see. Ada yang masih menunggu kelanjutannya kah?-AJ-
KAMU SEDANG MEMBACA
Aimless
FanfictionTaukah kalian rasanya bagaimana, saat khayalanmu menjadi nyata? Namun, tak seindah dan tak seburuk pemikiranmu. Bisa jadi lebih buruk dan tak indah sama sekali. . . . Selamat datang dalam duniaku, dunia Fantasiku.